Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Ralf?
Saat ini Elena sedang berdiri tepat di sebelah Ellios, sang Pangeran Kedua kekaisaran Hilderic.
Semenjak runtuhnya istana bulan ketika gempa yang dahsyat itu. Sejak itu pula entah kenapa suasana hati tuannya selalu buruk.
Ia mungkin terlihat baik-baik saja ketika berada diluar. Namun, saat hanya ada Elena dan Ellios di kamar, ia terlihat diam tanpa menghiraukan keberadaan Elena. Sifatnya yang menjadi lebih dingin ini membuat Elena kesulitan untuk akrab dengannya.
Padahal di dalam novelnya sifat Pangeran Kedua sangat ramah pada siapapun.
Elena tidak bisa mengeluh. Ia dipekerjakan disini sebagai pelayan pribadi Pangeran Kedua, dan mau tidak mau ia harus bertahan hidup menjilat orang berpangkat tinggi untuk hidup.
Semuanya Elena lakukan untuk menebus kesalahannya adas seluruh kematian yang ia sebabkan.
Elena selalu mengikuti kemana Ellios pergi. Dari belajar pedang bersama guru pedangnya, belajar, hingga sekedar berjalan-jalan di taman penuh bunga.
Melihat banyaknya bunga cantik bermekaran di taman istana membuat Elena kembali mengingat kenangannya dengan sang Ibu.
Delia yang selalu menjual bunga ke kota kecil itu selalu membawa koin perunggu yang tidak seberapa namun, kebahagian kecil itu tidak dapat tergantikan. Mimpi Delia yang ingin membuka toko bunganya sendiri menambah alasan Elena untuk bertahan hidup lagi.
Seperti berjalan di sebuah es yang tipis dan hanya berpegangan pada seutas tali yang bisa kapan saja putus. Elena mencurahkan segalanya untuk berpegangan pada seutas tali itu untuk melanjutkan hidupnya.
Ketika bulan sabit menggantikan sinar matahari, ditemani dengan gemerlap kecil di sekelilingnya, langit berubah menjadi biru gelap.
Ellios tengah bersiap untuk tidur, dan seperti biasanya Elena akan keluar setelah memastikan keadaan Ellios baik-baik saja. Namun, malam ini tiba-tiba saja di tengah jalan ia dihadang oleh Lyra.
"Nyonya ingin bertemu denganmu," singkatnya. Lyra tidak banyak berekspresi, membuatnya sulit untuk dimengerti.
Elena hanya bisa mengikuti Lyra tanpa opsi penolakan sama sekali. Sesampainya di depan pintu kamar Viona, Lyra mengetuknya sebanyak tiga kali, lalu masuk.
"Selir Pertama, saya sudah membawanya." Lyra menundukkan pandangannya sembari mempersilahkan Elena masuk.
"Nyonya, ada apa memanggil saya?" tanya Elena dengan perasaan gelisah. Apa aku membuat kesalahan?
Viona menyeruput secangkir tehnya dengan perlahan lalu menaruhnya di atas piring kecil hingga terdengar sebuah dentingan di kamar sunyi itu. Ia mengangkat wajahnya ke arah Elena lalu berkata, "Aku ingin tahu apa yang dilakukan oleh anakku selama kamu berada disisinya," jelasnya dengan nada ramahnya.
Elena menundukkan pandangannya, merasa begitu gugup hingga memainkan jari-jemarinya. "Pangeran Kedua sangat rajin belajar berpedang bersama gurunya, lalu setiap kali tes ia pasti bisa menjawabnya dengan lugas. Terkadang ia juga berjalan-jalan di taman saat sore hari. Hanya itu saja, Nyonya," jelas Elena.
Viona tidak langsung merespon. Ia kembali menyeruput tehnya untuk kedua kalinya lalu berkata, "Sudah seharusnya seperti itu. Lalu, apakah ada hal lain lagi yang bisa kamu laporkan padaku?"
