Menjadi seorang dokter bedah ilegal di dalam sebuah organisasi penjualan organ milik mafia berbahaya, membuat AVALONA CARRIE menjadi incaran perburuan polisi. Dan polisi yang ditugaskan untuk menangani kasus itu adalah DEVON REVELTON. Pertemuan mereka dalam sebuah insiden penangkapan membuat hubungan mereka menjadi di luar perkiraan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlacak?
Devon membiarkan Ava duduk di depan perapian dalam diam. Wanita itu masih tak inginb berkomunikasi dengannya.
Dan Devon memberikan waktu yang banyak pada Ava sampai wanita itu mau membuka dirinya sendiri pada Devon.
Hingga akhirnya, beberapa jam kemudian, ada suara yang memecah kesunyian. Bukan suara binatang liar di sekitar hutan atau pun desiran angin, melainkan deru mesin mobil yang kasar, bukan hanya satu, tapi beberapa, mendekat dengan cepat melalui jalan berbatu yang sama yang mereka lalui beberapa jam sebelumnya.
Suara itu semakin keras, terlalu cepat dan terlalu janggal untuk sekadar orang yang tersesat di hutan itu.
Devon, yang baru saja mengambilkan selimut untuk Ava, membeku di tempatnya.
Matanya, yang memiliki kewaspadaan polisinya, kembali menyipit, penuh dengan fokus yang mematikan.
Dia melemparkan selimut itu dan melompat ke jendela, menyibak tirai tipis dengan ujung jari.
Wajahnya langsung tegang dan kemudian mengambil kunci mobilnya di atas meja kayu.
Dia melihat tiga mobil SUV hitam berhenti dengan tidak rapi di halaman depan, membentuk formasi seperti kepungan.
Pintu-pintu mobil terbuka secara hampir bersamaan, dan pria-pria berbadan tegap dengan pakaian gelap segera keluar.
Mereka bukan preman biasa karena gerakan mereka terlatih. Dan di tangan mereka, senjata api berkilat.
"Tidak mungkin," desis Devon, nadanya lebih pada ketidakpercayaan daripada rasa takut. "Bagaimana bisa mereka menemukan kita?”
Ava, yang melihat perubahan pada Devon, beranjak dari dekat perapian. "Ada apa?”
Ava tidak perlu menunggu lama untuk jawabannya.
DOR!!
DOR!!
Rentetan tembakan pertama mengguncang pintu kayu tebal villa itu seperti petir. Suaranya memekakkan telinga, mengisi ruang kecil yang tadinya dipenuhi oleh desisan api yang menenangkan.
Kayu pecah berhamburan di sekitar kunci dan engsel. Mereka bukan mengetuk, mereka sedang merusak tempat itu.
"Devon!" teriak Ava sambil merunduk dan menutupi kepalanya.
Devon sudah bergerak. Instingnya sebagai polisi dan sebagai seorang yang terlatih mengambil alih.
Dia menerjang ke depan, meraih lengan Ava dengan erat dan menariknya dengan paksa menjauh dari pintu utama, tepat ketika rentetan tembakan kedua menghajar pintu itu, membuatnya hampir terlepas dari engselnya.
"Kita harus pergi! Sekarang!" ucapnya, suaranya rendah dan bergetar karena situasi yang sangat tegang.
"Tidak! Mereka menginginkanku! Bukan kau! Lepaskan aku saja. Mereka akan membiarkanmu pergi!” protes Ava, mencoba melepaskan cengkeramannya.
“What? Tidak! Aku tak akan meninggalkanmu!”
Mata Ava membesar, dipenuhi ketakutan. "Lepaskan aku, Devon! Lari! Selamatkan dirimu sendiri!"
"Jangan bodoh!" bentak Devon, menariknya lebih keras menuju koridor belakang.
Matanya masih sangat waspada dan semakin fokus. Pintu utama akhirnya jebol dengan suara kayu yang pecah dan metal yang berderit.
Teriakan-teriakan kasar pria-pria itu memenuhi ruang tamu. Suara sepatu mereka menginjak pecahan kayu dan porselen.
Devon tidak membuang waktu. Dia mendorong Ava ke depan menuju pintu belakang dapur yang kecil.
Dengan satu tendangan keras, Devon membuka kunci dan mendobraknya terbuka.
"Di belakang!" teriak seseorang dari samping rumah.
Mereka terjebak.
Devon mengeluarkan pistolnya dari pinggangnya, sebuah senjata polisi standar yang dia bawa sebagai bagian dari perlindungannya.
Itu terasa tidak berarti dibandingkan dengan senjata otomatis yang dimiliki para penyerangnya. Tapi itu adalah satu-satunya yang dia punya.
"Larilah ke balik pohon besar itu! Sekarang!" perintah Devon kepada Ava, mendorongnya ke arah sebuah pohon ek tua yang tumbuh beberapa meter dari villa, cukup besar untuk memberi perlindungan sementara.
Ava berlari dan entah mengapa dia menurut, rasa takutnya mengalahkan segala penolakannya.
Dia bersembunyi di balik batang pohon yang besar, tubuhnya menggigil hebat karena dia takut jika Devon tertembak dan mati karenanya.
Devon tidak menunggu lama. Begitu seorang penyerang muncul dari sudut bangunan, Devon sudah menembak.
DOR!!
DOR!!
Dua kali. Suaranya bergema di heningnya suasana hutan. Pria itu terpelanting ke belakang, menjerit kesakitan.
Tembakan itu membuat para penyerang lain berhenti sejenak, memberi Devon waktu berharga beberapa detik.
Dia tidak menggunakan tembakan sebagai alat untuk membunuh, tapi sebagai alat pengalih.
Dia bergerak dengan lihai dan cepat, memanfaatkan medan yang sudah dia hafal.
Dia berlari ke arah lain, menjauh dari Ava, dan melepaskan tembakan lagi ke arah jendela dapur, membuat kacanya hancur.
Suara itu menarik perhatian para penyerang ke arahnya.
"Di sana! Dia di samping!" teriak seorang pria.
Mereka mengalihkan fokus mereka, mengejar bayangan yang bergerak cepat itu.
Devon, dengan pistolnya yang sekarang hampir habis amunisinya, memanfaatkan keahlian bertarung jarak dekatnya.
Ketika seorang penyerang mendekatinya terlalu dekat, Devon menghindar dari cepat, menangkap lengan pria itu, dan memelintirnya dengan keras hingga terdengar suara tulang yang patah.
Senjata itu terjatuh, dan Devon menyelesaikannya dengan pukulan keras ke rahang menggunakan gagang pistolnya.
Devon berguling di tanah, menghindari rentetan tembakan dari orang lain, dan menendang kaki pria itu dengan cukup kuat hingga membuatnya terjatuh.
Dia merampas senjata pria itu, sebuah pistol semi-otomatis, dan sekarang, dia memiliki kesempatan untuk menyerang lagi.
(JANGAN PERNAH MELEWATKAN KOMEN YAAAK.. KOMEN YANG BANYAK)