Ketakwaan dan kebaikan akhlak Zidan membuat Sabrina jatuh cinta kepadanya. Terlebih lagi dia berhutang nyawa kepada pemuda desa itu. Demi menikah dengan Zidan, Sabrina rela menukar dengan dicoret dari daftar nama keluarganya yang kaya raya.
Sifat dan tingkah laku Sabrina yang polos, jujur, dan aneh bin ajaib perlahan membuat Zidan jatuh hati kepadanya. Konsekuensi menikah dengan Sabrina, Zidan dipecat dari kantor perusahaan Jaya Grup milik keluarga Sabrina. Zidan pun pulang ke kampung membawa Sabrina.
Bu Maryam yang benci wanita kota memandang rendah Sabrina, terlebih sang menantu tidak bisa melakukan pekerjaan apa pun. Belum lagi Sabrina sering salah mengartikan ucapannya, membuat wanita paruh baya itu sering emosi.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
“Memangnya mau apa cari-cari aku?” tanya Sabrina sambil menaik-turunkan kedua alisnya dengan ekspresi menyebalkan khas anak bungsu yang manja. Bibirnya tersungging licik, seperti menantang.
“Apa mau kasih kado pernikahan?” lanjutnya sambil menyilangkan tangan di dada, suaranya mengandung nada mengejek.
“Huh, dasar! Giliran minta kado kamu gercep. Kalau aku minta tolong selalu saja ada sejuta alasan,” balas Shaka sambil berdecak kesal. Tangan kakaknya itu tiba-tiba mencubit hidung Sabrina, membuat gadis itu meringis.
“Akang … Shaka nakal!” rengek Sabrina sambil menepis tangan kembarannya. Dia bersembunyi manja di balik lengan Zidan, lalu langsung merangkulnya erat seperti anak kecil yang mencari perlindungan dari guru killer.
Zidan, seperti biasa, selalu hadir sebagai penenang badai. Dengan senyum hangat dan tatapan lembut yang selalu membuat Sabrina luluh, pria itu merangkul istrinya sambil mengusap ujung hidungnya dengan penuh kasih sayang.
“Bismillahirrahmanirrahim ... sudah hilang sakitnya,” ucap Zidan, suaranya pelan dan tenang seperti mantra penyembuh. Sabrina mengangguk senang, bibirnya melengkung riang, seolah luka sekecil itu benar-benar telah lenyap oleh sapuan tangan suaminya.
Shaka mendengus, matanya melirik ke arah pasangan itu dengan ekspresi campur aduk. Cemburu? Jengkel? Entahlah. Tapi di balik gumaman protesnya, hatinya menghangat. Ia tahu benar Sabrina telah mendapatkan sosok pria yang benar-benar menyayanginya. Itu yang terpenting.
Dulu, dia sempat menjadi orang paling keras kepala yang menentang pernikahan adik kembarnya itu. Ia khawatir, Sabrina akan dimanfaatkan. Adiknya itu terlalu polos, terlalu mudah percaya, dan hatinya mudah dibutakan oleh kebaikan orang lain. Tapi hari ini, setelah melihat bagaimana Zidan memperlakukan Sabrina, ketakutannya mulai memudar.
Kini, dengan mata kepalanya sendiri, Shaka menyaksikan cinta itu tumbuh nyata. Bukan sekadar janji di pelaminan, tetapi dalam sikap-sikap kecil, dalam setiap sentuhan lembut, dan dalam perlindungan diam-diam yang Zidan berikan.
“Sebenarnya kedatangan aku ke sini karena ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan dengan suamimu, Sabrina,” ucap Shaka akhirnya, kini dengan nada lebih serius. Matanya tak lagi bersinar jenaka, tetapi memantulkan kesungguhan.
“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?” tanya Zidan, menangkap perubahan ekspresi Shaka.
“Ini termasuk rahasia dan hanya kita berdua saja,” jawab Shaka sambil melirik sekilas ke arah Sabrina.
“Apaan, sih, kamu main-main kerahasiaan?” protes Sabrina. Wajahnya berubah masam, bibirnya manyun. Ia tidak suka merasa dikucilkan—apalagi dalam urusan penting.
“Ini urusan laki-laki! Kamu, kan, wanita?” balas Shaka sengaja memancing emosi, nada suaranya sengaja dibuat datar.
Mata Sabrina membulat, dagunya naik sedikit tanda tidak terima. Dia jelas semakin penasaran. Ada percikan kecil di hatinya, semacam rasa khawatir. Apa yang sangat penting sampai harus disembunyikan darinya?
Zidan menepuk tangan istrinya pelan. “Nanti aku ceritakan, sayang,” katanya menenangkan.
Tanpa menunggu lebih lama, Zidan pun mengajak Shaka ke rumah. Ia merasa, pembicaraan serius memang lebih baik dilakukan di tempat yang tenang dan aman dari telinga siapa pun. Ada sesuatu dalam tatapan Shaka yang membuat Zidan tahu ini bukan sekadar urusan remeh.
