Azmi Khoerunnisa, terpaksa menggantikan kakak sepupunya yang kabur untuk menikah dengan bujang lapuk, Atharrazka Abdilah. Dosen ganteng yang terkenal killer diseantero kampus.
Akankah Azmi bisa bertahan dengan pernikahan yang tak diinginkannya???
Bagaimana cerita mereka selanjutnya ditengah sifat mereka yang berbanding terbalik???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Azthar # Cara menghapus jejak.
Azmi yang duduk sendirian di kantin, tiba-tiba mendapatkan kejutan yang sangat hangat dari teman-teman sekelas. Jesika dan Sandra rupanya sudah menyiakan pesta kecil, untuk memperingati pernikahan teman barunya itu dengan pak dosen.
Keberadaan Mereka menjadi perhatian banyak orang di tempat makan tersebut, hingga beberapa senior yang lain melirik mereka yang berisik bagi mereka. Ada pula yang berbisik-bisik mengghibah Azmi karena alasan yang sudah pasti kalian tahu.
Azmi terkejut dengan mulut menganga, melihat kue ucapan selamat yang dibawa sandra tepat dihadapannya.
"Kalian ini, apa-apaan sih? Membuat aku kaget," tanya Azmi masih tak percaya, karena di kelas mereka cukup dingin padanya.
"Ya ampun, pura-pura gak tahu aja," sindir Jesika, lah emang Azmi kagak tahu.
"Kita udah nyiapin ini dari pagi, tapi kata pak Athar alias suami lo. Katanya di kantin aja, pas istirahat. Elo nya lagi melow, gegara takut kita bully," ujar Sandra menjelaskan.
"Kata pak putar-putar, elo gak mau kuliah karena pasti sudah bikin kita kaget. Tapi emang kita kaget, sih. Nih, si Jesi sampe pingsan pas lihat undangannya," ujar Beny menjitak kepala Jesi yang berada disampingnya, dan teman wanitanya itu membalasnya dengan menjambak rambut gatsby-nya.
Tawa riuh menggema meriangkan suasana di kantin, Azmi pun merasa lega dengan penilaian teman kelasnya. Ia tersenyum melihat tingkah temannya, apa lagi Beny dan Jesi yang kompak absurdnya.
"Ayo kita makan kuenya! Keburu dingin," ujar Sandra, menganggap kue bolu yang dipegangnya itu bak mie ayam.
"Itu udah dingin, emang dimakan anget gitu, kek mie ayam aja," Beny berseloroh terkekeh geli.
"Kaya elo gak tahu aja, dia seblak aja dimakan sama es batu biar gak panas," timpal Jesi yang membuka aib Sandra.
Sandra cuma cuek saja mendengar aibnya dibongkar sahabatnya.
"Udah, udah. Ayo makan!" ajak Sandra yang sudah kepegelan pegang kuenya, ia menaruhnya dibangku dan semua orang duduk dengan separuhnya berdiri mengelilingi bangku tersebut.
Keu dipotong dan dibagi rata sama teman sekelasnya sampai habis tak tersisa. Suasana itu tak luput dari Athar yang berdiri melihat mereka di balik dinding, ia mendadak membelikan kue tersebut sebagai penyejuk hati Azmi yang sempat gundah.
Bibirnya terlukis begitu saja, kala melihat istrinya yang tersenyum merekah. Apalagi pipi lesungnya itu yang selalu bikin gemas.
Athar membalikan badannya untuk pergi, setelah memastikan kondisi batin istrinya sudah lebih baik dari dikiranya. Baru dua langkah, ia melihat Klara berjalan kearahnya. Mantannya itu mulai sering berjalan disekitarnya, yang kadang membuatnya merasa terganggu.
"Selamat, atas pernikahannya. Maaf juga kemarin aku tak hadir, ini hadiah dari ku. Semoga langgeng," ucap Klara memberikan bingkisan yang dibungkus rapi dengan kotak persegi dan pita merah yang mempercantik kado tersebut.
"Permisi!" pamit Klara begitu saja.
Athar melanjutkan langkahnya menuju ruangannya, ia menaruh hadiah dari Klara diatas meja dan duduk dikursinya. Hembusan nafas lega dengan. Sunggingan bibirnya tergambar jelas, ketika mengingat bayangan kebahagiaan Azmi yang terlintas kembali dikepalanya.
Namun saat ia melihat bingkisan yang ada dihadapannya ia terdiam, lalu ia membukanya. Senyuman yang menghiasi bibirnya mendadak pudar, melihat isi dari kado yang diberikan Klara padanya.
Selembar foto kenangan mereka berdua didepan kampus, juga beberapa hadiah yang pernah ia berikan pada Klara. Setiap hari jadi hubungan mereka, masih bagus dan terawat hadiah-hadiah tersebut dan ada satu kotak yang belapis beludru diantara hadiah tersebut.
Yakni cincin dengan batu permata yang berkilau indah, cincin lamaran yang pernah Athar berikan untuk wanita tersebut. Kenangan itu bermunculan dikepalanya. Saat mereka bersama, saat mereka tertawa, semuanya masih utuh namun kini sudah retak menjadi pecahan beling yang tajam. Menusuknya dan menjadi luka tersendiri.
"Klara, maukah kamu menjadi istriku?" ucap Athar saat itu.
