NovelToon NovelToon
Cinta Sendirian

Cinta Sendirian

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan alternatif / Romansa
Popularitas:187
Nilai: 5
Nama Author: Tara Yulina

Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:

Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.

Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.

Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.


Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.

Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.

Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.

Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pipi Yang Memerah

Aksa melangkah mendekati Aira tanpa banyak bicara.

“Gue antar,” ucapnya singkat.

Aira mengangguk kecil. “Makasih…”

Aksa baru akan menyalakan motor ketika suara Azura memecah suasana.

“Bang!” panggilnya semangat.

“Aira itu kakak angkat Azura sekarang. Jadi… Aira punya abang dan adik juga.”

Aksa langsung menoleh cepat.

“Hah?”

Azura mengangguk mantap, makin heboh menjelaskan,

“Kak Aira resmi jadi kakak angkat Azura. Abang harus setuju!”

Aksa menatap adiknya, lalu menghela napas pelan.

“…Abang setuju.”

Mata Aira membesar, benar-benar tidak menyangka.

Pria yang bahkan tidak mau berteman dengannya… malah dengan mudah setuju ia menjadi kakak angkat adiknya?

Aneh.

Aneh sekali.

“Tapi ya sudahlah… yang penting dia setuju,” batin Aira, berusaha tetap tenang meski hatinya campur aduk.

“Pakai ini,” ujar Aksa sambil menyerahkan helm ke Aira.

Aira menerima helm itu, namun gerakannya ragu. Ia menekan-nekan talinya, bingung bagaimana cara menguncikannya. Aksa memperhatikan dari atas motor, kemudian turun tanpa banyak bicara. Dengan lembut, ia merapikan posisi helm di kepala Aira, lalu menguncikan talinya hingga terdengar bunyi klik halus.

“Sudah,” ucap Aksa pelan. Jemarinya sempat menyentuh dagu Aira—singkat, tapi cukup membuat wajah Aira memanas.

Aira naik ke jok belakang. Angin malam menyentuh kulitnya, dan rasa lelah sejak tadi mendadak menyerang. Saat motor mulai melaju pelan keluar dari parkiran, kepalanya otomatis bersandar ke punggung Aksa. Kelopak matanya terasa berat.

“Aira?” panggil Aksa saat merasakan beban kecil jatuh di belakangnya.

Tak ada sahutan.

Ia melirik lewat spion. Mata Aira sudah terpejam, nafasnya teratur—tertidur pulas.

Aksa menghela napas kecil, namun senyuman lembut muncul di wajahnya. Perlahan, ia meraih tangan Aira yang terkulai di sisi tubuhnya. Satu per satu, ia menarik tangan itu ke depan, melingkarkannya di perutnya sendiri.

“Biar kamu gak jatuh,” gumamnya, nyaris seperti bisikan rahasia yang hanya angin yang mendengar.

Pelukan itu ringan, tapi cukup untuk membuat dada Aksa menghangat. Motor terus melaju menyusuri jalanan malam, dan untuk pertama kalinya, ia berharap perjalanan pulang Aira tidak terlalu cepat selesai.

Aksa memacu motor dengan sangat pelan sepanjang jalan. Angin malam lembut menerpa, namun ia tetap berhati-hati, memastikan tubuh Aira yang tertidur tidak tergerak sedikit pun. Setiap tikungan ia lewati dengan santai, seolah seluruh dunia sedang menjaga gadis di belakangnya agar tidur nyenyak.

Sesampainya di depan kontrakan, Mosan yang duduk di kursi plastik langsung berdiri. Matanya membesar melihat kepala Aira terkulai di punggung Aksa.

“Kak Aira kenapa!?” serunya panik.

“Tidur,” jawab Aksa tenang.

“Jangan dibangunin, Kak. Kasian… Kak Aira pasti capek banget. Habis pulang kuliah langsung kita ajak main. Kakak gendong aja,” ujar Mosan cepat.

Aksa tetap mencoba membangunkan Aira lebih dulu. Ia menepuk pelan bahu Aira.

“Aira, bangun… udah sampai.”

Tentu saja tidak ada reaksi. Aira tenggelam dalam tidur yang terlalu pulas.

“Tuh kan,” gumam Mosan, “Kak Aira lelap banget.”

Aksa akhirnya melepas helmnya, lalu turun dengan hati-hati sambil menahan tubuh Aira agar tidak jatuh. Ia menyandarkan Aira ke dadanya sebelum melepaskan helm dari kepala gadis itu. Rambut Aira jatuh berantakan, dan Aksa merapikannya sekilas tanpa sadar.

Setelah itu, ia mengangkat tubuh Aira ke gendongannya. Mosan buru-buru membuka pintu kontrakan.

Aksa masuk perlahan dan menurunkan Aira ke kasur, memastikan kepalanya tertopang dengan baik.

Saat Aksa baru saja menarik tangannya dari bawah kepala Aira, tiba-tiba mata Aira terbuka.

Ia langsung terkejut.

Yang pertama kali dilihatnya adalah wajah Aksa—sangat dekat. Mata tajam itu menatapnya dari jarak hanya beberapa sentimeter. Nafas Aksa bahkan terasa menyapu pipinya.

