Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Parto Dibakar?
Siang harinya sebelum Parto disandera...
Langkah kaki cepat karena berlari dengan panik, disertai suara napas yang menderu karena panik dan ketakutan terdengar di jalan utama desa.
“To-tolong! Warga!” teriaknya keras, membuat beberapa warga pun akhirnya keluar rumah.
“Ada apa, Kang, tengah hari teriak-teriak?” tanya salah satu warga yang melihat seseorang berlari ketakutan itu.
Pria yang tak lagi beralaskan kaki, itu pun menghentikan langkah, dadanya kembang kempis, pundaknya naik turun dengan ritme sangat cepat, terlihat jelas wajahnya pucat pasi namun berkeringat deras.
“I-itu ku-kuburan ju-jumini—” ucapnya dengan napas yang masih tersengal-sengal.
“Kenapa dengan kuburan Jumini, Kang?” tanya Sukijo ikut mendekat.
“Bolong!”
Melihat pria itu sangat kelelahan, Bu Gemi memberikan segelas air putih, karena kebetulan pria itu berhenti tepat di jalan depan rumahnya. “Minum dulu, Kang. Nanti ceritakan perlahan,” ucapnya seraya menyerahkan gelas di tangannya.
Pria itu menerima gelas dari Bu Gemi, lalu menenggaknya hingga habis, namun tangannya masih gemetaran karena syok, membuat beberapa air putih itu tumpah mengenai tubuhnya.
Setelah sedikit merasa tenang, dan berhasil mengatur napasnya, pria itu mulai membuka suara.
“Ja-jadi aku melihat kuburan Jumini habis digali seseorang, aku hanya melihatnya sekilas, karena panik dan takut, aku tak memeriksa detailnya, ta-tapi semua benar-benar kacau disana!” terangnya masih dengan tubuh sedikit menggigil.
“Kamu nggak salah lihat?” sahut Sukijo, pasalnya ia ingat betul bersama Parto, telah mengembalikan bentuk makam kembali seperti semula, bahkan taburan bunga pun sengaja ia bawa yang baru.
“Buat apa aku bohong!” tegas pria itu.
“A-aku akan panggil pak RT!” seru warga yang lain, sedangkan sisanya segera menuju ke pemakaman.
Tepat seperti yang diceritakan pria tadi, gundukan tanah, tempat jasad yang mereka namai Jumini itu dikubur, kini terlihat berantakan dengan liang lahat menganga lebar, bahkan sebagian jasadnya terlihat.
Semua mata terbelalak terkejut melihatnya. Berbagai opini dan celotehan pun terdengar riuh di sana.
“Hmph! Baunya menyengat!” seru seseorang seraya menutup hidungnya rapat-rapat, begitu juga dengan yang lainnya.
“Pantas malam sebelumnya aku mendengar suara anjing alas melolong, ternyata ini yang akan terjadi!” sahut warga lain
“Benar! Pasti seseorang mencari pesugihan!” sahut yang lain lagi.
“Periksa tali pocongnya!”
“Hm! Kasihan ya, wes mati karena ketimpa jembatan, masih juga ada warga yang jahil ngambil tali pocongnya!”
Masih banyak lagi celotehan tak berdasar yang dengan mudah terlontar dari satu mulut ke mulut lainnya. Hingga akhirnya pak Ngatnu pun tiba.
“Nah itu pak Ngatnu! Lihat ini, Pak. Menurutmu siapa kira-kira yang tega melakukan hal ini lagi?” tanya seorang warga berapi-api, seakan menuntut sang RT selalu memiliki seribu jawaban untuk menyelesaikan setiap persoalan warga.
Pak Ngatnu melongok sejenak untuk memeriksa. “Entahlah, aku tidak begitu yakin, tapi—”
“Kalau dipikir-pikir, orang yang mengacau saat kita menguburkan jasad ini adalah orang kota yang sekarang tinggal di ruko mu itu, Pak.” Salah satu warga memotong ucapan pak Ngatnu.
“Benar, dia bahkan membual kalau jasad ini bukan Jumini, jadi dia pasti yang menggalinya dengan dalih menemukan fakta, begitu kan biasanya orang kota!”
“Benar! Orang itu sudah berkali-kali membuat keributan di kampung ini, usir saja dia pak RT!”
“Benar, usir saja dia, desa kita udah banyak masalah tanpa dia, dan sekarang jadi makin runyam karena ada dia!”
“Eh, Sukijo, kamu kok malah diam saja, toh? Lihat itu kuburane istrimu dihancurkan orang begitu loh!”
Tentu saja Sukijo tak bisa berkata apapun, ia kini hanya bisa terdiam mengingat akankah ada orang lain yang melihat apa yang dilakukannya bersama Parto, dan pertanyaan sejenisnya.
“Tenang, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, kita selidiki dulu, jangan langsung menyimpulkan seperti itu,” ucap bijak pak Ngatnu seperti biasanya.
“Buat apa, Pak! Sudah tentu dia, tak ada lagi yang patut untuk dicurigai, semua kekacauan bermula sejak orang itu datang.”
