Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Lampu neon di lorong rumah sakit terus berpendar, menciptakan bayangan samar di dinding putih pucat. Miko melangkah dengan langkah tergesa ke ruang rawat Alan. Wajahnya keras, sorot matanya penuh gejolak. Di tangannya, ia menggenggam dokumen hasil tes DNA yang baru saja diberikan oleh orang suruhan ibunya. Dokumen yang membuktikan satu hal, Alan memang darah dagingnya.
Tangannya sempat bergetar saat membuka pintu kamar. Namun begitu masuk, matanya langsung menyapu ruangan.
Rania… wanita itu sedang duduk di sisi putranya.
Miko melangkah masuk dan tanpa bicara menyeret Rania keluar dari ruangan itu.
“Lepas!” Rania menepis tangan kuat lelaki itu.
Tapi, sedetik kemudian pria itu memojokkannya ke dinding. “Punya keberanian dari mana Kau lahirkan darah dagingku?” dengan sorot mata penuh kesal.
Rania menarik napas, dalam. “Aku yang mengandungnya. Terserah aku mau lahirkan atau-”
“Orangku sudah memastikan kau meminum pil itu. Jadi kau berani tidak menelannya? Kau sengaja permainkan aku? Kau sengaja membuat aku merasa bersalah karena membiarkan keturunanku hidup tanpa arah denganmu di luar sana?” pria itu kian mendidih.
PLAK…
Sebuah tamparan benar-benar mendarat di pipi Miko. Rania membalas tatapannya dengan mata sembab yang penuh keberanian. Bagaimana pun yang dikatakan Miko memang benar. Tapi kata-kata itu terlalu merobek harga diri Rania sebagai ibu yang sudah berjuang sejauh ini. "Kau tidak harus mengakui anakku, Miko. kau bisa menganggap dia tidak ada!"
Cukup perih, Miko mengusap bekas jari Rania di pipinya. Tapi kemudian, tangannya mencengkeram batang leher wanita itu. “Kau memang terlalu berani, Rania. Meganggapnya tidak ada maksudmu? Jangan mimpi! Baiklah, karna Kau sudah membawanya ke hadapanku, mulai sekarang anak itu jadi urusanku. Itu hukuman untukmu.”
Rania menepis pelan tangan yang menahannya. Ia tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Alih-alih membiarkan Miko melihat sisi lemahnya, Rania dengan tatapan menggoda, “Jadi Kau juga menginginkan anak?” Rania mulai memainkan jarinya, menciptakan sentuhan menggelikan. Miko, sepertinya mulai terjerat. Ia membisu. “Tapi… Miko, anak itu dilahirkan olehku.” Rania terus melanjutkan aksinya, sambil menatap wajah baj1ngan yang kini hanya berjarak beberapa centi. “Kau sangat membenciku dan ingin menghabisiku, tapi kau… malah… menikmati tubuhku, malam itu.” bisiknya penuh provikasi. “Kau lihat wajah anak itu…? Persis sepertimu, kan? itu karna… Kau sangat menikmati aku…”
Senyum mengejek yang tergaris di sudut bibir Rania kembali menyadarkan Miko. Ia murka. Pria itu menahan gemuruh amarah di dadanya. Padahal rasanya sangat ingin- ugh… “Berani menggodaku? Ini pasti rencanamu, kan? Ingat ini baik-baik, anak ini saja tidak akan mampu membuat aku bersimpati. Aku akan bawa anak itu pergi darimu. Kau boleh menangisi hari-hari sialmu setelah hari ini.” tegasnya, lalu kembali ke ruangan Alan.
Rania yang masih mematung mulai menumpahkan air matanya yang kini benar-benar tak lagi bisa ditahan.
Miko berdiri kaku di sisi ranjang. Alan memang begitu mirip dirinya. Rambut hitam kecoklatan, alis tegas, sorot mata yang meski redup karena sakit, tetap menyalakan bara di hati Miko. Kau memang anakku!
Tiba-tiba, suara lirih terdengar. Alan menggeliat pelan. “Ughh… Mama…?”
Miko refleks meraih tangan mungil itu. Perlahan, menahan emosi. “Bukan… ini aku. Aku….”
Alan membuka mata, menatap samar. Lalu, pandangannya mulai fokus pada pria itu. Dahi bocah itu berkerut.
“Om…? Om sponsor lomba…?”
Miko menelan ludah. Lidahnya kelu, tapi hatinya mendesak untuk jujur. “Bukan hanya itu, Alan. Aku… aku adalah papamu.”
Alan terdiam. Matanya membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Papa…? Tapi…” Alan menggeleng. yang ia tahu ayahnya sudah lama pergi.
Miko meremas lembut tangan Alan, berusaha menahan getaran emosinya.
“Papa memang pernah hilang. Papa… tidak tahu Kau ada. Tapi sekarang, Papa tahu. Kau anak Papa, Alan. Kau darah dagingku.”
Air mata jatuh di pipi Alan. Bibirnya bergetar.
“Kalau begitu… mana Mama? Kenapa Mama tidak di sini bersamaku? Aku ingin Mama…”
Miko tercekat. Ia menoleh sejenak ke arah pintu, berharap Rania muncul. Tapi kosong.
Miko menghela napas dalam, menahan gejolak. “Mama… Mama sedang beristirahat. Tapi percayalah, Papa akan menjagamu sekarang. Papa akan memastikan kau sembuh.”
Alan mengguncang kepalanya, menolak.
