Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bapak Mertua
"Faisal ...!" Langkah Faisal terhenti saat hampir masuk ke dalam lift khusus karyawan. Ia memutar tubuhnya lagi dan melihat seorang lelaki bersama dua wanita berjalan di belakangnya. "Ke mana, buru-buru amat?" tanyanya lagi.
"Aku mau pulang," jawab Faisal apa adanya.
"Pulang? Ini 'kan masih siang?"
"Ada urusan."
"Gimana kalau kita makan siang dulu. Mumpung si Maya ultah, dia mau traktir kita," ajak lelaki bernama Doni tadi.
"Nggak, ah. Lain kali aja!" tolak Faisal. Ia tahu pasti saat ini Vani sudah menunggunya sejak tadi.
"Udah, ayok! Rejeki nggak boleh di tolak lho?" Laki-laki tadi malah menarik Faisal, memaksa laki-laki itu untuk ikut serta bersama mereka.
"Tapi ...."
"Kebanyakan mikir, ayolah!"
Sampai di kantin Faisal tak juga bisa makan dengan tenang. Padahal di depannya tersaji hidangan yang menggugah selera. Traktiran ulang tahun Maya, salah satu dari wanita cantik yang saat ini tengah tersenyum canggung.
"Makan, Sal, kamu nggak laper?"
"Iya, makan sih, ini enak lho?" ucap wanita satunya lagi.
Dengan sedikit ragu Faisal menyuapkan makan itu ke dalam mulut. Kunyah-kunyah perlahan, enak memang. Lagipula perutnya memang sudah keroncongan sejak tadi.
"Nah, enak 'kan?"
Akhirnya Faisal melanjutkan makannya. Menikmati menu yang terhidang di depannya, sembari mengobrol asik dengan mereka. Faisal bahkan lupa di rumah ada yang sedang menunggunya sejak tadi.
"Senyum, dong!"
Cekrek!
.
.
.
"Kamu ke mana, Mas?" Vani tidak bisa lagi bersabar saat Faisal sampai saat ini belum juga pulang dan memberinya kabar sama sekali. Ia melangkah menyambangi rumah mertuanya berharap menemukan solusi untuk permasalahannya saat ini Vani hadapi.
Kebetulan bapak mertuanya juga berada di rumah. Lelaki tua itu tengah membolak-balikan surat kabar di tangannya.
"Lho, Van, kamu udah pulang?" Lelaki tadi meletakkan surat kabar itu dan melangkah menghampiri menantunya. "Ada apa?" Saat melihat wajah cemas Vani.
"Apa Mas Faisal nggak mampir ke sini, Pak?"
"Faisal?" Wajah tua itu semakin membentuk tiga lipatan di dahinya. "Kan ini masih jam kantor, Van. Emangnya ada apa?" Pak Harjo menatap wajah sang menantu dengan penuh tanda tanya.
"Ibu di kampung sakit, Pak. Terus tadi Vani kasih kabar ke Mas Faisal, katanya lagi jalan pulang. Tapi, sampai sekarang belum juga sampai rumah," jelas Vani panjang lebar.
"Mungkin macet, Van. Kamu udah coba hubungi Faisal lagi?"
"Nggak di angkat, Pak."
Sementara Bu Widia muncul dari dalam rumah karena mendengar suara ribut-ribut dari depan.
"Ada apa sih, Pak?!" tanya Bu Widia setelah sampai di teras depan. Mendapati Vani berada di sana perempuan itu langsung melengos, seperti enggan menatap wajah Vani.
"Ini Vani, katanya nunggu Faisal tapi nggak pulang-pulang," jawab Pak Harjo pada sang istri.
"Ngapain di tunggu? Lagian ngapain nyuruh Faisal pulang siang-siang gini?!" cecar Bu Widia pada menantunya.
"Jangan gitu sih, Bu. Vani 'kan belum jelasin apa-apa ke Ibu."
"Jelasin apa, Pak. Jangan manja, Van. Ngapain nyuruh Faisal pulang siang-siang begini?!"
Vani menghembuskan napas sejenak. Mencoba bersikap sabar seperti biasa. Percuma jika berdebat, ia tidak mungkin menang melawan atau sekedar adu mulut dengan perempuan di depannya.
"Ibu di kampung sakit, Bu. Makanya aku minta Mas Faisal pulang cepat." Akhirnya berusaha menjelaskan.
"Sakit? Kenapa nggak kirimin uang aja buat periksa ke dokter? Ngapain harus pulang segala, ngabisin uang aja kamu."