Aksa ikut terdiam.

“…Kamu bangun?” bisiknya, suaranya rendah, nyaris pecah.

Aira memandanginya dengan mata membesar, pipinya memanas. Ia tak sengaja menggenggam kerah baju Aksa karena kaget.

Aksa menahan napas.

“A-aku… cuma mau nurunin kamu,” ucapnya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

Momen itu hening. Wajah mereka terlalu dekat.

Dan tanpa sengaja, Aksa menyadari—

“Maaf… aku nggak bermaksud bikin kamu kaget,” katanya, namun matanya tetap menatap mata Aira, seolah sulit berpaling.

Aira menelan ludah, masih bingung antara terkejut dan… sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Mata mereka masih sangat dekat. Aira belum sempat menjauh, sementara Aksa juga terlihat kaku, tapi tidak memalingkan wajah. Dari pintu, Mosan memandang mereka sambil tersenyum-senyum sendiri.

“Romantis amat…” gumam Mosan pelan.

Saat itu Mosan melihat sesuatu di lantai—jam tangan Aksa terjatuh ketika tadi Aksa menunduk menurunkan Aira. Mosan refleks membungkuk untuk mengambilnya.

Namun tanpa sengaja, ketika Mosan ikut menunduk, pinggulnya mendorong pinggul Aksa.

Dorongannya cukup kuat hingga tubuh Aksa terdorong ke depan.

Dan dalam sepersekian detik—

Plak.

Kepala Aksa tersodok ke arah Aira. Bibirnya menyentuh pipi Aira dengan jelas.

Aira membeku.

Jantungnya langsung berdegup kacau, seperti mau meledak. Sentuhan itu terlalu nyata—hangat dan mengejutkan.

Aksa juga terpaku,wajahnya seketika memerah.

“Uh—maaf! Astaga, maaf!” ucapnya cepat, langsung menjauh sambil memegang lehernya sendiri yang ikut panas.

Mosan berdiri sambil memegang jam tangan yang ia pungut.

“Eh, sori! Aku cuma mau ambil ini… jam Kak Aksa jatuh. Tadi nggak sengaja kesenggol Kak Aksa,” ucapnya polos sambil menyengir—senyum nakal yang ia coba sembunyikan tetap saja terlihat jelas.

Aira menutupi pipinya yang masih hangat. Ia tidak bisa bicara, hanya menatap Aksa yang wajahnya sama-sama memerah.

Momen itu hening—canggung, lucu, dan… anehnya manis.

Aksa buru-buru berdiri tegak, mencoba mengembalikan ekspresinya yang datar. Sayangnya, rona merah di wajahnya belum mau pergi. Aira juga duduk perlahan di tepi kasur, pipinya masih terasa panas seperti baru ditempel setrika.

“Maaf,” ulang Aksa, suaranya sedikit serak karena gugup.

Aira menunduk, menyentuh pipinya sekilas. “Iya… gak apa-apa,” jawabnya pelan. Padahal dalam hati ia masih belum bisa bernapas dengan benar.

Mosan menyerahkan jam tangan itu pada Aksa. “Nih, Kak. Lain kali pegang yang bener,” godanya sambil menyengir lebih lebar.

Aksa hanya melotot kecil. “Keluar.”

“Hehehe, iya iya.” Mosan langsung kabur keluar kamar sambil menutup pintu.

Kini hanya ada Aira dan Aksa—dalam ruang yang terasa jauh lebih sunyi daripada seharusnya.

Aksa menarik napas, mencoba menguasai diri. “Tadi kamu… tidur pulas banget makanya gue gendong,” ucapnya, pelan tapi hangat. “Kirain susah dibangunin.”

Aira mengangguk kecil. “Maaf udah ngerepotin.”

“Enggak. Sama sekali enggak,” balas Aksa cepat, membuat Aira mendongak kaget. “Maksudnya… gue gak keberatan.”

Aira menatap mata Aksa. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang biasanya disembunyikan di balik sikap dinginnya.

Hening sesaat.

Aksa mengalihkan pandangannya, lalu mengambil jarak sedikit. “Ya udah… istirahat. Besok masih kuliah kan?”

Aira tersenyum kecil. “Iya.”

Aksa melangkah menuju pintu. Tapi sebelum ia keluar, Aira memanggilnya lirih.

“Aksa…”

Ia menoleh. “Hm?”

Aira menggenggam selimutnya, mencoba menahan degupnya sendiri.

“Makasih… udah nganterin gue pulang sampe gue ketiduran.”

Aksa terdiam. Lalu bibirnya terangkat tipis—senyum yang jarang sekali terlihat.

“Sama-sama,silakan dilanjut tidurnya.”

“Hati-hati.” tutur aira.

Aksa mengangguk dan keluar dari ruangan itu

Dan pintu pun tertutup pelan… meninggalkan Aira dengan pipi panas, jantung tak karuan, dan satu pikiran:

Kenapa senyum aksa bisa bisa buat gue tenang dan hangat?

1
Kama
Penuh emosi deh!
Elyn Bvz
Bener-bener bikin ketagihan.
Phone Oppo
Mantap!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!