Sementara itu, Sabrina akhirnya memutuskan pergi ke salon bersama Bu Maryam. Di dalam mobil, Bu Maryam masih terus mengomel pelan, nada bicaranya penuh kekhawatiran sekaligus lega. Sabrina hanya tertawa kecil, menyadari kalau dirinya memang telah membuat wanita paruh baya itu cemas setengah mati. Karena itulah dia bertekad untuk menyenangkan hati sang mertua hari ini—dengan masker wajah, hair spa, dan cerita-cerita ringan yang bisa menghapuskan sisa-sisa kekhawatiran tadi.
Zidan dan Shaka duduk di teras belakang, tempat favorit keluarga untuk melepas penat. Dari sudut itu, mata mereka dimanjakan oleh hamparan kebun yang tertata rapi, kolam ikan yang berkilauan diterpa cahaya matahari, serta sawah luas yang hijau membentang hingga kaki langit.
Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, menggoyangkan orang-orangan sawah hingga burung-burung yang semula bertengger pun beterbangan ke angkasa. Langit sore itu cerah membiru, seakan tidak menyisakan sedikit pun tanda akan datangnya badai. Zidan duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi rotan, sementara Shaka tampak lebih gelisah, menggoyang-goyangkan kakinya dengan ritme tak beraturan.
"Apa yang ingin kamu bicarakan? Apakah ini ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Sabrina?" tanya Zidan, matanya menyipit, penuh kekhawatiran. Nada bicaranya lembut namun sarat dengan ketegangan.
Sejujurnya, sejak kejadian nahas itu, Zidan tak pernah benar-benar bisa tenang. Bayang-bayang kehilangan istrinya masih sering menghantuinya saat malam tiba. Ia paham betul bagaimana posisi Sabrina di hati keluarganya—dipuja, dijaga, dan dimanjakan. Rasa takut bahwa mereka akan mengambil kembali putri kesayangannya setelah kejadian itu tak pernah benar-benar lenyap dari pikirannya.
"Ya. Kedatangan aku memang untuk itu," jawab Shaka, suaranya dalam dan mantap. Matanya menatap lurus ke depan, seperti menyusun kata yang tepat untuk sebuah rahasia besar. "Jawab dengan jujur, kapan kamu bertemu pertama kali dengan Sabrina?"
Zidan menarik napas panjang. Kenangan itu begitu jelas tergambar dalam benaknya, seolah baru terjadi kemarin.
"Aku menolong dia ketika mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar setahun yang lalu," ucapnya dengan suara pelan namun penuh keyakinan. Ada kilatan emosi dalam sorot matanya, campuran antara cemas dan bahagia, karena dari peristiwa kelam itulah cintanya bersemi.
"Aku baru tahu kalau kami satu tempat kerja ketika dia sudah siuman. Dan yang lebih mengejutkan, rupanya Sabrina anaknya Pak Prabu, pemilik perusahaan tempat aku bekerja," lanjut Zidan, senyum samar muncul di wajahnya mengingat betapa absurd dan takdir pertemuan mereka.
Shaka mengangguk kecil, tapi matanya tak lepas dari wajah Zidan. Ia menimbang tiap jawaban yang keluar. "Waktu itu Sabrina kecelakaan karena apa?" tanyanya, masih dalam mode serius, seperti seorang penyelidik.
"Karena ada kendaraan lain yang menerobos lampu merah, lalu menabrak mobil Sabrina yang sedang melintas. Aku berada tidak jauh di belakangnya," jawab Zidan. Tangannya mengepal, jelas masih teringat jelas momen mendebarkan itu. Darah, suara benturan, teriakan orang—semua masih membekas.
"Apa menurut kamu kecelakaan itu disengaja atau tidak?" Shaka semakin menukik. Nada suaranya rendah tapi tajam, seperti sedang menelusuri benang kusut.
Zidan terdiam sejenak. Dahi dan alisnya bertaut rapat. “Maksud kamu, kejadian itu bukan murni kecelakaan?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.
"Ya, itu menurutku," ujar Shaka dengan serius. "Sampai sekarang pelakunya belum tertangkap. Mobil yang menabraknya ditemukan di dalam hutan. Setelah diperiksa, tidak ditemukan sidik jari di sana. Artinya, mobil itu benar-benar dibersihkan agar tidak diketahui siapa yang sudah mengemudikan."
Zidan melotot tak percaya. Mulutnya menganga sesaat sebelum akhirnya membisu. Dadanya terasa sesak. Rasanya seperti ada yang menaburkan pasir panas ke dalam hatinya.
"Apa?" gumamnya nyaris tak terdengar. Tubuhnya menegang. Pikiran-pikiran liar mulai berlarian dalam kepalanya.
"Pemilik asli mobil itu juga sudah meninggal sekitar tiga tahun yang lalu. Itu artinya ada orang lain yang menggunakannya," lanjut Shaka. Suaranya seperti guntur di tengah cuaca cerah.
Zidan menatap adik iparnya dengan kebingungan. Seolah dunia tiba-tiba saja berubah bentuk di depan matanya. Skenario yang selama ini ia pikir hanyalah sebuah kecelakaan, kini berubah menjadi teka-teki berlapis misteri.
"Lalu, kenapa Sabrina yang menjadi sasaran?" tanyanya akhirnya, dengan suara berat. Di dalam dadanya, ketakutan mulai tumbuh subur.
***