Viona meminta dengan nada begitu kental akan keingintahuan, dan itu membuat Elena memutar otak. Ia bingung harus mengatakan apalagi. Kegiatan Pangeran Kedua begitu monoton hingga tidak ada satupun lagi yang bisa ia laporkan pada Viona.
"Maaf nyonya, hanya itu saja yang saya temukan hingga saat ini. Pangeran Kedua melakukan semua jadwalnya dengan begitu baik tanpa satu kesalahan pun."
Elena berpikir Viona akan merasa tidak puas dengan laporannya. Namun, siapa sangka nada suaranya terdengar senang hingga membuat Elena sedikit heran.
"Bagus. Perhatikan ia terus dan laporkan segalanya padaku. Sekarang kamu bisa pergi."
Viona mengibaskan tangannya seperti mengusirnya, dan Elena juga tidak berniat berlama-lama di dalam ruangan itu. Akhirnya Elena membungkuk lalu pergi dari sana.
"Hey, Lyra. Menurutmu bagaimana anak itu? Apakah ia bisa dipercaya?" tanya Viona sambil menumpukan dagunya di atas telapak tangannya, melihat ke arah balkon yang menampilkan langit malam penuh bintang.
"Saya pikir anak itu bisa dipercaya, Nyonya. Ia bekerja dengan giat, dan mulutnya juga bisa dijaga."
Viona tertawa mendengar pujian dari pelayan dekatnya itu. Ia tidak menyangka akan mendengar sebuah pujian untuk anak yang belum genap seminggu bekerja di tempat ini.
"Tentu saja dia harus menjaga mulutnya. Tapi, kamu harus tetap mengawasinya. Jika ia mulai terlihat memberontak, mungkin kita harus melakukan rencana B."
Viona kembali menyeruput tehnya hingga habis. "Lalu, jangan lupa dengan perintah yang kuberikan sebelumnya. Aku harap kamu bisa menemukannya dalam waktu seminggu." Lyra hanya bisa mengangguk dengan patuh, seperti halnya seorang pelayan yang begitu setia bagi tuannya.
...★----------------★...
Di sebuah rumah yang terlihat lusuh, Altheon disambut hangat oleh para penghuni rumah. Sudah berjam-jam Altheon menyusuri hutan yang ia tidak tahu dan berakhir di sebuah desa yang asing. Salah satu warga desa langsung berlari mendekatinya dan memarahi dirinya karena mendekati hutan tanpa izin.
Pada awalnya Altheon mengelak dan mengatakan dirinya hanya tersesat hingga tanpa sadar memasuki hutan, dan sekarang ia berakhir duduk di kursi kayu dengan secangkir air di tangannya.
Pria paruh baya yang menolongnya membawa Altheon kerumahnya untuk beristirahat malam ini.
"Maaf, sepertinya kamu seorang bangsawan. Kami hanya bisa menyajikan hal ini padamu," ucap pria itu sembari menyodorkan beberapa kue kering yang tersisa di rumahnya.
"Terimakasih, Paman."
Pria itu hanya bisa tersenyum sendu menatap Altheon. Ada kilatan sedih di matanya ketika menatap Altheon yang sedang memakan kue kering.
"Anda mengingatkan saya pada anak laki-laki saya yang baru saja pergi," ucapnya tiba-tiba, membuat Altheon sedikit kaget dan kebingungan.
"Anak anda pergi kemana?"
"...." Pria itu tidak menjawab, membuat suasana diantara mereka menjadi canggung.
"Maafkan saya, anak saya sudah pergi ke tempat yang jauh." Pria itu tertawa dengan begitu dipaksakan lalu, setelah itu ia pergi ke dalam kamarnya. "Saya tinggal sebentar."
Altheon menatap punggung lebar yang telah menghilang di balik pintu. Ia menyadari maksud dari perkataan pria paruh baya itu. Memikirkannya membuat Altheon sedih. Saat itulah tiba-tiba seorang gadis datang dan duduk di depannya.
Rambut biru keunguannya melambai ketika ia bergerak di sekitar Altheon. "Siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba.