Dengan entengnya Bu Widia mengatakan itu di depan menantunya sendiri. Seolah tidak ada simpatinya sama sekali. Vani hanya mampu menunduk, meremas ujung hijab yang ia kenakan.
Ternyata datang ke rumah mertuanya bukan solusi terbaik. Bukannya mendapat jalan keluar, Vani justru sakit hati oleh kata-kata ketus perempuan itu.
Ck, kalau tahu seperti ini mending tadi aku di rumah aja, bisik Vani dalam hati.
"Ya udah, Vani pulang aja, Pak. Assalamualaikum ..."
Vani melangkah cepat meninggalkan rumah mertuanya karena tidak ingin membuang waktu dengan meladeni omongan Bu Widia. Sedangkan Pak Harjo menggeleng, melihat kelakuan istrinya yang belum juga berubah pada Vani, padahal sudah seringkali ia menasehatinya.
"Bu ..."
"Udah, Pak. Ibu tahu bapak mau ngomong apa. Mau nasehatin ibu lagi, kan? Jangan galak-galak sama Vani, gitu kan?" Bu Widia langsung memotong ucapan suaminya tanpa jeda.
"Jangan keterlaluan, Bu. Vani juga punya perasaan. Dia istrinya Faisal, menantu kita." Pak Harjo kembali mengingatkan status Vani dalam keluarga besarnya.
"Menantu yang nggak berguna, gitu maksudnya, kan?!"
"Bu ...!"
"Emang kenyataannya gitu, Pak. Bapak sadar nggak sih selama ini?" ucap Bu Widia penuh amarah.
"Vani itu istri yang baik, Bu. Faisal juga sangat mencintai Vani."
"Ck, cinta?" Bu Widia hanya tersenyum tipis mendengar ucapan suaminya. "Lagian dulu kenapa sih Bapak ngotot banget buat jadiin Vani menantu kita? Lihat kan sekarang, dia mandul, Pak!"
Ucapannya sudah semakin ke mana-mana.
"Vani bukan mandul, Bu. Mereka cuma belum di kasih rejeki aja sama Tuhan."
"Alahhh kenapa Bapak bisa yakin kaya gitu? Kalau mandul ya, mandul aja, Pak!" Bu Widia tetap tidak mau kalah. Untung saja Vani sudah pergi. Entah seperti apa perasaan Vani jika sampai mendengarnya secara langsung.
"Udah ah, ibu capek. Mau istirahat aja!" Bu Widia ngeloyor masuk meninggalkan suaminya di teras depan.
Pak Harjo yang melihat istrinya masuk begitu saja langsung mengekor di belakang. Untung saja sebelum benar-benar masuk kamar Bu Widia masuk ke dapur lebih dulu. Mematikan kompor yang masih menyala. Jadi, Pak Harjo bisa mengambil sesuatu dari lemari pakaiannya.
Lelaki tua itu langsung melangkah kearah rumah menantunya. Vani yang saat itu masih mondar-mandir di teras depan pun terkejut dengan kedatangan bapak mertuanya, apalagi lelaki itu menyerahkan sesuatu yang terbungkus rapi dalam amplop berwarna coklat.
"Ini apa, Pak?" tanya Vani tidak mengerti.
"Itu uang. Pakai aja, Van. Lagian Bapak belum terlalu butuh. Semoga ibumu cepet sembuh ya?" ucap Pak Harjo pada menantunya.
Kedua mata Vani membulat sempurna menatap amplop coklat di tangannya. Pasalnya amplop itu terlihat tebal, pasti tidak sedikit uang yang ada di dalamnya.
"Nggak usah, Pak. Ini 'kan uang Bapak. Lagipula Vani masih punya simpanan sendiri kok." Padahal Vani hanya berbohong. Jangankan simpanan, untuk kebutuhan sehari-hari saja terkadang harus berhemat. "Lebih baik Bapak simpan aja, ya?"
Vani menyodorkan amplop itu lagi.
"Nggak apa-apa, Van. Itu buat bantu Ibu kamu. Maaf ya, kalau selama ini sikap ibu mertuamu kurang mengenakkan. Kamu yang sabar ya?"
Ucapan Pak Harjo membuat Vani jadi terharu. Dengan mata berkaca-kaca Vani memeluk tubuh tua itu dan mengucapkan terimakasih berulangkali. "Vani janji akan kembalikan uang ini secepatnya.
"Udah, yang penting ibumu sehat dulu. Jangan pikirin uang itu."