Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Berbanding terbalik dengan matahari jam sembilan pagi yang bersinar cerah, Naren malah bermuram durja di hari pertamanya kuliah. Pasalnya, setelah melewati peperangan batin semalam suntuk, dia akhirnya terpaksa memilih diantar-jemput oleh Kayanara daripada harus merelakan seluruh koleksi action figure miliknya.
Anak-anaknya yang berharga tak lagi dia pajang di tempat semula setelah keputusan berat itu dia ambil. Semuanya dia pindahkan ke lemari kaca di ruang keluarga, menguncinya rapat, dan membawa kuncinya ke mana-mana. Naren tidak ingin abangnya kembali menggunakan anak-anak manis itu sebagai bahan ancaman.
"Cepetan dikit jalannya, Kayanara udah nunggu dari tadi."
Teguran itu membuat wajah Naren semakin tertekuk. Mengabaikan abang dan ayahnya yang mengekor di belakang, dia melangkah lebih lebar dengan sedikit mengentak-entak.
Terik matahari beserta sinarnya yang terlampau menyilaukan membuat Naren menggerutu. Sambil terus mengomel, dia berderap mendekati mobil nenek sihir yang sudah parkir di halaman rumahnya sejak dua puluh menit yang lalu. Cukup mengejutkan juga bahwa perempuan itu tidak sewot memencet klakson dan malah begitu sabar menunggu.
Cih, pencitraan! cibirnya dalam benak.
Naren menyentuh handle pintu bagian belakang, namun tangan lain lebih dulu menahan sebelum dia berhasil menariknya.
"Duduk di depan," titah Mahen, si empunya tangan.
Berhubung masih dalam masa hukuman, Narem memilih menurut alih-alih kekeuh mendebat. Segara ia putar balik, duduk di bangku penumpang depan dengan bibir yang kian cemberut. Seatbelt dipasang asal-asalan, talinya melintir tidak keruan hingga membuatnya tidak nyaman. Namun, dia terlalu malas untuk membetulkan.
Mahen dan Janu turut serta berpindah ke sisi kiri. Masing-masing bergantian mengulurkan tangan untuk Naren cium sebagaimana tradisi yang telah melekat di keluarga mereka. Dan setelah anak itu menunaikan kewajiban, barulah keduanya bergerak mundur memberi ruang.
"Titip Naren, ya," kata Janu.
Kayanara hanya mengangguk. Lalu, setelah pamit pada Mahen dan Janu, dia gegas menginjak pedal gas, meninggalkan pelataran rumah membawa Naren yang berwajah masam.
Mobil memasuki jalanan dalam sekejap. Bunyi klakson terdengar bersahutan, adu bacot antar pengendara yang saling senggol adalah makanan sehari-hari, lalu pengendara lain yang seenak jidat menyerobot jalan juga terlampau biasa dilihat untuk membuat Naren merasa tertarik.
Perjalanan menuju kampus tidak akan memakan waktu terlalu lama, tetapi karena harus ditempuh bersama nenek sihir, Naren tak ingin perjalanannya serupa neraka.
Maka, hanya sesaat setelah mobil berhenti di lampu merah, dia mengeluarkan airpods dari saku jaket dan langsung memasangnya ke telinga. Lagu-lagu dengan beat cepat terputar memenuhi rungunya, membawanya pergi ke dunia lain yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun selain dirinya. Melalui tindakannya itu, Naren seakan ingin mempertegas bahwa dunianya dengan dunia nenek sihir berbeda, dan mereka tidak seharusnya saling usik.
Di sisi yang lain, Kayanara tidak mau ambil pusing. Jika Naren membangun tembok, dia akan melakukan hal serupa. Jemari lentiknya bergerilya ke bagian depan mobil, menyalakan tape, mencari siaran pagi yang biasa dibawakan oleh host yang talk active dan ceria.
Begitu suara host terdengar membawakan prakiraan cuaca, Kayanara sudah sepenuhnya meninggalkan fakta bahwa ada di bocah kematian di sampingnya. Dia membangun dunianya sendiri. Berkelana sampai jauh, sampai tak terjangkau orang lain.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Empat puluh lima menit perjalanan mengantarkan mobil yang Kayanara kendarai tiba di depan sebuah universitas negeri ternama di ibukota. Tugu selamat datang membentang megah, menampilkan nama universitas kebanggaan para mahasiswa seakan sedang menyambut siapa saja yang datang dengan begitu meriah.