"...Emm... Theo...." Altheon begitu bingung karena pertanyaan tiba-tiba yang ia dapatkan dari seorang gadis yang tidak ia kenali.
"Namaku Mega. Ingat itu!"
Altheon tidak mengerti apa maksud dari gadis bernama Mega di depannya ini. Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan perlahan lalu, gadis itu langsung pergi lagi.
Apa itu?
Pria paruh baya itu kembali lagi dan melihat raut wajah Altheon yang kebingungan. "Maafkan anak perempuan saya. Ia tidak bermaksud jahat," ucap pria itu sambil mengusap tengkuknya dengan canggung.
"Dimana tempat tinggalmu?"
Altheon berpikir, tempat yang mana yang harus ia sebutkan. Tapi, saat itu ia langsung memutuskannya dengan pasti. "Bisa antarkan aku ke kota Drugen?"
"Kota Drugen? Tentu. Itu adalah Kota terdekat dari desa ini. Kita bisa berangkat saat pagi tiba, untuk malam ini anda bisa beristirahat disini."
Altheon hanya mengangguk. Ia memutuskan untuk kembali ke kota, tempat dimana ia pernah bertemu dengan anak laki-laki berambut merah muda itu.
Semoga aku bisa bertemu dengan El.
...★----------------★...
Pagi telah tiba dan Altheon sudah berangkat bersama pria bernama Glen menggunakan kuda.
Perjalanan memakan waktu dua jam. Ketika mereka sampai Altheon membungkuk dan berterimakasih pada Glen karena sudah membantunya kemarin.
"Anda tidak perlu membungkuk! Sudah sepantasnya kita saling menolong. Kalau begitu, jaga diri anda." Glen pamit lalu segera kembali menggunakan kudanya.
Melihat kepergian Glen yang telah menghilang, Altheon membawa langkahnya ke arah toko obat yang pernah di kunjungi oleh El.
Cring!
Saat ia masuk, dapat ia lihat pegawai toko sedang sibuk berbincang dengan seorang pelanggan.
"Ini obatnya, tuan."
"Apakah obat ini manjur untuk demam tinggi?"
"Tentu saja! Obat di toko kami sangatlah manjur!" ucap pegawai itu dengan begitu percaya dirinya, dan pelanggannya hanya bisa terkekeh geli mendengar ucapannya.
"Paman, apa aku boleh bertanya sesuatu?" Altheon mendatangi pegawai itu, membuat atensi kedua pria dewasa itu melihat ke arah Altheon.
"Ada apa nak?"
"Apakah Paman pernah melihat anak dengan rambut merah muda datang kesini?"
"Oh! Ia baru berkunjung tiga hari yang lalu."
"Benarkah?"
Jika dihitung, itu hari terakhir ia bertemu El sebelum ia ke istana dan berakhir di hutan. Kalau dipikir-pikir sudah banyak yang terjadi dalam kurun waktu ini.
"Baiklah. Jika ia datang, bisakah paman mengatakannya kalau ada yang mencarinya?"
"Tentu saja nak!"
Setelah itu, Altheon pun pergi dari sana dan menuju ke kediaman Count Larrens. Sedangkan, seorang pria dewasa yang mendengar seluruh percakapan yang terdengar mengganggu di telinganya hanya bisa diam.
Anak berambut merah muda....
Ia menampilkan seringainya, berpikir bahwa sesuatu yang luar biasa sedang terjadi tanpa sepengetahuannya.
Ia akhirnya berpamitan pada pegawai toko dan pergi sembari bersenandung senang. Sesampainya di sebuah tempat yang penuh dengan berbagai orang unik disana, ia berjalan dengan begitu percaya dirinya, menaiki anak tangga dan masuk ke dalam sebuah kamar.
Di dalam kamar tersebut terbaring seorang anak laki-laki dengan rambut biru gelapnya. Napasnya terdengar begitu berat dengan sebagian wajahnya yang di perban.
"Berikan obat ini padanya." Ia memerintahkan seseorang yang berjaga di depan pintu itu.
Sepertinya beberapa puzzel mulai berkumpul....
To Be Continued: