Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita lain
“Kakak berhenti mendorong… aku sudah tidak kuat!” rintih sang wanita sambil mencengkeram rambut Garren, yang bahkan tak menghiraukannya.
Tubuh keduanya sudah bermandikan peluh, hingga akhirnya Garren mengerang kencang, lalu merebahkan tubuhnya dengan napas terengah seolah baru saja melakukan maraton.
Sejak tadi ponsel di samping ranjang terus bergetar. Ia tahu, namun tetap mengabaikannya. Setelah permainannya selesai ia pun mengangkat telepon itu.
“Apa?” sahutnya datar, napas masih tersengal bebas.
Sierra, wanita yang masih terkapar itu, hanya tersenyum. Ia tahu wanita yang menelepon Garren adalah Rania, istrinya. Dengan sengaja ia memanggil Garren manja agar Rania tahu—kini suaminya sudah benar-benar memilihnya.
“Sayang… lututku lemas,” manjanya.
Rania di seberang tentu saja mendengar, namun tak bisa apa-apa, hanya bisa menelan ludah getir dengan hati yang tersayat.
“Bicaralah!”
Suara Garren mulai melunak, ada sedikit rasa bersalah di hatinya.
“Kau bersamanya lagi…” gumam Rania. Tangannya bergetar menahan sayatan yang semakin brutal di dad4, bulir bening meleleh deras.
“Aku tidak bisa menolak permintaan mama. Dia selalu menuntut anak dan anak. Kau tahu kan, ayah sudah sekarat. Aku ini anak tunggal, mereka menuntut agar aku segera memberinya keturunan.”
Kata-kata itu jatuh begitu saja, seolah istrinya tidak punya hati.
“Setidaknya selesaikan dulu urusan denganku! Kau tidak bisa seperti ini…” jawab Rania tegas, suara bergetar menyembunyikan isakan.
“Urusan apa? Bercerai?” ketus Garren. “Tidak akan. Kita tidak akan bercerai. Memangnya kenapa jika aku punya anak dari Sierra dan kau tetap menjadi istriku? Aku rasa tidak ada masalah.”
Mendengar kata-kata itu, Sierra langsung merengut. Raut wajahnya berubah total. Ia ingin agar Garren dan Rania bercerai, namun pria ini justru ingin keduanya. Dasar serakah, dumel batinnya kesal.
“Hhhh!”
Rania menghela napas panjang, bibirnya bergetar tak bisa berkata-kata lagi, seolah semuanya tersangkut di tenggorokan. Ia pun menutup panggilan itu secara sepihak. Padahal awalnya ia ingin minta izin untuk ikut Summer Camp, acara yang diadakan kantornya, untuk menenangkan hatinya yang terus retak sejak pertemuan keluarga minggu lalu—di mana ia menjadi bulan-bulanan cacian tanpa pembelaan suaminya.
Meski demikian, Rania tetap menghormati suaminya dan selalu memberinya kabar, termasuk malam ini. Namun naas, ia malah mendapati suaminya dengan wanita lain.
“Rania, kau jadi ikut?”
Tanya rekannya, menepuk pundaknya pelan. Dengan cepat Rania menyeka air mata.
“Tentu saja,” sahutnya kembali tersenyum seolah semua baik-baik saja.
“Apa Pak Garren sudah setuju?”
Rania mengangguk cepat tanpa memikirkan apa pun.
“Baiklah, ayo kita berangkat.”
—
Bus mewah milik Perusahaan Luxford melaju menuju Summerwoor Reserve. Hampir semua penumpang ceria sepanjang perjalanan. Ada yang bernyanyi, ada yang mengobrol, ada juga yang terus makan.
Sementara Rania hanya diam, menumpukan kepalanya di kaca bus—sambil melihat pemandangan malam yang gelap di luar sana. Otaknya terus berputar memikirkan nasib yang semakin tak jelas, seolah kehidupan terus menyakitinya.
Luka hati dari acara keluarga saat ulang tahun ayah mertuanya minggu lalu masih sangat basah. Teringat jelas semuanya, wajah-wajah itu—wajah yang menatapnya rendah. Kata-kata yang terus diulang dan dibumbui dengan hinaan.
Namun yang paling menyakitkan, suaminya tak pernah hadir untuk membelanya sedikit pun, seolah mengakui menikahinya adalah sebuah kesalahan.
Matanya terpejam, memeras air mata yang kembali tumpah. Kata-kata ibu mertuanya terus terngiang di kepalanya.
“Harusnya jika tidak punya harta, minimal punya rahim yang bagus. Ini…? Sama sekali tak ada yang bisa diharapkan.”
Tatapan ibu mertuanya begitu tajam. Rania hanya bisa menunduk, lalu melirik suaminya yang asyik menikmati makan malam. Ia menelan getir, bahkan air putih pun tak sanggup masuk ke tenggorokannya.
“Kak Rania, apa kau sudah memeriksakan kondisi rahimmu? Siapa tahu bermasalah,” campur Sierra sambil tersenyum sinis, seolah menaburkan garam pada luka.
“Aku sudah mengajak Mas Garren, tapi dia selalu menolak,” jawab Rania. Degup jantungnya begitu kencang, menahan sayatan yang mengiris hatinya.
“Kenapa harus Garren? Kau kan yang punya rahim… Garren gak ada masalah. Pergilah periksa, sedikit berusaha apa susahnya!”
Suara ibu mertua mulai naik, namun Garren hanya melirik istrinya, menyalahkannya dengan tatapan bengis. Rania menggigit bibir, menghela napas panjang menahan pedih yang tak berkesudahan.
“Saya permisi.”
Rania pun bangkit lalu pergi ke toilet. Langkahnya tergesa bukan karena kebelet, tapi karena air mata sudah menumpuk hampir jatuh. Tangisnya pun pecah di balik bekapan tangan, air keran sengaja dinyalakan agar menyamarkan isak yang tetap ia rahasiakan.
Saat kembali dari toilet, ternyata perbincangan itu belum selesai. Justru Sierra semakin berani memperlihatkan kedekatannya dengan Garren di hadapan mertuanya. Gadis itu berpindah duduk, menempati kursi milik Rania, lalu menyuapi Garren tanpa rasa malu.
“Ya Tuhan, terbuat dari apa hati mereka?” gumam Rania. Matanya menatap tajam wajah suaminya, tangan mengepal keras mencengkram ujung kemeja—menahan gemuruh yang hampir meledak di dad4nya.
*
Terima kasih sudah membaca novel ini, temukan kejutan lain di bab selanjtnya. Setiap komentar, like, bintang dan Vote dari kamu, adalah sesuatu yang sangat berharga bagi author. Memberi semangat untuk terus menulis, memberi cahaya agar cerita ini sampai ke hati lebih banyak orang.
Jangan lupa Follow ya! Dan baca juga novel author yang berjudul: Istri ke-101 ( Sudah tamat)
Terimakasih & salam hangat.
Penulis yang selalu bersyukur karena ada kalian. Dukung terus karyaku ya kesayangan…
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu