NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Mia duduk diam di sebuah meja makan. Tatapannya tak lepas dari tangga yang mengarah ke lantai atas. Sesekali matanya berkedip, ia mengharapkan jika seseorang akan muncul dari sana dengan kata maaf atau sekadar sapaan hangat.

"Kenapa aku masih menunggunya..." bisiknya dalam hati.

Di hadapannya, Bibi Im tengah meletakkan semangkuk sup hangat dengan gerakan lembut. Wanita paruh baya itu menatap Mia dengan pandangan khawatir.

"Jangan terus melihat ke atas seperti itu, Nona. Sarapanmu nanti akan mendingin."

Mia menoleh sekilas, lalu bibirnya mengukir senyum yang dipaksakan. Namun, ia tetap tak berkata apa-apa.

Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga. Christopher muncul dengan jas rapi dan wajah yang terlihat tampak tenang. Tidak ada tanda bahwa ia tidak tidur semalaman, tidak ada sisa emosi dari pertengkaran mereka semalam.

Mia memperhatikan sosok itu dalam diam.

'Dia tidak tidur semalaman... tapi dia masih bisa terlihat setenang ini.'

Christopher duduk di kursinya dan mulai menyendok sarapannya. Tidak ada sapaan apapun. Tidak ada tatapan darinya yang mengarah ke arah Mia. Hanya suara peralatan makan yang menyentuh piring, mengisi keheningan yang menggantung di antara mereka.

Kemudian, suara ponsel milik Christopher memecah keheningan. Christopher mengambilnya dan tersenyum kecil, senyum yang belum pernah ia berikan pada Mia selama beberapa waktu terakhir.

"Halo? ...Ya, aku akan segera pulang."

Nada suaranya berubah menjadi hangat dan melembutkan, seperti dirinya yang dulu. Namun senyuman itu bukan untuk Mia.

"Apa kau ingin aku membawakan makanan favoritmu?"

Mia menghentikan gerakan sendoknya. Pandangannya tertunduk, dan suaranya pelan, nyaris tak terdengar.

"Dia..."

Sebait nama tanpa nama. Ia tidak perlu mengucapkannya dengan jelas. Ia tahu betul siapa yang menelepon Christopher itu. Ia juga tahu suara hangat itu bukan untuk dirinya.

"Dia menelepon lagi..." bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada siapa pun.

Christopher menutup panggilan teleponnya, lalu berdiri tanpa menjelaskan apa pun. Pandangannya melintas singkat ke arah Mia, namun tidak ada penyesalan di sana.

"Aku pergi dulu. Ada dokumen yang harus kubawa secepatnya."

Mia memaksakan senyumannya meskipun suaranya bergetar.

"Baik... Hati-hati di jalan."

Beberapa saat kemudian, suara mobil terdengar meninggalkan rumah. Seketika keheningan kembali menyelimuti ruang makan.

Mia hanya menatap pintu yang tertutup dengan tatapan kosong. Seperti jiwanya saat ini.

Bibi Im mendekat perlahan, lalu menyentuh bahu Mia dengan kelembutan keibuan.

"Nona Mia... jangan bersedih seperti itu. Kami tahu... kami semua tahu bahwa perasaanmu sangat tulus."

Mia mengalihkan pandangannya, lalu menghela napas pelan.

"Itu tidak ada gunanya, Bibi," balasnya lirih.

Ia berdiri perlahan dan melangkah ke ruang tamu. Tubuhnya terasa ringan, seolah jiwanya telah lelah tinggal di dalamnya. Ia duduk di sofa dan segera meringkuk, lalu memeluk kedua lututnya.

Tubuhnya mulai bergetar.

"Aku... selalu gagal menghentikannya untuk pergi..." suaranya serak, tenggelam dalam tangis yang tertahan.

Air matanya mulai jatuh satu per satu. Rasa sakit yang tertimbun selama ini akhirnya menemukan jalan keluarnya.

"Satu telepon darinya... dan dia langsung pergi tanpa ragu..."

"Sedangkan aku?" lanjutnya, suara itu hampir tidak terdengar, seperti bisikan yang menyayat udara.

"Aku hanya... alasan palsu untuk kebohongan ini."