"Gue turun di sini aja." Naren sudah siap melepaskan seatbelt, ketika nenek sihir di sebelahnya malah melajukan kembali mobilnya yang sempat berhenti sebentar.
"Mahen minta gue anterin lo sampai depan gedung fakultas."
Naren menghela napas jengah. Jika saja tidak sedang menjalani hukuman, dia akan lebih memilih terjun bebas dari mobil yang masih melaju. Sesungguhnya, dia sudah tidak tahan berada di sini bersama si nenek sihir.
Tatkala mobil akhirnya berhenti, Naren buru-buru meloloskan diri dari jerat seatbelt. Grasak-grusuk ia membuka pintu mobil, melompat keluar dan siap mengerahkan tenaga ekstra untuk berlari kencang setelah kedua kakinya mendarat sempurna.
Namun, sebelum itu terjadi, Naren terpaksa mengerem sebab netranya menemukan pemandangan menyebalkan yang semakin menaikkan tingkat emosinya. Tak jauh di depan, Eric si kutu kupret baru saja turun dari mobil ayahnya. Bocah tengik itu tampak melirik kepo ke arahnya. Melalui senyum yang tersungging di wajahnya, Naren seakan bisa mendengar anak itu berkata, "Wihh, Mama baru, nih." Seperti yang sudah-sudah.
Naren menutup pintu mobil diiringi desahan kasar. Suasana hatinya betulan tidak baik untuk punya energi meladeni tingkah menyebalkan Eric sepagi ini.
"Kabarin kalau mau dijemput!" seru Kayanara ketika Naren baru saja mengayunkan kaki.
Naren mendesah kasar, berbalik, lalu mendelik ke arah perempuan itu. "Iya!" sahutnya sewot.
Jempol kiri perempuan itu mengudara, kemudian tak lama setelahnya jendela mobil ditutup dan eksistensinya perlahan menjauh dari jarak pandang Naren.
Setelah menyaksikan mobil Kayanara menghilang seutuhnya, Naren kembali mengembuskan napas panjang. Satu ujian sudah berlalu, kini dirinya harus menyiapkan hati demi menghadapi ujian lain yang tak kalah menguras energi--Eric.
Hampir semenit dia berdiri di tempat, hanya untuk mengatur napas agar emosinya tidak meledak-ledak. Ketika langkahnya mulai terayun, dia bertekad untuk pura-pura tidak melihat eksistensi Eric di sana. Mengabaikan senyum bodoh yang si kunyuk itu sunggingkan sedemikian rupa.
"Baru lagi?" Tak peduli seberapa cepat ayunan langkahnya, Naren harus terima bahwa Eric punya kaki yang lebih panjang. Dia hanya bisa menarik napas panjang ketika lengan anak itu dengan santai mengapung di pundaknya.
"Lebih cantik daripada yang sebelum-sebelumnya. Dilihat-lihat juga lebih muda," komentar Eric lagi.
Naren masih tidak menanggapi ocehannya. Langkahnya diperlebar, berharap Eric tahu-tahu tersandung batu besar sehingga dia bisa kabur meninggalkan anak itu, dan tidak perlu lagi mendengar omong kosong dari mulut rombengnya.
"Restuin aja deh, kasihan Ayah Janu. Lagian, kapan lagi lo bisa dapetin ibu tiri spec bidadari begitu?"
Spec bidadari gundulmu! Semakin lama dibiarkan, Eric malah semakin melantur!
Langkah Naren berhenti mendadak saking tak kuatnya lagi ia menahan kesal. Dia mendelik sebentar pada Eric, lalu sebelum bibir lemesnya kembali mengoceh, Naren segera memiting leher anak itu dan menyeretnya pergi.
"Sakit wey!" protes Eric, tetapi Naren tidak peduli.
"Narendra! Sakit!"
"Naren!"
"Ren, leher gue bisa patah kalau kayak gini caranya!" Eric berusaha meloloskan diri dengan menepuk-nepuk lengan Naren.
"Demi Tuhan, ini sakit banget!" rontanya makin heboh.
"Gue nggak bisa napas. Tolong, Ren, lepasin!"
"Naren!"
Naren berdecak keras. "Lo pilih diem atau badan lo gue cincang buat kasih makan babi?"
Kemudian tak ada protes lebih lanjut. Eric pasrah tubuhnya diseret oleh Naren seperti karung goni.
Bersambung....