Pak Ngatnu terdiam sesaat, berpura-pura berpikir, ‘Bagus, semua tampak alami untuk menyingkirkan orang itu dengan sekali gerakan!’ batinnya.
“Hm, baiklah kalau begitu, akan aku pastikan, nanti kita sidang dulu, sekarang kita perbaiki makam ini dengan layak, baru setelahnya akan aku cari orang itu dan ku pastikan dia akan mengaku.”
Para warga pun setuju dan dengan mudah Pak Ngatnu kini berbalik mengawasi gerak-gerik Parto tanpa ia sadari.
Sialnya keberuntungan tengah berpihak pada pak Ngatnu. Tepat saat Parto memasuki sebuah salon untuk menjalankan rencananya menyamar sebagai wanita seksi, Pak Ngatnu melihatnya.
“Apa yang akan dilakukannya? Itu salon untuk wanita,” pikir Pak Ngatnu lalu membuntuti Parto dengan rencana jahatnya.
.
.
.
Parto masih berusaha melepaskan ikatannya, namun tak sedikitpun ikatan-ikatan di lengan tangan dan kaki, leher, dan pinggangnya itu melonggar. Justru semakin ia bergerak menggeliatkan tubuh, ikatan-ikatan itu terasa semakin erat mencekik sekujur tubuhnya.
Dalam kepanikan itu, Parto memperhatikan dua orang bertopeng lateks itu. “Ada yang salah, apa mereka kelompok penjahat dengan banyak anggota?’ pikir Parto sambil berusaha menggali kembali ingatan-ingatannya.
‘Pria dalam penglihatanku yg pertama, dia sangat mirip dengan si tanpa rambut. Tapi pria yang gelut denganku malam kemarin, dia seratus persen mirip orang itu,’
‘Apa yang harus kulakukan untuk memastikan itu?’ Parto berusaha keras berpikir, mencari semua kemungkinan.
“Hei! Kalian! Apa kalian hanya bertiga?” pancing Parto dengan pertanyaan sederhana.
“Jangan mencoba mengadu-domba! Hidupmu memang harus berakhir. Tapi tenang saja, aku tak akan membiarkanmu mati dengan mudah!” sahut pak Ngatnu dengan sombong.
“Aih, baiklah, sepertinya memang aku tak punya kesempatan untuk selamat, tapi setidaknya aku harus menyampaikan ini,” Parto sengaja menjeda ucapannya, untuk melihat reaksi para pria paruh baya yang duduk berkumpul memainkan kartu domino.
“Jangan dengarkan apapun katanya, korban yang licik, pasti akan melakukan negoisasi dengan cara apapun agar kita lengah dan melepaskannya!” Pak Ngatnu kembali mematahkan rencana Parto.
“Hm, terserah saja, tapi aku tak ingin mati penasaran dan harus gentayangan mencari kalian hanya untuk mengatakan hal ini.” Parto pun tak kehabisan akal.
“Ah, berisik sekali, apa maumu hah?” gertak si rambut gondrong seraya melempar kartu-kartu yang tadi dipegangnya ke meja kecil di hadapan mereka.
“Malam itu, aku bertemu dengan seseorang yang menggunakan topeng yang sama, persis seperti kalian, tapi rambutnya lebih tampan jika dibanding dengan kalian. Apa—”
Ya! Tepat seperti dugaan Parto, ketiga pria itu saling bertukar pandang, raut wajah terkejut sekilas terlihat.
“Jadi, apakah dia juga teman kalian? Atau sebenarnya desa ini dipenuhi dengan penjahat seperti kalian? Wah,sungguh diluar dugaan!”
“Jangan asal bicara! Kamu hanya orang asing yang kebetulan mampir, dan apa—hutang dua puluh juta? Jangan harap kamu akan mendapatkan kembali!” ucap congkak pak Ngatnu lagi.
“Wah! Bahkan hal itupun sudah kamu rencanakan? Jadi kebaikanmu dan ramah tamahmu itu hanya cara busukmu untuk melakukan hal seperti?” balas Parto mulai menyadari kebusukan pak Ngatnu.
“Kita percepat saja melenyapkannya, dia berisik sekali!” keluh si kepala plontos.
“Ohoho! Jangan kira kalian mudah menghabisiku, karena aku punya bukti kejahatan kalian, jika kalian menghabisiku, semua catatan tentang kejahatan kalian, seseorang akan menyebarkannya!” Parto mencoba berimprovisasi, jika saja masih memiliki kesempatan untuk meloloskan diri.
“Benar! Dia terlalu banyak bicara!” Si plontos bergerak cepat meraih sebuah dirigen yang mereka simpan di sudut gubuk itu.
“Baiklah, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankannya, hanguskan saja dia!” seru pak Ngatnu yang lebih terdengar seperti sebuah perintah.
“Hm! Mari bersenang-senang, kita hanguskan dia seperti yang kita lakukan pada nenek tua itu!” seringai puas si gondrong.
Si plontos itu pun menyiramkan cairan yang mudah terbakar itu ke sekeliling Parto, bahkan di sekitar gubuk, dan —
Bul!
Api pun berkobar mulai membakar gubuk yang terletak sangat jauh dari pemukiman warga itu.
...****************...
Bersambung....