Bibi Im berlutut di samping sofa, lalu menatap Mia yang masih meringkuk dalam diam. Dengan gerakan pelan, ia mengelus lengan gadis itu.

"Nona..." bisiknya lembut, "Anda sudah melakukannya lebih dari cukup."

Namun Mia tidak merespons. Tatapannya kosong, tertuju pada langit-langit seolah mencari jawaban yang tidak pernah datang.

"Kalau begitu..." gumamnya akhirnya, suaranya lirih dan retak. "Untuk apa aku tetap bertahan disini? Apa aku sebodoh itu… mencintai seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar melihatku?"

Ia menutup matanya, dan suaranya berubah menjadi bisikan yang penuh dengan keputusasaan.

"Aku tidak ingin apa-apa lagi... aku hanya ingin berada di sisinya... tapi bahkan itu pun sangatlah mustahil..."

Melihat wajah Mia yang pucat, Bibi Im segera berdiri dan berjalan sebentar ke dapur. Lalu ia kembali membawa segelas air, lalu meletakkannya di meja kecil dekat sofa.

"Nona muda… wajah Anda sangat pucat," ucapnya lembut, ia menahan kekhawatirannya.

Mia hanya duduk diam menunduk dalam keheningan yang menyayat.

Bibi Im berjongkok kembali di sampingnya.

"Kalau Anda merasa lelah, mari naik ke atas dan beristirahat. Saya bantu, ya?"

Ia mengulurkan tangannya perlahan, namun sebelum tangannya sempat menyentuh Mia—

"JANGAN MENYENTUHKU!!"

Teriakan itu meluncur tiba-tiba dari bibir Mia, suara itu menggema di ruang tamu dengan kekuatan yang menusuk jantung.

Bibi Im diam terpaku, tubuhnya sedikit mundur karena terkejut. Matanya membulat, tidak percaya mendengar suara yang selama ini selalu lembut berubah menjadi tajam dan penuh luka.

"N-Nona Mia…?" gumamnya pelan dan hati-hati.

Mia mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, menggigil diantara kemarahan dan kesedihan yang membuncah tanpa kendali. Ia tidak menjawab. Hanya bangkit berdiri, berbalik, dan berlari ke arah tangga.

Langkahnya tergesa-gesa, ia ingin menjauh dari segalanya. Beberapa detik kemudian, suara pintu kamar terdengar dibanting dengan keras.

Di balik pintu itu, Mia bersandar. Napasnya kini terengah, dada naik turun dalam kekacauan emosinya sendiri. Ia lalu memejamkan matanya dan berbisik lirih penuh penyesalan.

"Kenapa aku marah seperti itu…?"

Tangannya menutupi wajahnya yang kini basah oleh air mata.

"Bibi… dia hanya ingin membantuku…"

Ia terjatuh perlahan ke lantai, dan bersandar di balik pintu yang tertutup. Tangisnya pecah dalam diam.

Setelah beberapa menit, Mia berdiri, lalu berjalan menuju tempat tidurnya, ia duduk di ujung ranjang. Lalu pandangannya jatuh pada ponsel yang tergeletak di atas meja kecil. Dengan gerakan lesu, ia meraihnya dan menatap layar yang menyala.

Ia menatapnya dengan lama. Lama sekali.

Di layar, pantulan wajahnya sendiri terlihat samar. Matanya sayu, bibirnya pucat, dan tatapan yang kehilangan cahaya. Ia membuka daftar kontak perlahan, lalu menggulir ke bawah sampai menemukan satu nama yang sudah lama tidak ia hubungi.

“Dokter Jaesuk,” tertera di sana.

Jemarinya menggantung di atas tombol panggil. Jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.

'Apa gunanya semua ini… kalau pada akhirnya aku tetap sendiri?'

Ia sedikit ragu. Namun, sekelebat bayangan muncul di benaknya, wajah sang ayah yang dulu selalu menatapnya penuh dengan kekhawatiran. Kilasan kenangan itu cukup untuk menggoyahkan pikirannya yang gelap.

Mia menggertakkan giginya, menahan emosi yang kembali mengalir deras. Lalu, dengan satu tarikan napas panjang, ia menekan tombol panggil.

