NovelToon NovelToon
Godaan Kakak Ipar

Godaan Kakak Ipar

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Pembantu
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 - Pagi yang mengubah

Pagi hari yang cerah menyapa dengan sinar matahari yang lembut menembus jendela-jendela besar rumah mewah keluarga Samudra. Aroma kopi robusta yang baru diseduh bercampur dengan harum roti panggang memenuhi dapur yang minimalis namun lengkap. Senja tengah sibuk menyiapkan sarapan dengan hati yang penuh perhatian, telur mata sapi yang dimasak sempurna, roti gandum panggang dengan selai strawberry buatan sendiri, buah-buahan segar yang dipotong cantik, dan secangkir kopi hitam tanpa gula, persis seperti kesukaan Samudra.

Gadis itu menata semuanya di atas nampan kayu jati dengan serbet linen putih yang dilipat rapi. Sebuah bunga matahari kecil dari taman belakang diletakkannya di sudut nampan, sentuhan personal yang selalu dilakukannya untuk membuat orang merasa istimewa.

"Semoga Mas Samudra sudah merasa lebih baik hari ini," gumamnya sambil memeriksa suhu kopi sekali lagi. Tujuh hari terakhir, dia telah merawat Samudra dengan sepenuh hati, dan perlahan-lahan demam pria itu mulai reda. Tapi Senja tetap khawatir, karena kemarin malam dia sempat mendengar Samudra batuk beberapa kali.

Dengan langkah ringan, Senja menaiki tangga menuju kamar utama di lantai dua. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, sebuah reaksi aneh yang baru muncul beberapa hari belakangan ini setiap kali dia akan bertemu dengan Samudra. Perasaan yang membuatnya bingung sekaligus bahagia.

"Mas Samudra?" Senja mengetuk pintu kamar dengan lembut sambil menyeimbangkan nampan di tangan kirinya. "Aku bawa sarapan."

"Masuk, Senja," sahut suara dari dalam kamar. Kali ini suaranya terdengar lebih segar, tidak serak seperti hari-hari sebelumnya.

Senja membuka handel pintu perlahan sambil mendorong dengan pinggulnya. "Mas, aku sudah masak telur mata sapi yang Mas suka, dan juga ada..."

Kata-katanya terpotong ketika matanya menangkap pemandangan yang membuatnya membeku di tempat.

Samudra baru saja keluar dari kamar mandi, rambut hitamnya yang tebal masih basah menetes, tubuh atletisnya yang tinggi tegap hanya dilindungi selembar handuk putih yang melilit pinggang. Tetesan air masih membasahi kulit dadanya yang bidang, otot-otot perutnya yang terbentuk sempurna berkilau terkena cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela besar.

"Oh, Tuhan!" pekik Senja dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Nampan di tangannya bergoyang berbahaya, cangkir kopi hampir tumpah dari tempatnya. Dengan refleks yang gugup, Senja berbalik cepat memunggungi Samudra, pipinya memerah seperti tomat yang terlalu matang.

"Ma-maaf, Mas! Aku tidak tahu kalau Mas Samudra masih... aku harusnya mengetuk lebih lama... aku..."

Suara tawa rendah dan maskulin memotong ocehan gugup Senja. Ketika dia menoleh sedikit, dia bisa melihat Samudra sedang tersenyum lebar, senyuman yang sangat jarang terlihat di wajah pria yang biasanya serius itu.

"Tidak apa-apa, Senja," kata Samudra sambil mengambil bathrobe sutra biru navy dari gantungan di balik pintu kamar mandi. "Seharusnya aku yang minta maaf karena tidak memberitahu kalau sedang mandi."

Suara kain yang bergesekan membuat Senja tahu bahwa Samudra sedang memakai bathrobe-nya. Tapi dia masih tidak berani berbalik.

"Sudah, kamu boleh berbalik sekarang," kata Samudra dengan nada yang terdengar geli.

Senja perlahan-lahan berbalik, matanya masih tertunduk menatap lantai marmer yang mengkilap. Pipinya masih memerah, dan jantungnya berdetak sangat kencang hingga dia khawatir Samudra bisa mendengarnya.

