KEKASIHKU BERUSIA DUA RATUS TAHUN

Garren tertegun.

Tatapan Rania yang dulu penuh cinta—kini nampak seperti jijik. Seketika dad4nya merasa ditikam di tempat yang paling dalam.

“Sayang… apa yang kau lakukan…?” suaranya patah.

Ia menatap Arven—dari ujung rambut yang rapi hingga sepatu khas Jeoson yang asing di matanya.

Garren menelan ludah, seolah baru menyadari bahwa pria yang berdiri di hadapannya bukan manusia sembarangan. Wajahnya rupawan, tenang, bersih, nyaris seperti patung dewa yang turun dari lukisan kuno.

Ada sepersekian detik di mana Garren… merasa kalah.

Namun ia cepat menegakkan dad4. Aku Garren Luxford. Aku kaya raya, berkuasa, dan punya segalanya.

Dan menurutnya, pria ini… hanya aktor figuran yang kurang kerjaan. Kepercayaan dirinya kembali, memenuhi rongga d4danya.

“Terserah seberapa tampan kau…” gumam Garren dalam hati, menatap Arven dengan senyum dingin. “Aku bisa menghancurkan hidupmu kapan saja.”

Dia melangkah maju.

“Sayang, sadarlah! Dia cuma pemain figuran film kolosal… kau tidak bisa berharap apa pun darinya. Kembalilah.” suara Garren bergetar, masih berusaha lembut meski wajahnya sudah mulai panas.

Tapi tatapannya langsung turun ke tangan Arven—yang tadi refleks meraih tangan Rania saat gadis itu mencengkeram kain Luminer-nya. Dan tepat dalam hitungan detik… kepala Garren langsung panas.

“JANGAN SENTUH ISTRIKU!” teriakannya menggelegar, memantul ke seluruh hutan kecil pinggir sungai itu.

Siera datang sambil mendengus kesal, namun langkahnya terhenti ketika melihat—Rania berdiri kokoh di depan Garren.

“Hhhh—” Siera ternganga. Lututnya gemetar seperti mau patah. Ia bahkan melihat sendiri kiriman foto eksekusi dari ayahnya. Mereka tidak gagal—mobil Rania benar-benar masuk kedalam sungai, gumam batinnya tidak percaya.

“Bagaimana bisa…” gumamnya serak, menelan ludah. Tatapannya lurus ke Rania.

Dan di detik itu, tatapan mereka bertemu—bayangan menjijikan kembali menabrak d4da Rania. Napasnya tercekat. Perutnya mual. Amarah naik bersamaan dengan rasa jijik yang menghantamnya keras.

Tanpa berpikir panjang, Rania meraih cincin di jarinya—cincin yang dulu ia pakai dengan berjuta harapan hidup bahagia—karena menikahi orang yang ia cinta, putra tunggal dan pengusaha kaya raya.

Ia cabut. Dan ia lempar, tepat ke arah Garren.

“Aku bukan istrimu lagi!” teriaknya.

Suaranya gemetar—bukan takut, tapi penuh luka yang terlalu dalam, yang tak pernah benar-benar sembuh. Namun Garren justru membelalak. Ia buru-buru meraih cincin itu dari tanah, memungutnya seperti benda paling berharga di dunia.

“Sayang… aku mohon jangan seperti ini!” ucapnya lirih.

Tatapannya berubah memelas, seolah dialah yang jadi korban. Siera dengan cepat meraih tangan Garen, berusaha menjadi pahlawan yang menguatkan batinnya pria kaya itu.

“Kakak… jangan memohon! Itu tidak pantas untukmu. Kau lihat sendiri, dia bersama pria pemain figuran yang bahkan tidak terkenal,” ucapnya dengan sengaja, untuk menjatuhkan harga diri Rania.

Rania mengangkat dagu—menatapnya tajam, “Selama ada wanita itu disampingmu… aku tidak akan pernah kembali.”

Garren menoleh cepat, menghempaskan pengangan tangan Siera.

“Kau dengar itu? Lepas!” ketusnya.

Mata Siera membelalak, seketika wajah putihnya berubah merah—malu dan terhina. Ia menelan ludah, menunduk lalu melempar tatapan benci pada Rania. Wanita sialan… kenapa kau hidup lagi? sudah bagus kau membusuk di dasar sungai… atau kau memang ingin kematian yang lebih menyakitkan, tunggu saja! Teriak batinnya, memcaci Rania dengan geram.

Garren berjalan mendekat, namun Rania tetap mundur.

“Jangan takut… aku akan melindungimu,” ucap Arven nampak tenang, ia membalik lalu tersenyum membuat Rania mengerutkan kening.

Ya Tuhan, kenapa bocah ini polos sekali… apa dia tidak tahu, ini siatuasinya sudah gawat—antara hidup dan mati. Kita di kelilingi anak buah Garren—mereka bersenjata, bagaimana mungkin di masih bisa tersenyum? Gumam batin Rania. Ia menggelengkan kepala panik, lalu melangkah maju.

“Pergilah! Kau tidak seharusnya terlibat masalah rumah tanggaku…” ucap Rania, suaranya gemetar. Ia memilih menyerah, agar Arven selamat.

Garren tersenyum bangga, “Kau memang pintar,” pujinya, tersenyum lebar. “Kemarilah sayang! Aku memaafkanmu… aku tahu kau tidak akan mengulangi kebodohan ini lagi.”

Arven mengkerutkan kening, tatapannya pedih melihat Rania menuju pria bengis itu.

“Rania… aku bisa…”

“bisa apa? Hah…?” gertak Garren mengangkat degunya sombong. “Kau bisa ilmu beladiri, itu di layar… dalam dunia nyata kau hanya boneka yang di gerakan oleh sutradara.”

Tangan kekar Garren dengan cepat menarik lengan Rania, solah takut wanita ini hilang akan kembali. Lalu ia mendekapnya begitu erat, mengendus seperti seekor anjing yang lapar—atau mungkin sedang memeriksa, memastikan tidak ada jejak bau lain, selain harum tubuh Rania sendiri.

“Aku suka aroma tubuhmu sayang, aku merindukanmu,” bisiknya pelan—namun Arven bisa mendengar jelas, membuat jantungnya seolah akan meledak.

*

Makasih sudah baca sampai sini! Jangan lupa tinggalkan komentar, kasih bintang/vote kalau suka, dan lanjut ke bab berikutnya ya. Dukungan kalian bikin aku semangat banget nulis cerita ini!

Jangan lupa baca juga karya author yang lain ya…