Nada sambung pun terdengar.

“Halo? Mia?” suara pria di seberang menjawab dengan cepat, terdengar terkejut namun juga lega.

Mia tidak langsung menjawabnya. Tenggorokannya terasa tercekat.

“Mia? Apakah kau mendengarku?” Nada Dokter Jaesuk kini terdengar cemas.

Akhirnya, Mia membuka suara. Dengan pelan, namun cukup tegas untuk membelah keheningan.

“Dokter Jaesuk… aku ingin melanjutkan pengobatanku.”

Hening sesaat, lalu terdengar tarikan napas lega dari seberang telepon.

“Benarkah? Aku senang sekali mendengarnya.”

Mia menunduk, matanya memejam. Lalu suaranya kembali dengan pelan.

“Aku… aku melakukannya bukan untuk diriku sendiri.”

“Tapi untuk orang-orang yang mencintaiku. Untuk mereka yang masih bertahan denganku… meski aku terus menyakiti mereka.”

Ada jeda sejenak, lalu suara dokter terdengar lebih hangat dari sebelumnya.

“Melihatmu bisa berpikir seperti itu saja, Mia… itu sudah sangat berarti. Itu tandanya bahwa kamu sedang berusaha untuk sembuh. Kapan kamu bisa datang?”

“Minggu ini. Aku akan menhubungimu lagi untuk jadwal pastinya.”

“Baiklah. Aku akan menunggumu. Dan terima kasih… karena tidak pernah menyerah.”

“Terima kasih juga… karena tidak pernah lelah untuk menungguku.”

Panggilan itu berakhir.

Mia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah jendela dan menatap langit mendung yang bergelayut berat.

'Entah sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini…' pikirnya.

Kemudian, ia berbisik sendiri dengan lirih dan getir, seperti doa yang tidak berharap akan jawaban.

“Dan entah… kapan benang terakhir yang menghubungkanku dan Christopher akan benar-benar putus.”

-🐣-

Suasana sore di studio musik terasa lengang. Hanya terdengar desauan kipas dan derik kecil dari kursi kayu saat Daniel berdiri dari tempat duduknya. Di depannya, layar laptop yang menyala, menampilkan laman pembayaran digital yang baru saja gagal diproses.

Keningnya berkerut. Ia membungkuk untuk menatap layar lebih dekat.

“Eh? Saldo tidak mencukupi…?” gumamnya pelan.

Ia mengetik ulang beberapa angka guna untuk memastikan kembali detail transaksi yang hendak ia lakukan. Tapi hasilnya tetap sama, pembayaran ditolak.

“Tidak mungkin… Aku yakin masih ada cukup dana di kartu ini.” Suaranya lebih kepada membujuk diri sendiri daripada benar-benar yakin.

Beberapa detik ia terdiam, jemarinya mengetuk pelan di pinggiran laptop. Pikiran berkecamuk. Ia mendesah, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Sepertinya aku hanya bisa membayar setengahnya dulu… Sisanya mau tak mau harus pinjam ke Ibu atau Ayah.”

Dengan berat hati, ia menutup laptop dan meraih jaketnya yang tergantung di belakang pintu studio. Langkahnya cepat, namun tak menyembunyikan rasa enggan di balik setiap jejaknya.

***

Pintu rumah terbuka dengan suara khas yang menyambut masa lalu. Udara di dalam rumah itu terasa hangat, berbeda jauh dari suasana dingin studio yang ditinggalkannya barusan.

“Ibu! Ayah! Aku pulang!” seru Daniel dari ambang pintu, suaranya mengisi seluruh ruang tamu yang tampak hening.

Suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Tak lama kemudian, sosok wanita paruh baya muncul di tangga. Wajahnya berseri-seri, matanya membulat seolah tak percaya dengan penglihatannya sendiri.

“Daniel? Apa ini benar kamu?!” serunya.

Begitu melihat anak lelakinya duduk santai di sofa, Nyonya Yang segera berlari menuruni tangga. Senyum lebar terpancar dari wajahnya, seakan waktu kembali mundur ke masa-masa ketika Daniel masih remaja.

Tanpa ragu, ia memeluk anaknya.

“Oh, Dadan! Akhirnya kamu pulang juga! Ibu sangat merindukanmu!”

Daniel tersenyum kecil, namun segera menarik diri pelan-pelan dari pelukan sang ibu. Wajahnya tampak geli sekaligus sedikit jengah.

“Bu… berhenti memanggilku ‘Dadan’… Aku sekarang sudah dewasa. Nama itu jadi terdengar aneh sekarang.”

Nyonya Yang tertawa renyah. “Biarkan saja. Kau tetap anak laki-laki Ibu, meskipun rambutmu suatu saat nanti sudah penuh dengan uban.”

Daniel menggeleng pelan sambil tertawa pendek. Ia meraih sebuah apel dari meja tamu dan menggigitnya ringan.

“Haha, lucu sekali…” gumamnya sambil memutar bola matanya.

Daniel mengunyah apelnya perlahan sambil menatap sekeliling ruang tamu yang tak banyak berubah sejak terakhir kali ia pulang. Aroma kayu tua dan wangi teh melati khas ibunya masih mengisi udara.

“Ayah di mana?” tanyanya pelan, memecah keheningan. “Biasanya jam segini ayah sudah di rumah, bukan?”

Nyonya Yang, menghela napas panjang sebelum menjawab.

“Ayahmu masih di perusahaan. Akhir-akhir ini banyak proyek kerja sama baru. Bahkan kakakmu pun kewalahan untuk mengurusnya.”

Mendengar itu, Daniel berdiri sejenak dan meregangkan tubuhnya yang terasa lelah.

“Bukankah Kakak sudah terbiasa mengurus semuanya?” tanyanya ringan.

Namun, Nyonya Yang menatapnya dengan sorot mata yang tak lagi jenaka.

“Kalau kamu mau membantu sedikit saja, Ayahmu tidak perlu menanggung semuanya sendirian, Dan.”

Daniel terdiam sejenak, lalu kembali duduk sambil tersenyum lembut. Ia tidak begitu menyukai percakapan yang mengarah pada hal-hal seperti ini, tapi ia juga tak ingin melukai hati ibunya.

“Bu, Ibu tahu sendiri… Kakak memang terlahir dengan otak pengusaha. Sedangkan aku? Aku lebih mengerti melodi dan irama, bukan neraca dan laporan keuangan.”

Nyonya Yang tersenyum tipis, lalu menyentuh pundak anak bungsunya dengan lembut.

“Ibu tidak pernah memaksamu, Daniel. Tapi sesekali… cobalah pikirkan. Perusahaan itu bukan hanya milik Ayahmu, atau Kakakmu. Itu juga bagian dari keluarga ini, bagian dari dirimu juga.”

Tatapan mata sang ibu membuat Daniel terdiam lebih lama. Ada desir aneh di dalam dadanya, perpaduan antara rasa bersalah dan ketidakmauan untuk mengkhianati hasratnya sendiri.

Akhirnya, dengan nada pelan, ia membuka suara.

“Aku akan pikirkan, Bu. Tapi… bolehkah aku meminjam uang dulu?”

Nyonya Yang mengangkat alisnya, ekspresinya berubah geli sekaligus heran.

“Untuk apa? Kamu baru pulang, belum juga sempat makan lalu sudah minta uang pada Ibu?”

Daniel terkekeh kecil, lalu menunduk malu.

“Aku sedang memesan alat musik dari luar negeri. Tapi… saldo di kartuku tidak cukup.”

Nyonya Yang menepuk keningnya, lalu tersenyum pasrah.

“Kau ini benar-benar anak Ibu…”

Daniel tersenyum nakal.

“Kalau Ibu belum ada uangnya, mungkin aku akan minta pada Kakak.”

Namun sebelum ibunya sempat menjawab, suara pintu utama terdengar dibuka dari arah depan. Langkah kaki berat mengisi lorong rumah.

Sebuah suara dalam dan tegas menyela percakapan mereka.

“Apa yang sedang kalian bicarakan? Suaranya terdengar sampai pintu depan.”

Daniel dan Nyonya Yang menoleh bersamaan.

.

.

.

.

.

.

.

- 𝐓𝐁𝐂 -

1
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!