Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.
Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”
Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.
”Dion...”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apartemen Griya Sejahtera
Dari sudut pandang orang asing, sikap Tama mungkin tampak terlalu mendesak ketika berusaha mengusir pendatang baru itu. Karena alasan tersebut, Dion tidak berani memberikan janji apa pun kepada pria tersebut. Sebaliknya, setelah mendengarkan penjelasan Tama, ia justru menyimpan kecurigaan bahwa pria itu menyembunyikan sesuatu.
“Aku sudah memberitahumu segala yang diketahui, masih ada waktu untuk pergi. Saat jarum jam menunjukkan pukul dua puluh empat, apartemen ini akan berubah menjadi sesuatu yang berbeda.” Setelah menyampaikan kalimat itu, Tama menepuk debu dari pakaiannya, kemudian berbalik meninggalkan tempat itu.
Bayangan tubuh Tama baru saja menghilang di balik kegelapan malam ketika Dion akhirnya tersadar. Niat awalnya adalah menggali lebih banyak informasi mengenai gedung ini dari para penghuninya. Namun kini, ia justru meninggalkan percakapan dengan lebih banyak pertanyaan dibanding jawaban.
’Pria itu benar-benar sosok yang aneh, tapi aku tidak bisa tahu apakah ia gila atau tidak.’ Mengingat tatapan mata Tama yang keruh dan tidak fokus sepanjang percakapan mereka, Dion merasakan ketidaknyamanan yang sulit dijelaskan. Rasa sakit dan kelelahan yang terlihat jelas di mata pria itu tampak nyata, mustahil dipalsukan. ’Tapi sepertinya ia sangat mencintai tunangannya.’
Saat Dion kembali menuju kamar, langkahnya terhenti ketika melewati pintu sebuah kamar wanita di lantai satu. Ia sempat ragu sebelum akhirnya mengetuk pintu tersebut.
Tok...Tok...Tok...
Pintu kamar wanita itu tetap tertutup rapat. Tapi yang mengejutkan Dion, pintu kamar di seberangnya justru terbuka. Seorang pria bertubuh kurus berdiri bersandar di ambang pintu. Usianya tampak sekitar tiga puluhan, dengan penampilan yang sangat berantakan. Jenggotnya dibiarkan memanjang nyaris menyatu dengan rambut, sementara punggung tangannya dihiasi tato bunga kamboja.
“Kamu siapa?” tanya Dion dengan nada waspada.
“Pria yang menyebarkan pengumuman orang hilang itu bukan penghuni gedung ini, ada yang tidak beres dengannya di sini.” Pria kurus itu mengetuk pelipisnya dengan telunjuk, seolah menandakan kegilaan. “Jangan percayai sepatah kata pun darinya, dan sebaiknya jangan terlalu dekat.”
Dion memandang pria itu dengan penuh kehati-hatian. Ini adalah kali pertama ia bertemu dengannya, dan meskipun penampilan luarnya jauh dari kata rapi, perilakunya justru terlihat lebih wajar dibanding penghuni lain yang pernah ditemui di apartemen ini.
“Tindak-tanduk pria itu memang aneh,” ujar Dion, “namun mungkin karena dia sangat terpukul akibat kehilangan tunangannya.”
“Apakah dia mengatakan kepadamu bahwa tunangannya menghilang di sekitar gedung ini?”
“Ya.”
“Apakah dia juga mengatakan mendapat informasi dari polisi, sehingga mencarinya di sini?”
“Ya.”
Pria itu tertawa pendek, kemudian berkata dengan nada dingin, “Aku sudah tinggal di sini selama sembilan bulan, belum pernah sekalipun kulihat pihak kepolisian datang ke tempat ini. Pria gila itu membohongimu, aku yakin kamu tidak percaya omongannya tentang hantu kan?”
Ia mengeluarkan sebatang rokok, menjepitnya di bibir, lalu menyalakannya. “Tidak ada hantu di dunia ini! Paling-paling, ada seseorang yang pura-pura menjadi hantu. Bagaimanapun juga malam sudah larut, sebaiknya kamu kembali ke kamar.”
Dion mengangguk, berterima kasih singkat, lalu melangkah pergi. Saat menapaki anak tangga, pikirannya diliputi pertanyaan. ’Jelas salah satu dari mereka berbohong, tapi siapa?’
Tenggelam dalam lamunan, Dion tidak sadar telah tiba di lantai tiga. Nomor pudar tertera di sudut dinding, sementara lampu yang menyala berdasarkan sensor suara di atas kepalanya berkedip-kedip. Ia menatap lorong panjang yang tampak mengerikan, seluruh lantai ini terlihat hancur dan tidak terawat. Debu menebal di lantai, sementara bekas hangus tampak jelas di beberapa titik. Lapisan cat dinding mengelupas seperti kulit terkelupas, menampakkan goresan-goresan yang menyerupai bekas sayatan.
’Mengapa lantai tiga dibiarkan dalam kondisi seperti ini? Apakah karena keterbatasan dana perbaikan, atau ada alasan yang jauh lebih mengerikan?’
Lampu sensor suara itu kemudian padam, menjerumuskan Dion ke dalam kegelapan pekat. Beruntung, pekerjaannya di Rumah Hantu membuatnya terbiasa dengan suasana seperti ini. Kehilangan penglihatan mendadak, tidak membuatnya panik. Ia merogoh saku, mengeluarkan ponsel, dan hendak menyalakan senter ketika matanya menangkap bayangan bergerak cepat melintas di ujung lorong.