“Tidak! Aku mau Mama! Aku tidak bisa sendiri tanpa Mama! Tolong… panggilkan Mama…”
Miko merasakan hatinya seperti diperas. Ia sadar, ikatan Alan dengan Rania terlalu dalam. Dan meski ia baru hadir, ia hanyalah sosok asing di mata anak itu.
Saat itulah pintu terbuka. Nyonya Mia masuk dengan langkah tenang, elegan seperti biasa.
“Alan sayang, tenanglah. Kau butuh banyak istirahat.”
Alan menoleh, bingung.
“Nenek…?”
Nyonya Mia tersenyum tipis, lalu beralih pada Miko. Tatapannya memberi sinyal jelas agar ia tidak melanjutkan pembicaraan soal Rania.
“Miko, waktu kita tidak banyak. Aku sudah menyiapkan semua. Alan harus segera diterbangkan malam ini juga. Dokter di luar negeri sudah menunggu. Jangan buang waktu untuk hal lain.”
Miko menegang. “Tapi Rania… dia harus tahu. Alan mencarinya.”
Nyonya Mia berdiri lebih dekat, suaranya tegas, penuh kuasa.
“Tidak, Miko. Kau tidak paham? Rania tidak layak berada di sekitar anak ini lagi. Dia akan membuat Alan lemah dengan air matanya. Anak ini butuh harapan, bukan kesedihan. Kau ayahnya. Kau harus tegas.”
Miko menatap ibunya dengan mata membara. Ada pertarungan batin antara hasratnya menuruti ibunya atau nalurinya mencari Rania. Namun, Nyonya Mia melanjutkan dengan tajam.
“Jika kau membuang waktu mencari wanita itu, nyawa anakmu bisa dalam bahaya. Apakah kau mau mengambil risiko?”
Alan menatap keduanya dengan bingung dan panik.
“Aku… aku mau Mama….”
Miko menunduk, menutup mata, menahan rasa sakit yang mencabik. Namun, ia tahu operasi itu satu-satunya jalan. Dan waktu terus berjalan. "Alan, Papa janji, mamamu akan menyusul kita."
__
Di sisi lain kota, Rania duduk di lantai ruang tengah rumah kontrakannya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Di pelukannya, Chesna menangis tersedu.
“Kenapa, Mama? Kenapa Alan dibawa pergi? Kenapa Mama tidak ikut?”
Rania mengusap rambut anak perempuannya dengan gemetar.
“Mama juga ingin ikut, Nak… Mama ingin terus bersama Alan. Tapi mereka… mereka tidak mengizinkan Mama. Mereka bilang Alan butuh pengobatan di luar negeri… hanya mereka yang bisa membantunya.”
Chesna mengguncang tubuh ibunya, suaranya pecah penuh luka.
“Tapi Alan butuh Mama! Alan takut kalau Mama tidak ada… Alan selalu bilang begitu setiap kali tidur. Kenapa Mama tidak melawan? Kenapa Mama biarkan Alan pergi sendiri?”
Tangisan Chesna menghancurkan hati Rania. Ia menutup wajah, bahunya terguncang hebat. “Maafkan Mama… Maafkan Mama, Nak… Mama tidak punya kuasa… tidak punya apa-apa….”
Chesna memeluk ibunya erat-erat. Tangisan mereka melebur jadi satu, memenuhi ruang sempit itu.
“Chesna, mama kangen Alan. Mama sakit hati berpisah dari anak laki-laki mama.”
____
Beberapa jam kemudian, Miko berdiri di atap rumah sakit bersama ibunya dan Alan yang masih terbaring di atas brankar dorong. Para staf medis bersiap mengangkut bocah itu ke pesawat khusus.
Alan masih setengah sadar. Tangannya berusaha meraih sesuatu yang tidak ada di sekitarnya.
“Mama… Mama di mana…? Aku mau Mama….”
Miko terdiam, jantungnya diremas rasa bersalah. Ia ingin berteriak, ingin memutar arah, membawa Alan kembali pada pelukan Rania. Tapi genggaman ibunya di bahu membuatnya kaku.
Nyonya Mia tegas, berbisik, “Jangan goyah, Miko. Kau sedang menyelamatkan anakmu. Itu yang terpenting.”
Miko menghela napas panjang, menatap putranya yang terus memanggil ibunya. Di dalam hati, ia berjanji: “Rania… aku akan pastikan Alan hidup. Meski harus memisahkannya darimu. Aku tidak bisa kehilangan dia.”
Pesawat pun berangkat, membawa Alan menjauh dari tanah kelahirannya dan dari ibunya yang menangis tanpa daya di rumah.
__
Rania dan Chesna
Malam semakin larut. Rania masih duduk di ruang tengah bersama Chesna yang akhirnya terlelap karena kelelahan menangis. Wajah anak perempuannya penuh air mata yang kering di pipi.
Rania mengusap rambutnya lembut, lalu menatap kosong ke luar jendela. Hatinya seperti berlubang besar. Ia tahu Alan kini sedang dibawa pergi. Ia tahu anaknya membutuhkan dirinya, tapi ia bahkan tidak berdaya untuk mendekat. "Alan, demi kesembuhanmu, mama rela melepasmu, sayang..." Air matanya kembali jatuh. “Maafkan Mama, Alan… Maafkan Mama… Semoga suatu hari nanti, kita bisa bertemu lagi. Dan saat itu, Mama tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi…”
Di antara luka yang membakar, hanya satu hal yang membuatnya tetap bernapas, harapan. Harapan bahwa takdir masih akan mempertemukan mereka kembali, meski untuk sekarang, ia dan Chesna hanya bisa menangis dalam kehilangan.
___