"Mas Samudra," bisiknya pelan, "aku letakkan sarapannya di meja ya?"

"Tentu," jawab Samudra sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Matanya tidak lepas dari Senja yang terlihat sangat menggemaskan dengan tingkah polosnya itu.

Selama seminggu terakhir, Samudra mulai melihat sisi lain dari Senja yang selama ini hanya dianggapnya sebagai adik ipar. Gadis itu ternyata sangat perhatian, tulus, dan memiliki kepolosan yang menyegarkan di tengah dunia yang penuh kepalsuan ini. Sangat berbeda dengan Luna yang selalu terlihat dibuat-buat dan penuh perhitungan.

"Senja," panggil Samudra ketika gadis itu selesai menata sarapan di meja kecil dekat jendela.

"Ya, Mas?" Senja masih tidak berani menatap mata Samudra secara langsung.

"Kamu lucu sekali kalau sedang gugup begitu."

Komentar itu membuat pipi Senja semakin memerah. "Aku... aku tidak gugup, Mas."

"Benarkah?" Samudra berdiri dari tepi tempat tidur dan berjalan menghampiri Senja dengan langkah yang percaya diri. "Lalu kenapa pipimu merah sekali? Dan kenapa kamu tidak mau menatap mata Mas?"

Jarak di antara mereka kini hanya sekitar satu meter. Senja bisa mencium aroma sabun mandi yang segar bercampur dengan aroma maskulin alami Samudra yang membuat kepalanya sedikit pusing.

"Mas Samudra," kata Senja sambil berusaha mengalihkan perhatian, "bukankah hari ini Mas harus istirahat? Demamnya baru kemarin reda."

Samudra menggeleng sambil tersenyum. "Mas sudah merasa jauh lebih baik. Terima kasih sudah merawat Mas dengan begitu baik, Senja. Tanpamu, mungkin Mas tidak akan sembuh secepat ini."

Mendengar pujian itu, jantung Senja berdesir senang. "Itu... itu sudah kewajiban ku, Mas."

"Bukan," kata Samudra dengan nada yang lebih serius. "Yang kamu lakukan jauh melampaui kewajiban. Kamu merawat Mas dengan hati, Senja. Dan Mas sangat menghargai itu."

Samudra mengambil jas abu-abu gelap dari dalam lemari dan mulai memakainya. Gerakannya yang elegan dan percaya diri membuat Senja tidak bisa memalingkan pandangan.

"Mas Samudra mau ke kantor?" tanya Senja dengan nada khawatir.

"Iya. Ada beberapa rapat penting yang tidak bisa ditunda lagi," jawab Samudra sambil merapikan kerah kemejanya.

Senja melangkah maju tanpa sadar, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus. "Tapi Mas baru sembuh. Bagaimana kalau nanti demam lagi? Bagaimana kalau..."

"Senja," potong Samudra lembut sambil memegang kedua bahu gadis itu. "Mas baik-baik saja."

Sentuhan hangat tangan Samudra di bahunya membuat Senja terdiam. Untuk pertama kalinya selama seminggu ini, dia memberanikan diri menatap langsung ke mata pria itu.

Mata coklat gelap Samudra memancarkan kehangatan yang belum pernah dilihat Senja sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, sesuatu yang membuat perut Senja terasa seperti ada kupu-kupu yang beterbangan.

"Senja," bisik Samudra dengan suara yang lebih rendah dan lembut, "terima kasih. Terima kasih sudah ada untuk Mas ketika tidak ada orang lain yang peduli."

Kalimat itu terdengar sedih dan penuh makna. Senja tahu bahwa Samudra merujuk pada Luna yang memilih pergi liburan daripada merawat suami yang sakit.

"Mas..." bisik Senja, suaranya bergetar karena emosi.

Tangan Samudra perlahan beralih dari bahu Senja ke kedua tangan gadis itu. Jemarinya yang panjang dan hangat menggenggam tangan Senja dengan lembut namun penuh arti.