“Siapa di sana?” serunya sambil mengarahkan cahaya senter ponselnya, tapi bayangan itu sudah menghilang. Dion baru hendak menyelidikinya lebih jauh ketika telinganya menangkap suara langkah kaki dari arah tangga.
’Apakah itu pemilik penginapan?’ Jika ia tertangkap sedang berkeliaran di lantai tiga, besar kemungkinan akan diusir. Mempertimbangkan hal itu, Dion segera mematikan senter, menyimpan ponsel, lalu bergegas turun ke lantai dua.
Saat berbelok di tangga, matanya menangkap sosok pria bertubuh gemuk dan pendek keluar dari salah satu kamar di lantai dua, sambil membawa sebuah baskom. Pria itu bersenandung riang, tetapi ketika melihat Dion, ekspresinya seketika berubah pucat. Ia segera berbalik dan lari tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.
’Apa artinya itu? Apakah aku tampak semenakutkan itu?’ Dion menggeleng pelan, lalu kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri di atas ranjang, memeluk ranselnya erat-erat. ’Rasanya tidak ada satu pun penghuni apartemen ini yang benar-benar normal, setiap dari mereka bisa saja menjadi pelaku pembunuhan.’
Kalimat itu baru saja terlintas di benaknya, ketika Dion mendadak bangkit dari posisi berbaring. ’Tunggu sebentar, misi yang diberikan kepadaku adalah menemukan pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan. Kata ‘pihak’ bisa bermakna tunggal maupun jamak. Jika demikian, mungkinkah ada lebih dari satu pembunuh? Lagi pula, jika memang ada beberapa kasus pembunuhan, peluang keberadaan lebih dari satu pelaku meningkat drastis. Aku harus mencari informasi lebih dalam mengenai kasus yang terjadi bertahun-tahun silam.’
Dion meraih ponsel, percakapannya dengan Tama ternyata tidak sia-sia. Setidaknya ia mendapatkan petunjuk penting, sebelum dikenal dengan nama Apartemen Seroja, tempat ini pernah memiliki sebutan lain.
Ia mengetik kata “Apartemen Griya Sejahtera” pada kolom pencarian. Beberapa detik kemudian, sederet judul berita mengerikan muncul memenuhi layar.
“Satu keluarga beranggotakan empat orang dibunuh secara brutal! Pelaku lenyap tanpa jejak?”
“Kecelakaan atau pembunuhan? Fakta di balik kebakaran Apartemen Griya Sejahtera.”
“Kasus dalam kasus, mayat-mayat yang tersembunyi di dalam gedung digali!”
Membaca baris-baris tajuk itu, kulit Dion merinding. Ini bukan cerita fiksi, semua kejadian itu nyata, dan kini ia justru berada di tempat yang menjadi lokasi tragedi.
Lima tahun lalu, seorang tetangga melaporkan asap tebal membubung dari Apartemen Griya Sejahtera, dan segera menghubungi pemadam kebakaran. Tim pemadam datang secepat mungkin memadamkan api, dan melakukan penyelidikan untuk mengetahui sumber kebakaran serta tingkat kerusakan.
Awalnya, petugas menduga kasus ini hanyalah kebakaran tidak disengaja. Tapi seiring proses penyelidikan, tanda-tanda janggal mulai bermunculan.
Retakan besar menghiasi dinding beton, pecahan kecil pada kaca jendela, serta jelaga hitam yang menempel pekat di langit-langit, semuanya menunjukkan bahwa api berkobar pada suhu sangat tinggi dan menyebar dengan cepat.
Lebih aneh lagi, ditemukan beberapa titik awal api di lokasi berbeda yang saling berjauhan. Pola ini jelas, mengarah pada pembakaran yang disengaja.
Sejak saat itu, sifat penyelidikan pun berubah drastis, dan polisi diterjunkan ke lokasi. Ketika puing-puing digeledah, petugas menemukan empat jasad yang hangus terbakar. Berdasarkan keterangan, mereka diyakini sebagai anggota keluarga pengelola apartemen tersebut.
Kasus ini menimbulkan kegemparan besar kala itu, kepolisian berusaha keras mengungkap kebenarannya. Tapi api telah melalap sebagian besar bukti, mereka menyisir setiap sudut gedung, tetapi gagal menemukan tanda keberadaan pelaku. Bahkan sekadar petunjuk keberadaan orang kelima pun nihil, apalagi menangkap pelakunya.
Apartemen itu akhirnya disegel selama satu tahun penuh, setelah itu hak pengelolaan diserahkan kepada ayah pemilik yang lama. Saat itulah nama Apartemen Griya Sejahtera diganti menjadi Apartemen Seroja.
’Satu keluarga dibakar hidup-hidup, dan pelakunya masih bebas hingga kini. Tidak mengherankan jika banyak orang menyebut tempat ini berhantu.’ Setelah mengetahui kebenaran ini, Dion justru merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya ia memahami ancaman seperti apa yang sedang dihadapi.
Meski begitu, satu detail pada laporan-laporan itu menarik perhatiannya. Hampir semua artikel menegaskan bahwa saat tewas, pemilik apartemen berusia empat puluh satu tahun. Setelah peristiwa itu, pengelolaan berpindah kepada ayahnya. Secara logika, jika orang tersebut benar-benar masih hidup hingga kini, usianya seharusnya sudah mencapai enam puluh atau bahkan tujuh puluh tahun.