Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 Memantau
Hari ini Raya mengajak Nina dan si kembar jalan-jalan sebagai bentuk rasa terima kasihnya. Mentraktir makan saja rasanya tidak cukup, apalagi besok mereka akan pulang. Raya mengajak mereka ke tempat wisata, tempat yang Raya sendiri belum pernah ke sana karena faktor ekonomi.
Dia masih harap-harap cemas mendapatkan hadiahnya, tapi juga tidak mau membuat Nina, terutama si kembar kecewa. Rean dan Rion naik komedi putar, membeli balon, makan es krim dan berbagai jajanan.
Nina juga mengeluarkan uangnya, tidak tega dengan Raya.
"Ayo kita beli baju."
Raya mengajak membeli baju untuk anak-anak. Sudah cukup lama Rean dan Rion tidak membeli baju baru, juga sepatu.
Raya dan Nina bisa melihat binar bahagia di mata kedua anak itu. Mereka berdua jadi merasa bersalah, karena belum bisa membahagiakan Rean dan Rion.
"Kalian boleh membeli apa saj yang kalian mau?"
"Benarkah?"
"Tentu saja. Apa sih yang tidak, buat jagoan mommy dan mama."
"Yey, asik."
Nyatanya, Rean dan Rion tidak membeli apa-apa. Ditawarkan sesuatu, pun, mereka menolak. Entah karena mereka memang tidak mau, tahu uang Raya tidak akan cukup, atau tahu kalau berhemat itu penting meski sangat ingin.
Lahir dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, membuat mereka selalu menahan keinginan, meski hanya makanan atau mainan murah.
"Bermainlah sepuasnya, karena besok kita akan kembali."
Sore harinya, mereka baru pulang, membawa banyak kantong makanan. Bukan makan mahal, tapi jajanan pinggir jalan dengan berbagai jenis. Murah, jadi bisa membeli banyak.
Nina bahagia melihat Rean dan Rion yang senang. Anak-anak itu biasanya hanya berdua saja, hanya akan berbaur dengan teman sebayanya jika ada bimbingan belajar yang diajarkan oleh Raya.
Mungkin saja kedua minder, karena tidak memiliki ayah.
"Bersih-bersih, dan jangan tidur malam-malam, karena besok kita akan pulang."
"Naik pesawat?"
"Benar."
"Apa uang mommy dan mama cukup?"
Raya dan Nina meringis mendengarnya. Sampai begitu pahamnya mereka dengan uang yang harus dikeluarkan.
"Cukup, dan jangan pikirkan apa-apa."
Raya lalu mengecek ponselnya. Ada banyak panggilan masuk dari Livia.
"Besok kita pulang jam berapa?"
"Malam."
Raya memilih penerbangan malam, karena dia ingin pergi ke suatu tempat dulu.
Tidur Raya sama sekali tidak tenang. Dia dihantui masa lalu. Begitu juga dengan Keanu yang bermimpi buruk—tenggelam dalam lautan dengan kaki dan tangan yang ditarik oleh tangan kecil.
"Kenapa mommy belum tidul?" tanya Rean.
"Mommy belum mengantuk. Sekarang Rean tidur lagi."
Keesokan harinya, Keanu terlambat bangun. Dia secepat mungkin bersiap-siap karena ada meeting. Begitu juga dengan Raya dan yang lain, mereka akan pulang hari ini, karena urusan mereka telah selesai.
Raya telah menerima notifikasi di ponselnya, sejumlah uang telah dikirim ke rekeningnya, hadiah dari kompetisi. Dia sedikit bernafas lega, karena sudah mendapatkan uang itu. Dia pikir, dia akan gagal mendapatkan hadiahnya meski dia pemenangnya, karena ada campur tangan Keanu.
"Kamu sudah bersiap-siap?"
"Sudah, jadi nanti kita bisa langsung ke bandara. Oya, aku mau ...."
"Aku mau ke suatu tempat dulu, sekaligus mengajak Rean dan Rion jalan-jalan. Kamu bisa pergi ke tempat yang kamu mau."
"Oke. Aku tidak akan lama."
