Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Di Balik Senyum Calvin
Bab 17: Di Balik Senyum Calvin
Alya menatap tangan Calvin yang terbalut perban. Luka itu terlihat jelas meskipun ia berusaha menyembunyikannya di balik lengannya. Mata Alya menyipit, mencoba memahami situasi, tetapi Calvin hanya duduk tenang, menyandarkan punggungnya ke kursi kafe seperti tidak terjadi apa-apa.
"Apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lembut namun penuh ketegasan.
Calvin mengangkat bahu, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menoleh ke Alya dengan senyum tipis. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
Alya tidak terpengaruh oleh jawaban itu. Ia mengenal tatapan seseorang yang sedang berusaha menutupi sesuatu. "Aku tanya apa yang terjadi dengan tanganmu."
Calvin diam sejenak, kemudian menatap lurus ke depan. "Aku memecahkan cermin," katanya singkat.
Alya mengerutkan kening. "Kenapa?"
Senyuman itu kembali muncul di bibir Calvin, tetapi Alya tahu itu bukan senyuman bahagia. Itu adalah senyuman seseorang yang terbiasa menyembunyikan rasa sakitnya.
"Terkadang, aku nggak suka melihat bayanganku sendiri," ucapnya ringan, seolah yang ia katakan hanyalah fakta sederhana.
Alya menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tidak mengenal Calvin cukup lama, tetapi ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya ingin bertahan.
"Apa yang kamu lihat di cermin itu, Calvin?" tanyanya pelan.
Calvin menatapnya dalam diam, lalu kembali menyesap kopinya sebelum menjawab, "Seseorang yang seharusnya nggak ada."
Alya menggigit bibirnya. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, tetapi ia tahu Calvin bukan tipe orang yang akan menjawabnya dengan mudah.
Mereka kembali diam. Hanya suara kendaraan dan hiruk-pikuk kota yang mengisi ruang di antara mereka.
Tetapi dalam diam itu, Alya menyadari sesuatu.
Calvin tidak baik-baik saja.
Dan meskipun ia tidak tahu seberapa dalam luka yang pria itu sembunyikan, Alya ingin mengulurkan tangannya.
Namun, pertanyaannya adalah...
Apakah Calvin akan membiarkannya?
**
Calvin menatap tangan yang terbalut perban itu setelah Alya pergi.
Ia tahu gadis itu penasaran.
Ia tahu Alya tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan jawaban.
Tetapi apakah Calvin siap memberikan jawaban itu?
Tidak.
Karena jawaban itu terlalu kelam.
Karena jika Alya mengetahuinya, ia mungkin akan pergi—seperti orang-orang lainnya.
Seperti Nadine.
Calvin menarik napas panjang, pikirannya kembali ke masa lalu.
Saat Nadine datang ke dalam hidupnya, ia pikir ia bisa memiliki seseorang yang benar-benar memahami dirinya.
Tetapi semakin Nadine mencoba mendekat, semakin ia mendorongnya menjauh.
Ia tidak tahu bagaimana menerima cinta.
Ia tidak tahu bagaimana caranya mempercayai seseorang.
Dan pada akhirnya, ia menyakiti satu-satunya orang yang mungkin bisa menyelamatkannya.
Dan sekarang, Alya datang.
Alya yang tidak takut dengan sikap dinginnya.
Alya yang keras kepala dan tidak mau menyerah.
Alya yang mungkin bisa melihat luka yang selama ini ia sembunyikan.
Tapi apakah ia benar-benar ingin seseorang melihatnya?
Apakah ia siap untuk melepaskan topeng yang selama ini ia pakai?
Calvin menatap pantulannya di gelas kaca.
Senyuman itu masih ada.
Senyuman yang ia pakai sejak kecil.
Senyuman yang menyembunyikan luka yang tidak pernah benar-benar sembuh.
Dan mungkin...
Luka itu tidak akan pernah sembuh.
**
Sepulang dari kafe, Calvin berjalan sendirian di trotoar yang sepi. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur dengan udara dingin malam itu.
Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar. Tentang Alya. Tentang Nadine. Tentang dirinya sendiri.
Tangannya masih sedikit berdenyut karena luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tetapi rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang ia rasakan di dalam hatinya.
Calvin berhenti di depan sebuah jendela toko yang gelap. Refleksinya terlihat samar di sana, bercampur dengan pantulan lampu jalan.
Ia menatap matanya sendiri.
Mata seorang lelaki yang penuh luka.
Lelaki yang tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya dicintai tanpa syarat.
Lelaki yang selalu merasa sendirian, bahkan di tengah keramaian.
Tangannya terangkat, hampir menyentuh bayangannya sendiri.
Tetapi ia berhenti.
Karena ia tahu…
Bayangan itu bukan dirinya yang sebenarnya.
Bayangan itu adalah seseorang yang ia ciptakan untuk bertahan hidup.
Seseorang yang ia gunakan untuk menyembunyikan rasa sakitnya.
Ia menghela napas, lalu melangkah pergi.
Karena pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar bisa menyelamatkannya dari dirinya sendiri.