Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Wanita, Dua Luka
"Apa aku memang tidak pantas untuk keluarga triliuner itu? Bahkan Reno ... juga memilih sahabatku yang punya segalanya." Adelia terdiam dalam renungannya.
Setelah pertemuan dengan Ny. Jonathan, Adelia merasa seperti bayangan yang tak diinginkan. Meski tetap tinggal di rumah yang Reyhan belikan, ia mulai menjaga jarak.
Ia tak lagi memeluk Reyhan saat pria itu pulang larut, tak lagi mengajaknya makan bersama. Semua menjadi hening. Bukan karena benci, tapi karena ia takut bahwa dirinya hanyalah penghalang untuk hidup yang seharusnya lebih baik bagi Reyhan.
"Del, mulai besok aku mungkin udah makin sibuk di kantor. Kamu nggak apa-apa sendirian di rumah terus?" tanya Reyhan karena khawatir. "Kalau mau, aku bisa membuatmu jadi sekretaris pribadiku, biar nggak kesepian sebelum aku pulang."
"Enggak usah, Rey. Toh aku juga udah ambil cuti dari kantor."
"Tapi, kamu bisa masuk lagi, Del. Biar aku yang tangani kalau ada orang-orang yang berkata buruk tentangmu."
"Kamu tangani? Kekuasaanmu saja akan dialihkan untuk Reno. Apa sekarang kamu nyesel?"
Reyhan terdiam. Adelia benar. Jika Kekuasaan itu beralih, maka dirinya tidak memiliki kewenangan penuh.
"Del, apapun itu akan aku lakukan untukmu. Sekalipun urusan kantor. Kamu percaya kan? Um ... mau aku peluk?"
Adelia hanya menggeleng pelan sebelum melangkah ke dapur.
Reyhan terdiam. "Nggak kaya biasanya. Biasa juga main nyosor sendiri."
Reyhan mulai merasakan perbedaan itu. Tatapan Adelia tak lagi hangat, sentuhannya menjadi kaku. Tapi ia tidak bertanya. Karena ia tahu, semua berawal dari ibunya—dan mungkin ... dari masa lalu yang belum selesai.
---
Di kantor Jonathan Group, Emma kembali memainkan langkahnya.
"Kamu ada rapat sore ini dengan bagian legal, Rey," ucap Emma dengan senyum menggoda saat menyerahkan berkas.
"Aku tahu," jawab Reyhan singkat.
Emma menyandarkan tangan ke meja Reyhan, membungkuk sedikit, suaranya menurun. "Kamu kelihatan lelah. Butuh seseorang untuk ... sekadar mendengarkan."
Reyhan mengangkat wajah, menatapnya. Matanya teduh, tapi lelah. Dan untuk sepersekian detik, ada jeda yang menggantung. Ia merasa nyaman. Tapi juga bersalah.
"Apa maumu, Em?"
"Mauku?" Emma tersenyum sambil mengedipkan matanya dengan gaya centilnya itu.
Reyhan kembali teringat saat di mana Emma bersikap seperti anak kecil yang haus kasih sayang untuk dimanja. Apalagi sifat centilnya yang masih sama.
"Mauku ... itu kamu, Rey, hanya kamu," bisik Emma sangat pelan. Sangat dekat dengan telinga Reyhan. Lalu meniupnya secara perlahan.
"Hentikan, Emma." Reyhan sadar sebagai pria normal ia mulai goyah. Apalagi goyah akan pesona masa lalunya sendiri.
"Tidak, Rey. Tidak akan aku hentikan, sayang. Kamu tahu kalau aku ... masih ingin bersandar di dada bidangmu tiap waktu."
"Aku sudah menikah, Emma, tolong. Kita sedang di kantor."
"Kantor adalah tempat yang tepat, Rey."
Di saat yang sama, Adelia datang diam-diam membawa makan siang. Terlebih ia menyadari kalau sikapnya sejak pagi tadi terlalu acuh. Tak peduli.
Di depan pintu kantor Reyhan, ia berpapasan dengan Leo dan Dina.
"Eh, eh, bawa bekal buat suami, nih?" goda Leo sambil mencoba mencium aroma dari dalam tas Adelia.
"Jangan bilang kari ayam buatan sendiri lagi! Aku bisa ngambek kalau kamu nggak masak buatku juga," celetuk Dina dengan senyum jahil.
"Iya nih! Masa iya buat Reyhan doang. Kami juga mau, Del."
Adelia mencoba tertawa, tapi wajahnya kaku. "Maaf ya, aku ... cuma mau ngantar sebentar."
Leo dan Dina bertukar pandang. "Delia, kamu yakin mau masuk sekarang?"
"Kenapa?"
"Eh, nggak apa-apa sih ... cuma, kayaknya di dalam ... ya, agak ramai. Emma tadi masuk duluan. Mungkin kamu sudah denger kabar tentang Emma."
"Masa lalu Reyhan? Aku tahu. Oh ... begitu," Adelia menelan ludah, mengangguk. Ia memaksakan senyum. "Terima kasih. Tapi aku harus pergi."
Ia berbalik, meninggalkan kantor itu tanpa pernah masuk. Tanpa pernah menyerahkan makanan yang ia bawa dengan cinta.
"Sepertinya aku emang nggak perlu kirim-kirim makanan lagi. Tapi kalau Emma di sini ... apa aku harus kembali bekerja?"
Kebingungan melanda pikirannya.
Di tempat lain, Karin duduk di dalam ruang tamu pengacaranya. Berkas perceraian mulai diproses. Tapi hatinya berat bukan karena cinta yang hilang—melainkan karena reputasi yang akan tercoreng.
Reno adalah suaminya secara legal, tapi bukan secara emosional.
Karin mulai merasa kehilangan satu-satunya sahabat yang pernah ia miliki, Adelia. Maka, ia menghubungi Adelia secara diam-diam.
"Aku tidak berharap kamu memaafkan aku sekarang," kata Karin saat mereka bertemu di kafe kecil yang dulu sering mereka datangi.
Adelia menatapnya tajam. "Kamu menikahi orang yang meninggalkanku di altar, Rin. Orang yang dulu aku cintai. Dengan entengnya bicara gitu."
"Dan kamu pikir aku bahagia? Aku bahkan nggak pernah disentuh, Del. Rumahku lebih dingin dari rumah kosong. Aku ... cuma istri di atas kertas."
"Itu karma buatmu, Rin"
"Mungkin memang karma karena aku udah khianati sahabatku sendiri."
Adelia terdiam. Berusaha memikirkan kebenaran dari ucapan sahabatnya itu.
"Aku minta maaf. Setulusnya. Karena mungkin, satu-satunya hal yang aku pikir benar dalam hidupku ... adalah persahabatan kita dulu."
"Tapi, maafmu pun tidak akan mengubah apapun, Rin."
"Ya. Aku tahu. Setidaknya sekarang kamu juga sudah bersama pria yang jauh lebih baik daripada Reno, Del. Jadi tolong ... maafkan aku."
"Rasanya terlalu sulit, Rin."
"Del, aku mengerti. Tapi ... tolong beri aku kesempatan agar kita jadi sahabat lagi."
Adelia tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. Karin tersenyum lebar.
---
Sementara itu, Reno melihat Emma duduk berdampingan dengan Reyhan saat rapat presentasi produk baru. Senyum Emma terlalu hangat. Tangan mereka nyaris bersentuhan saat membolak-balik dokumen.
Setelah rapat selesai, Reno menghampiri mereka di ruang transit VIP. Emma baru saja berdiri, dan Reno langsung menarik lengannya.
"Ada yang ingin kau sampaikan, Ren?" tanya Emma, sinis.
"Apa maksudmu dekat-dekat dengan Reyhan?"
"Dasar bodoh. Apa maksudmu, Ren?"
Reyhan berdiri. "Tenang, Reno. Ini bukan urusanmu."
"Itu mantan pacarmu! Dan sekarang dia pura-pura profesional di depan semua orang, padahal jelas-jelas dia masih menggodamu!"
"Cukup!" Reyhan naik nada. "Jangan bawa-bawa urusan pribadi ke kantor!"
Emma menarik tangannya, tertawa kecil. "Kalian berdua lucu. Aku semakin tertarik untuk menjadi bagian keluarga Jonathan."
Reno menatapnya tajam. "Kamu akan mendapatkannya, Em. Tapi tidak dengan pria yang sudah beristri."
"Lalu kamu apa bedanya, Reno? Kamu punya Karin," jelas Emma.
"Tidak karena aku dan Karin tidak seperti Reyhan dan Adelia. Mungkin ... sebentar lagi Karin akan mengurus perpisahan kami."
Reyhan menjawab dingin. "Kau sudah lebih dulu menghancurkan seseorang, Ren. Kamu yang memulai semuanya. Jadi hentikan, ini kantor."
Mereka saling menatap, tak ada yang mundur. Tak ada yang minta maaf. Dan untuk pertama kalinya, dua saudara kandung itu berdiri di sisi berlawanan, dengan satu wanita di antara mereka.
"Ren, ikut aku."
Melihat sikap Reno yang semakin membingungkan, apalagi setelah malam mereka berdua. Emma dengan cepat menarik tangan pria itu menjauh dari Reyhan.