"Mas tidak pernah merasa dirawat dengan sepenuh hati seperti ini sebelumnya," lanjut Samudra, mata mereka masih terkunci satu sama lain. "Kamu membuat Mas merasakan sesuatu yang sudah lama tidak Mas rasakan."

Jantung Senja berdetak sangat kencang hingga dia merasa akan pingsan. "Ap-apa yang Mas rasakan?"

"Kehangatan," jawab Samudra sambil melangkah lebih dekat. "Perhatian yang tulus. Cinta yang murni."

Kata 'cinta' itu menggantung di udara di antara mereka, menciptakan ketegangan yang sangat kental. Senja merasakan napasnya menjadi dangkal, sementara Samudra terus melangkah mendekat hingga jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa senti.

"Mas Samudra..." bisik Senja, namanya terasa asing dan intim di bibirnya.

Samudra melepaskan genggaman di tangan Senja dan mengangkat kedua tangannya untuk mengcup wajah gadis itu dengan lembut. Ibu jarinya membelai pipi Senja yang masih memerah, merasakan kelembutan kulitnya.

"Senja," bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar, "bolehkah Mas...?"

Senja tidak bisa menjawab dengan kata-kata. Jiwanya seolah telah meninggalkan tubuh, dan yang tersisa hanya perasaan yang membuncah di dadanya. Dia hanya bisa mengangguk sangat pelan, hampir tidak terlihat.

Perlahan, sangat perlahan, Samudra mendekatkan wajahnya. Napas hangat mereka bercampur, mata mereka terpejam, dan dalam keheningan pagi itu...

Bibir mereka bertemu.

Ciuman itu lembut, penuh perasaan, dan sangat berbeda dari ciuman-ciuman yang pernah digambarkan Senja dalam novel-novel romantis yang pernah dibacanya. Ini nyata, hangat, dan membuatnya merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar.

Samudra mencium Senja dengan penuh kelembutan, tanpa nafsu yang menggila, hanya perasaan murni yang sudah tertahan selama berhari-hari. Tangan-tangannya masih mengcup wajah Senja, memperlakukan gadis itu seperti bunga yang rapuh namun berharga.

Tubuh Senja awalnya kaku karena terkejut, tapi perlahan-lahan dia merasakan kehangatan yang menyebar dari bibir mereka ke seluruh tubuhnya. Tanpa disadari, tangannya terangkat dan mencengkeram kemeja Samudra, membalas ciuman itu dengan canggung namun tulus.

Ciuman itu berlangsung hanya beberapa detik, tapi terasa seperti keabadian bagi keduanya. Ketika mereka terpisah, kedua pasang mata itu terbuka perlahan, masih terpaku satu sama lain.

Wajah Senja memerah seperti tomat, napasnya tersenggal-senggal. Kesadaran tentang apa yang baru saja terjadi menghantamnya seperti petir di siang bolong.

"Aku... aku harus pergi!" seru Senja tiba-tiba sambil mendorong Samudra dengan lembut dan berlari menuju pintu.

"Senja, tunggu..." panggil Samudra, tapi gadis itu sudah menghilang di balik pintu yang tertutup dengan suara yang agak keras.

Samudra berdiri mematung di tengah kamar, jemarinya menyentuh bibirnya sendiri yang masih terasa hangat. Senyuman perlahan mengembang di wajahnya, senyuman tulus yang sudah lama tidak muncul.

Hatinya terasa ringan dan hangat, sangat berbeda dari perasaan dingin yang selama ini menyelimuti pernikahannya. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun pernikahan, dia merasakan debaran cinta yang sesungguhnya.

Sementara itu, Senja berlari menuruni tangga dengan tergesa-gesa, wajahnya masih memerah dan jantungnya berdetak kencang. Dia langsung masuk ke kamar kecilnya di lantai dasar dan menutup pintu dengan punggungnya, napasnya masih tidak teratur.