Raya menuju panti asuhan, hanya melihat dari jauh saja. Perempuan itu duduk di dalam taksi, meski sebenarnya dia ingin masuk, dan mengatakan kalau selama ini dia baik-baik saja.
Raya memperhatikan panti asuhan itu. Terlihat lebih bagus dari terakhir dia ke sini. Catnya baru, pagarnya sudah diganti, banyak permainan seperti di taman kanak-kanak.
Raya tersenyum, setidaknya dia melihat perubahan yang lebih baik. Dia bisa mendengar suara anak-anak yang bermain di dalam panti.
Bu Mirna keluar, dan Raya langsung menundukkan kepalanya. Perempuan pengurus panti itu menyiram tanaman, kebiasaan yang tidak pernah hilang.
Merasa ada yang memperhatikan, bu Mirna melihat ke sekitarnya, hanya ada mobil berwarna hitam. Tiba-tiba saja dia jadi teringat dengan anak asuhnya—Raya.
Apa anak itu masih hidup? Apa dia baik-baik saja? Apa dia telah menikah, mungkin?
Hanya doa yang bisa dia berikan untuk seseorang yang tidak pernah lagi dia lihat.
Supir taksi hanya diam saja melihat sikap Raya.
"Jalan, Pak."
"Baik."
Di lain tempat, Nina mengajak Rean dan Rion jalan-jalan tak tentu arah. Bukannya dia tidak punya arah tujuan, hanya saja dia takut untuk bertemu dengan orang-orang.
"Di sini saja, Pak."
Mereka turun di salah satu kafe yang tidak jauh dari kampus tempat Raya kuliah dulu. Di sini, Nina punya banyak kenangan. Perempuan itu memakai masker, agar tidak ada yang mengenali dirinya.
Perempuan itu termenung, mengingat segala kenangan—baik dan buruk. Bagaimana dia bisa hidup dengan tenang jika masa lalu itu terus menghantui. Bukankah jalan satu-satunya dia harus berdamai, salah satu caranya dengan tidak lagi peduli.
"Caren, kamu Caren, kan?"
Nina langsung membawa lagi Rean dan Rion pergi. Nina jalan terburu-buru sambil menggandeng tangan Rean dan Rion.
"Ma, kenapa bulu-bulu?"
"Bukan bulu-bulu, Lion, tapi buyu-buyu."
Nina tertawa cukup keras. Dia bahagia dengan kehadiran si kembar. Entah apa jadinya dia tanpa mereka, juga Raya sebagai teman curhatnya.
Merasa sudah aman, Nina lalu memesan taksi. Tidak membutuhkan waktu lama, taksi yang dipesan pun tiba.
"Caren, Caren!"
Nina melihat wajah seseorang yang sangat ingin dia hindari. Dia langsung menyuruh Rean dan Rion masuk.
Raya sebenarnya juga tidak jauh dari tempat Nina berada. Dia ingin sekali bisa melihat Eriza, meski hanya dari jauh saja. Bagaimana pun juga, Eriza adalah sahabatnya sejak kecil.
Dia hanya ingin tahu keadaan gadis itu. Di kejauhan, Raya melihat orang yang sangat tidak ingin dia lihat. Perempuan itu langsung bersembunyi, sebelum dilihat. Namun Raya sedikit terlambat, dia sempat melihat Raya sekilas, dan berusaha mencarinya. Jantung Raya seperti berlompatan. Dalam hati, dia banyak berdoa, agar bisa terlepas dari keadaan ini.
Perempuan itu akhirnya bisa naik ke taksi dengan aman.
Di dalam taksi, Nina tertawa kecil. Menertawai dirinya sendiri. Baru saja dia sok ingin melepaskan beban masa lalu. Hanya bisa bicara saja, nyatanya hati tak semudah itu.
Di dalam taksi, Raya tertawa miris. Kenapa selalu dia yang ketakutan? Bukankah seharusnya mereka yang takut? Karena telah berbuat jahat. Seharusnya mereka yang kabur karena melihat dirinya. Seharusnya mereka yang dihantui rasa bersalah.
Di dalam ruangannya, dokter Bian menghela nafas. Setiap kali melihat ibu hamil, dia jadi teringat masa lalu.