Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 – Doa Malam Nayara
Malam itu, hujan turun seperti bisikan lembut yang mengetuk genteng rumah kecil Nayara. Udara terasa dingin, tapi tidak menusuk. Suasana sunyi, hanya sesekali suara kendaraan jauh melewati jalan raya.
Nayara duduk bersandar di dinding kamar, kedua tangannya melingkari perutnya yang mulai membesar, walau belum begitu terlihat dari luar. Lilin kecil di meja kayu menyala redup. Lampu sengaja ia matikan—bukan karena ingin menghemat listrik, tapi karena ia merasa lebih jujur ketika gelap memeluknya.
Perutnya bergerak pelan. Gerakan sangat lembut, mungkin hanya sensasi awal, tapi cukup membuat hatinya mencair.
“Assalamualaikum… Aruna. Aru.”
Ia berbisik, seolah takut suara keras akan mengusir keajaiban kecil di dalam rahimnya.
Nama itu terucap begitu alami, seperti sudah tertanam dalam dirinya sejak lama. Aruna—cahaya pagi. Aru—singkat, sederhana, tapi hangat.
Ia tahu, ia tidak punya hak memberi nama. Itu anak Karina dan Rendra. Itu perjanjian. Itu aturan.
Tapi bagi Nayara, menamai bukan berarti memiliki. Menamai adalah cara kecil untuk mencintai dalam diam.
Ia mengelus perutnya lagi.
“Aku nggak tahu kalian laki-laki atau perempuan… tapi Aruna dan Aru itu nama yang indah, kan? Nama yang nggak akan bikin kalian berat melangkah nanti.”
Suara hujan makin deras. Dan setiap tetesnya terdengar seperti detak jam yang mengingatkan waktu terus berjalan—dan batas waktunya sebagai “ibu sementara” semakin dekat.
Di meja kecil, jurnal cokelat itu sudah terbuka. Halaman-halaman sebelumnya penuh dengan doa yang ia tulis sejak hari pertama mengetahui tentang kehamilan. Tapi malam ini berbeda.
Malam ini ia ingin menulis sesuatu yang terasa seperti perpisahan.
Tangan Nayara gemetar ketika mengambil pena. Ia menarik napas panjang, menatap halaman kosong yang terasa seperti inti sunyi hidupnya.
Lalu ia mulai menulis:
> “Untuk Aruna dan Aru…
Ibu tahu kalian datang ke dunia ini bukan untuk ibu.
Ibu cuma titipan. Tempat singgah kalian sebelum kembali ke pemilik yang sebenarnya.”
Matanya memanas. Tapi ia tetap menulis, perlahan namun pasti.
> “Ibu nggak tahu apakah nanti kalian akan tahu tentang keberadaan ibu. Mungkin tidak. Mungkin kalian hanya akan mengenal satu nama: Karina. Itu nggak apa-apa.
Ibu cuma ingin kalian tumbuh bahagia… meski bukan di pelukan ibu.”
Pena berhenti sejenak. Air mata jatuh mengenai kertas, membuat tinta melebur samar.
Nayara mengusapnya lembut, seakan tidak ingin merusak kata-kata itu.
Lalu ia melanjutkan:
> “Kalau suatu hari kalian membaca ini…
maafkan ibu karena tidak bisa memiliki kalian di dunia ini.
Maaf karena ibu tidak cukup kuat untuk mempertahankan kalian.
Maaf kalau kasih sayang ibu hanya bisa lewat doa yang kalian tidak dengar.”
Tangisnya pecah, tapi tetap tertahan. Nayara tidak pernah menangis keras. Tangisnya selalu sunyi—seperti seseorang yang tidak ingin menambah beban dunia.
Nadim tidur di kamar sebelah. Suara napas anak itu terdengar samar, membuat Nayara semakin ingin kuat. Ia tidak boleh membuat Nadim khawatir. Anak itu sudah terlalu besar untuk usianya hanya karena hidup memaksanya.
Maka ia menghapus air matanya, menarik napas panjang, lalu kembali menulis.
> “Aruna, Aru… kalian adalah dua garis takdir yang Tuhan kirimkan.
Dan meski nanti aku harus melepaskan kalian, aku ingin kalian tahu…
Ibu cinta kalian sejak sebelum kalian bisa melihat dunia.”
Ia menutup pena dengan tangan gemetar.
Tak lama kemudian, pintu depan diketuk pelan.
Nayara terkejut. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Hanya satu orang yang mungkin datang di jam seperti ini—dan itu justru membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia berdiri pelan, mengusap wajahnya sebelum berjalan ke ruang tamu.
Ketukan terdengar lagi.
“Nayara?” suara Rendra. Pelan, tapi jelas.
Ia membuka pintu sedikit. Rendra berdiri di bawah gerimis, wajahnya terlihat letih.
“Pak? Ada apa malam-malam begini?”
Rendra menunduk sedikit. “Aku… maaf. Aku nggak bisa tidur. Aku tadi kepikiran kamu. Apakah kamu baik-baik saja setelah pemeriksaan kemarin?”
Nayara menelan ludah. Ada kehangatan dalam pertanyaan itu—kehangatan yang justru membuatnya takut.
“Saya baik, Pak. Nggak perlu khawatir.”
Rendra mengangguk, tapi matanya bergerak, mencoba memastikan kebenaran.
“Aku cuma… merasa kamu menanggung semuanya sendirian. Itu… membuatku resah.”
Nayara ingin bilang bahwa ia tidak sendirian. Bahwa Nadim ada. Bahwa Tuhan ada. Bahwa ia punya jurnal dan doa yang selalu pulang kepada-Nya.
Tapi kata-kata itu tidak keluar. Yang keluar justru…
“Pak Rendra, jangan terlalu baik sama saya.”
Rendra terdiam. “Kenapa?”
“Karena saya… takut salah paham. Dan saya takut kalau Ibu Karina salah paham juga.”
Hujan makin deras, menenggelamkan keheningan yang mengambang di antara mereka.
Akhirnya Rendra berkata pelan, “Nayara, aku janji menjaga jarak. Tapi tolong… kalau kamu merasa sedih atau butuh seseorang untuk bicara… kamu boleh hubungi aku. Aku bukan musuhmu.”
Nayara menunduk. “Saya tahu.”
“Baik kalau begitu… aku nggak ganggu istirahatmu lagi.”
Rendra mundur selangkah. “Hati-hati, ya.”
Nayara hanya mengangguk, menutup pintu perlahan.
Begitu pintu menutup, lututnya melemas. Ia bersandar pada dinding, merasakan perasaannya berantakan seperti hujan yang jatuh tanpa pola.
“Kenapa…” bisiknya… “kenapa semua ini terasa semakin salah?”
Ia kembali ke kamar dan duduk di samping jurnalnya. Ia mengambil pena lagi, menulis sambil menahan napas:
> “Doa malam ini…
Ya Allah, jauhkan aku dari perasaan yang bisa merusak hati siapa pun.
Aku mohon… jangan biarkan aku mencintai seseorang yang bukan untukku.”
Kata-kata itu dalam. Jujur. Menyerah dalam diam.
Nayara memeluk perutnya kembali.
> “Aruna… Aru… doain ibu kuat ya.”
Di luar, hujan bagaikan tirai tipis yang menutupi dunia.
Di dalam kamar kecil itu, Nayara berdoa dengan hati yang mulai retak, tapi tetap berharap Tuhan akan menjaga dua nyawa kecil di dalam dirinya.
Nayara menutup jurnalnya perlahan, seolah setiap halaman adalah luka yang harus ia relakan menganga. Lampu kamar dipadamkan, menyisakan cahaya lembut dari lampu tidur kecil yang memantulkan bayangan samar di dinding. Nadim sudah terlelap di kamar sebelah, napasnya berat namun teratur—pertanda tubuhnya masih berjuang pulih.
Keheningan rumah kecil itu terasa seperti selimut tipis yang menutupi kegelisahan Nayara. Tangannya kembali menyentuh perutnya, bahkan tanpa sadar. Dua kehidupan kecil itu membuat segalanya terasa lebih nyata, lebih berat, namun juga lebih berharga.
“Aruna… Aru…,” bisiknya, nyaris seperti doa.
Ia memejamkan mata, membiarkan tiap detik merayap dengan lambat.
“Aku tahu kalian tidak akan kupanggil ‘anak’ nanti… setidaknya bukan di dunia yang bisa kusentuh.” Suaranya bergetar. “Tapi izinkan ibu mencintai kalian… sementara masih bisa.”
Air mata jatuh tanpa sempat ia tahan.
Beberapa hari terakhir, Rendra sering menanyakan kabar kandungannya. Pertanyaan-pertanyaan singkat tapi tulus itu membuat batas yang selama ini ia jaga mulai rapuh. Nayara tahu ia tidak boleh terlalu dekat. Tidak boleh memberi ruang untuk harapan yang salah.
Namun tiap kali ia menulis di jurnalnya, ia selalu menemukan nama Rendra terselip di antara rasa syukur dan rasa takut. Seakan hati kecilnya ingin jujur, tapi pikirannya memaksa tetap waras.
Nayara menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Ya Allah…” doanya lirih. “Kalau nanti aku mulai lemah, kuatkan aku. Kalau nanti aku mulai berharap, tolong ingatkan aku batasnya.”
Ia menatap langit-langit kamar, membiarkan malam mendengarkan seluruh kegundahannya.
“Mereka bukan milikku… tapi izinkan aku menjadi ibu yang baik, sampai waktunya tiba untuk melepaskan.”
Dan untuk pertama kalinya, Nayara merasa ketakutan itu bukan lagi tentang kehilangan—melainkan tentang bagaimana ia akan bertahan setelah itu.