Jemarinya menyentuh bibir yang baru saja dicium lagi oleh Samudra. Masih ada rasa hangat di sana, masih ada aroma mint dari pasta gigi yang digunakan pria itu.

"Oh Tuhan," bisiknya sambil merosot duduk di lantai, "apa yang baru saja terjadi?"

Perasaan bahagia, bingung, takut, dan bersalah bercampur aduk dalam hatinya. Dia baru saja dicium oleh kakak iparnya sendiri, pria yang sudah beristri, suami dari kakak tirinya.

Tapi kenapa... kenapa dia merasa bahagia? Kenapa dia membalas ciuman itu? Dan yang paling menakutkan, kenapa dia ingin merasakan ciuman itu lagi?

Di lantai atas, Samudra masih berdiri di kamarnya dengan senyuman yang tidak bisa hilang dari wajahnya. Dia tahu bahwa yang baru saja dilakukannya adalah salah, tapi hatinya merasa lebih hidup daripada yang pernah dirasakannya selama bertahun-tahun.

1
Ariany Sudjana
semoga samudra lekas tahu bahwa Luna selama ini selingkuh dari samudra, dan selama ini hanya ingin harta samudra saja. dan setelah samudra tahu yang sebenarnya, jangan sampai senja yang jadi sasaran Luna, kasihan senja dan samudra, ga tega lihatnya selalu jadi sasaran kemarahan Luna , yang sudah ga waras
Ariany Sudjana
eh Luna udah gila yah, yang buat samudra jadi ilfil kan Luna juga, selama ini ga mau melayani samudra, bahkan suami sakit, Luna milih jalan-jalan ke Bali, sama selingkuhannya. yang urus samudra sampai sembuh ya senja sendiri. jadi jangan salahkan senja dong. ini samudra belum tahu istrinya selingkuh, kebayang kalau tahu, seperti apa reaksinya samudra
Ariany Sudjana
bagus samudra, jangan mau masuk dalam jebakan Luna, dia tidak mencintaimu, hanya ingin harta saja, dan sekarang dia butuh 500 JT itu. dan di hati Luna hanya ada Arjuna , pasangan selingkuhnya
Ariany Sudjana
Luna juga kan selingkuh, jadi maling jangan teriak maling dong
Ariany Sudjana
saya sih ga salahkan senja atau samudra yah, kalau Luna bisa menghormati samudra selaku suami, mungkin ga akan terjadi. tapi Luna juga malah selingkuh, belum tahu saja Luna, kalau dia juga hanya dimanfaatkan saja sama selingkuhannya
Ariany Sudjana
di rumah ada cctv kan? coba samudra lihat kelakuan Luna terhadap senja, kalau Luna pas di rumah
Ariany Sudjana
semoga saja Dewi bisa menemukan dengan siapa Luna di restoran itu, dasar Luna bodoh, belum sadar hanya dimanfaatkan sama Arjuna
Bunda SB: namanya juga cinta kak🤭
total 1 replies
Ariany Sudjana
samudra harusnya jujur sama mama kandungnya, jangan takut nanti irang tuanya akan membenci Luna. kan memang selama ini Luna yang ga mau punya anak? kalau memang nanti orang tuanya samudra jadi benci sama Luna, ya itu urusan Luna
Ariany Sudjana
semoga samudra bisa melindungi senja, karena Luna begitu jahat dan licik, dan kalau Luna tahu apa yang terjadi selama dia di Bali, pasti senja akan disiksa habis sama Luna
Ariany Sudjana
saya sih ga menyalahkan kalau sampai samudra dekat sama senja. lha punya istri, tapi istri ga pernah memperhatikan dan mengurus suami, apalagi pas suami lagi sakit. Luna malah sibuk dengan selingkuhannya.
Ariany Sudjana
apa Luna punya selingkuhan? sehingga begitu dingin sama samudra, suaminya sendiri.
Ariany Sudjana
di rumah ga ada cctv? sampai samudra begitu percaya sama Luna
Ariany Sudjana
samudra jangan percaya begitu saja sama Luna, senja sampai pingsan karena ulah Luna, si nenek lampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!