Mereka masih cukup muda saat itu, dia sendiri pun masih berusia 23 tahun dan belum memiliki rumah ataupun kendaraan. Masih hangat bekerja jadi dosen kampus, namun kebahagiaan itu hilang begitu saja. Bertahun-tahun menunggu malah mendapat kabar bahwa Klara sudah punya anak.
Dia mulai fokus menjadi pengajar, fokus pada penelitian, fokus pada prestasinya dan juga niatnya untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, hanya untuk melupakan wanita itu. Hingga tak terasa ia sudah lulus menjadi Doktor, dan setuju untuk dijodohkan oleh ibunya.
Athar memasukkan cincin itu kembali ke kotak itu, ia menutupnya dan menaruhnya dilaci paling bawah. Kenangan biarlah menjadi masa lalu, ia sudah punya Azmi. Jadi untuk apa ia kembali pada Klara?
Namun, rasanya begitu menyiksa. Ia mendadak butuh hormon yang bisa memberinya booster untuk melupakan Klara. Ia memejamkan matanya, menyandarkan punggungnya pada kursi empuknya. Ia berusaha kuat menghilangkan jejak-jejak yang masih menempel didalam otaknya.
"Azmi, kamu dimana? Aku butuh kamu," ucap Athar yang hanya Azmi dan tingkah absurdnya yang bisa menjadi obat baginya.
"Ya, mas. Ada apa?" suara Azmi membuatnya bangun dari ketidak berdayaan.
Mata pak dosen terbuka, ia melihat Azmi yang sudah duduk dikursi yang ada didepan meja kerjanya. Ia mendadak terkesiap.
"Kapan kamu ada disitu?" tanya Athar, matanya melebar terlihat sangat sikapnya yang terkaget.
Azmi menggaruk kepalanya yang tak gatal, bibirnya tersenyum canggung melihat suaminya yang terperanjat karena kehadirannya.
"Bapak pasti lagi melamun, kan? Saya sudah ketuk pintu dan memanggil bapak yang terhormat dengan sopan tapi gak nyaut-nyaut. Saya pikir bapak gak ada pas buka pintu bapak diem aja, jadi saya masuk," ujar Azmi menjelaskan perkaranya.
"Saya gak lama cuma mau ngasih ini, tadi temenku bilang mas yang beliin. Jadi aku potong juga buat mas," sambung Azmi tangannya menggeser piring plastik kecil beserta garpunya.
Azmi berdiri, ia mendadak tak enak melihat tingkah suaminya. "Sok lanjutin aja, melamunnya. Saya pergi dulu mau ke perpus," pamitnya.
Athar tersenyum melihat istrinya datang tepat waktu, ia juga sedikit salah tingkah melihat dessert yang ada dihadapannya. Tapi saat melihat Azmi yang mau keluar ia segera menghentikannya.
"Azmi," panggil Athar.
Azmi membalikkan badannya dan menoleh pada pak dosen, "Iya, ada apa?"
"Tangan aku mendadak kram, kamu mau ya, suapin aku?" ujar Athar memulai siasatnya dengan meminta pertolongan istrinya.
"Kan, bisa pake tangan kiri," tolak Azmi, ia gak nyaman apalagi ini di kampus.
"Aku gak kidal, Azmi. Sudah cepetan! Jangan nolak kalau suami kasih perintah," tegas Athar membuat Azmi mencebikkan bibirnya.
"Ini di kampus, kita mahasiswi sama dosen. Kalau di rumah baru suami istri." ujar Azmi kukuh tak mau dan menolak melakukannya.
Gadis itu memilih mengabaikannya dan pergi dari ruangan bapak Athar, hendak memutar knop suara Athar menghentikannya.
"Ah, sakit Mi. Aduh," lagi Athar berpura-pura untuk menarik magnet simpati dari istrinya. Tangan kirinya memegang tangan kanannya yang katanya kram itu.
"Ahh," ringis Athar yang kian menjadi, suaranya ia kencangkan untuk memanipulasi pikiran Azmi.
Azmi mulai serba salah, antara kasihan, gak enak karena ini di kampus juga dia mau pergi ke perpus.
"Ahhh, Azmi ini sakit banget," lagi pak dosen itu meringis kesakitan.
Akhirnya Azmi memilih kembali dan malah memindahkan kursi depan dan duduk disamping si bapak pengajar. Tangannya terulur dan memijat pelan tangan pak Athar dengan pelan.
"Kok bisa kram, sih?" tanya Azmi lirih dan cemas.
"Aku gak tahu," jawab Athar tersenyum samar, ia menikmati pijatan lembut sang istri yang perlahan membuatnya lupa tentang masa lalu.
Beginilah enaknya satu kampus sama istri, tangan pegal ada yang pijit-in. Ya, kan pak dosen?
Diambang pintu, seorang dekan berdiri menajamkan telinganya. Ia hendak memberikan suatu berkas tapi terkendala oleh suara ringisan dari dalam ruangan bapak profesor.
Tangannya tak berani mengetuk, pun memanggil namanya. Mereka lagi hangatnya penganti baru, masih terbilang wajar untuk ah ... beliau tak berani menegurnya karena dari pengalamannya saja saat jadi pengantin baru, ia tahu rasanya.
"Apa nanti saja, ya aku berikan ini? Kalau pak Athar sudah selesai dengan ritualnya," ucap beliau bingung sendiri.