Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 16.
Tubuh Kodasih masih menggigil, ia tidak berani menatap wajah Mbah Ranti, meskipun kini Mbah Ranti terlihat sangat muda dan cantik..
“Wong sing paling cedhak karo atimu.”
(Orang yang paling dekat dengan hatimu.)
“Ananging kowe ora bakal ngerti sopo wong kuwi… amargo pangiling ilingmu ilang sirno”
(Tapi kamu tidak akan mengerti siapa orang itu... karena ingatanmu hilang sirna ..)
Kodasih meneteskan air mata.
“Aku tidak tahu siapa… aku sudah mencoba mengingat ingat.. dengan melihat barang barang yang ada di rumah.. Tapi aku tetap tidak ingat siapa yang paling dekat denganku…” suara lirih Kodasih dan air mata terus meleleh di pipi halusnya.
“Ya… iku regane.”
(Ya.. itulah harganya.)
Mbah Ranti berdiri, bayangannya memanjang di lantai. Dan dalam seketika kini sosok Mbah Ranti sudah kembali menjadi tua..
“Kowe pengin kabeh.. enom, ayu, lan ora kelangan sopo sopo... Kabeh kuwi ora mungkin... Dasih..”
(Kamu ingin semua.. muda, cantik dan tidak kehilangan siapa siapa... Semua itu tidak mungkin.. Dasih..)
Mbah Ranti menatap Kodasih dengan mata hitam kelam.
“Pilih, Dasih.... Tetep enom lan ayu ananging kelangan masa lalu mu... opo... entuk meneh kabeh pangiling iling mu meneh, ananging awakmu bali tuwo... lan luwih tuwo soko sakdurunge.”
(Pilih Dasih... Tetap muda dan cantik tapi kehilangan masa lalumu… atau mendapatkan semua ingatanmu kembali, tapi tubuhmu akan kembali tua.. dan lebih tua dari sebelumnya).
Pilihan itu menggantung di udara.
Dan Kodasih… hanya bisa menatap tanah sambil terus menangis.
Hening memenuhi gubuk itu setelah Mbah Ranti memberi dua pilihan yang sama pahitnya.
Kodasih terus menunduk, matanya basah, tetapi ada sesuatu yang mulai bergerak dalam dirinya. Sesuatu yang tidak ia sadari selama puluhan tahun.. keberanian sekaligus keputusasaan yang melahirkan tekad liar.
Ia ingin semuanya: tetap muda, tetap cantik, ingatannya kembali dan tidak kehilangan siapa siapa.
Ia tidak mau memilih. Ia tidak mau kehilangan apa pun lagi...
Pelan pelan, ia mengangkat kepala.
Matanya berubah.
Tidak lagi bingung.
Tidak lagi takut.
Tetapi tajam.
Terlalu tajam.
Mbah Ranti menyadarinya....
“Dasih… apa sing ana ing pikiranmu? Ojo sembrono, Nduk…”
( Dasih .. apa yang ada di pikiran mu? Jangan ceroboh, Nak…)
Kodasih tersenyum pelan, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan selama hidupnya.. Senyum itu terlalu tenang.
“Mbah…” bisiknya lirih.
“Panjenengan bilang… aku hanya butuh membayar harga.”
Ia maju satu langkah.
“Tapi kalau aku bisa mengambil ilmunya langsung… aku tidak perlu bayar apa apa, kan?”
Mbah Ranti menegakkan tubuh. Wajahnya berubah marah.
“Dasih… OJO NEKAT!”
(Dasih... JANGAN NEKAT!)
Akan tetapi sudah terlambat...
Kodasih menjatuhkan diri ke lantai, kedua telapak tangannya menempel pada tanah dengan cepat.
Ia menggerakkan jari jari nya memutar, gerakan yang tidak pernah ia pelajari, gerakan yang seharusnya hanya dimiliki oleh dukun tua tingkat tertinggi.
Lantai tanah gubuk bergetar.
Angin berputar di sekitar tubuh Kodasih, membentuk pusaran kecil.
Aroma kenanga, aroma dari kendi Mbah Ranti.. meledak menguar keluar seperti kabut dari tubuh nya.
“Kowe… kenopo iso…?”
(Kau… kenapa bisa? bagaimana bisa…?)
Mbah Ranti mundur, kedua matanya melotot, wajah mendadak menjadi pucat pasi.. Ia benar benar terkejut.
Kodasih mengangkat wajahnya. Matanya berwarna hitam seluruh nya, tidak ada bagian putih lagi.
“Aku minum kendi itu sampai habis semalam, Mbah, sampai se ampas ampas nya aku telan...” ucap Kodasih dan senyum di bibirnya itu semakin lebar.
“Air dan sarinya menyisakan jejak ilmu penjenengan Mbah… lebih banyak dari yang penjenemgan kira.”
Mbah Ranti hendak mengangkat tongkatnya, tetapi Kodasih sudah menepukkan kedua tangannya ke tanah... dan seketika.
DUUARRRR!
Gubuk itu dipenuhi cahaya merah.
Dari lantai, bayangan bayangan muncul. Bayangan roh roh lama yang pernah diikat oleh Mbah Ranti bertahun tahun lamanya. Mereka menjerit, melolong, memanggil nama tuan nya.
Dan Kodasih.. tanpa rasa takut.. memegang bayangan itu satu per satu, menyerapnya ke dalam dadanya.
Werrrr… Wuuung… weeerrrr... wuuuunnggg... weerrr.. wunngggg
Suara suara roh masuk ke tubuh nya, seperti angin besar disedot ke dalam gua gelap.
Mbah Ranti menjerit ketakutan.
“DASIH! Mandeg! Mandeg sakdurunge kowe dirasuki kabeh roh iku!”
(DASIH! Berhenti sebelum kau dirasuki semua roh roh itu!)
Kodasih bangkit, rambut nya yang panjang lebat dan hitam pekat berkibar...
Ia tampak seperti ratu malam kelam...
Muda.
Cantik.
Dan berbahaya.
“Aku tidak peduli. Sing tak pengin mung siji: kembali menjadi diriku.. tanpa kehilangan apa pun.”
Ia menarik napas panjang.
Roh terakhir yang masuk ke tubuhnya membuat gubuk rumah Mbah Ranti itu hancur retak.
Ketika cahaya merah mereda…
Kodasih berdiri di tengah reruntuhan gubuk.
Mbah Ranti terbaring lemas di tanah, wajahnya semakin pucat bagai kain kafan dan semakin tua.. seakan semua energi dan umur mudanya mengalir keluar.
Sedangkan Kodasih…
Ia menyentuh kepalanya.
Dan tiba tiba
“Mbok Piyah…”
nama itu muncul, wajah Mbok Piyah saat muda hingga Mbok Piyah dibungkus kain kafan ada di ingatan Kodasih.
“Sanah… Pardi…”
suara mereka terdengar nyata.
Warastri…
wajah anak itu muncul jelas di pikirannya.. wajah kecil Warastri yang dulu memanggilnya Nyi Kodasih dengan suara imut. Hingga wajah Warastri saat datang hamil tua menjemput Sanah dan Pardi.
Sumilir, Kang Pono, Tiyem.. Arjo.. Hingga Mbah Parsini...
Kapten Taniguchi.. orang yang akan dia cintai dan menjadi penyebab arwah Tuan Menir murka hingga wajah nya menjadi rusak.. pun kembali di dalam ingatan nya..
Satu per satu ingatan yang hilang kembali dengan mudah, deras seperti air sungai yang membuka bendungan.
Bahkan lebih banyak dari itu, memori memori kecil pun kembali muncul di dalam ingatan nya..
Air mata mengalir di pipi Kodasih. Karena ia bahagia telah kembali semua ingatannya..
“Kowe mesti bayar, Dasih…” bisik Mbah Ranti dengan suara hampir tidak terdengar.
“Kowe ora ngerti… apa sing mbok colong saka aku…”
Kodasih menatap Mbah Ranti, matanya dingin seperti batu di puncak gunung..
“Aku tidak mencuri, Mbah.”
Ia membenarkan rambut hitamnya dengan pelan.
“Aku mengambil kembali hidupku.”
Ia berbalik.
Dan tanpa melihat ke belakang, ia berjalan keluar dari reruntuhan gubuk itu, meninggalkan Mbah Ranti yang nyaris tidak bergerak.
Ketika Kodasih keluar dari Alas Karang Pulosari, matahari baru saja muncul. Langkahnya sangat ringan. Parasnya begitu cantik hingga burung burung hening menatapnya.
Bibir Kodasih terus tersenyum. Ia tahu ingatannya telah kembali. Ia tahu tubuhnya tetap muda. Dan ia tahu… ia kini memegang kekuatan yang bahkan melebihi kekuatan Mbah Ranti.
Namun ada satu hal yang juga ia sadari:
Dalam tubuhnya… roh roh yang ia serap tadi tidak diam. Ada sesuatu yang bergerak di balik kulitnya. Ada bisikan bisikan yang mengikuti setiap langkahnya.
Dan meski ia berhasil mendapatkan semua kemauan nya… Ada sesuatu yang mengikutinya keluar dari hutan... alas Karang Pulosari..
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