Luna tak pernah bermimpi bekerja di dunia hiburan, ia dipaksa pamannya menjadi manajer di perusahaan entertainment ternama.
Ia berusaha menjalani hidup dengan hati-hati, menaati aturan terpenting dalam kontraknya. Larangan menjalin hubungan dengan artis.
Namun segalanya berubah saat ia bertemu Elio, sang visual boy group yang memesona tapi kesepian.
Perlahan, Luna terjebak dalam perasaan yang justru menghidupkan kembali kutukan keluarganya. Kejadian aneh mulai menimpa Elio, seolah cinta mereka memanggil nasib buruk.
Di saat yang sama, Rey teman grup Elio juga diam-diam mencintai Luna. Ia justru membawa keberuntungan bagi gadis itu.
Antara cinta yang terlarang dan takdir yang mengutuknya, Luna harus memilih melawan kutukan atau
menyelamatkan orang yang ia cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malu
Seharian itu Luna masih menunggu kabar dari Veronica. Namun belum juga ada jawaban. Ia gelisah, antara berharap dan cemas akan kemungkinan kabar baik atau justru sebaliknya.
“Tenang, Luna ini belum sehari,” batinnya mencoba menenangkan diri, meski hatinya tak sepenuhnya bisa diam.
Ia melirik jam di dinding. Sudah jam makan malam. Anak-anak Neonix pasti sedang makan sekarang, pikirnya. Tapi entah kenapa, malam itu ia tidak ingin bergabung. Ia butuh ruang untuk sendiri.
Luna melangkah masuk ke studio tari yang kosong. Cermin besar di depan ruangan memantulkan sosoknya yang tampak lelah tapi masih berusaha tegar.
Ia melepas blazer ya, lalu mengikat ketat rambutnya tinggi-tinggi. Dengan kaus putih sederhana yang melekat di tubuh, ia menatap pantulannya sejenak seperti menatap diri yang lain.
Musik diputar. Nada demi nada mengalun memenuhi ruangan. Luna mulai bergerak. Setiap langkah, setiap putaran, seperti cara tubuhnya melepaskan beban yang tak bisa diucapkan. Inilah caranya menenangkan hati lewat tarian.
Sementara itu, di koridor luar, Elio yang hendak ke kantin bersama Noel tiba-tiba menepuk dahinya.
“Ah, earphone-ku ketinggalan di studio, kau duluan saja. " katanya cepat.
Noel mengangguk dan lanjut pergi. Elio pun bergegas menuju ruang latihan.
Di sisi lain, Rei yang baru keluar dari toilet dan berjalan santai ke arah studio. Ia tak tahu kalau anak-anak yang lain sudah lebih dulu ke kantin.
Pintu studio terbuka sedikit. Dari dalam, terdengar alunan musik ballad yang lembut, berpadu dengan langkah kaki yang ringan.
Rei mendorong pintu itu perlahan. Sekilas, matanya membulat. Terlihat Luna sedang menari anggun, dengan gerakan yang penuh perasaan.
Elio yang sedang berjalan ke arah studio karena lupa membawa earphonenya, melihat Rei berdiri diam di depan pintu.
“Sedang apa, Kak?” tanyanya pelan.
Rei menoleh cepat dan menempelkan jari ke bibirnya. “Ssst…” gumamnya, menahan bahu Elio agar tidak masuk dulu.
Namun rasa penasaran membuat Elio sedikit mencondongkan kepala. Begitu matanya menangkap sosok Luna di tengah pantulan cermin, ia tertegun.
Keduanya saling berpandangan sesaat, lalu kembali menatap Luna yang masih menari tanpa sadar diawasi.
Sampai akhirnya, Luna melihat bayangan dua sosok itu di cermin. Ia segera menghentikan gerakan dan musiknya.
Suasana berubah kikuk. Rei mengusap tengkuknya pelan, sementara Elio berdiri kaku di dekat pintu.
“Maaf,” ujar Elio gugup, melangkah masuk perlahan. “Earphoneku ketinggalan.”
Luna membalas cepat, suaranya sedikit gemetar. “I-iya… nggak apa-apa.” Ia buru-buru meraih blazer dan mengenakannya lagi.
Rei ikut melangkah masuk, berpura-pura memeriksa sekeliling ruangan. “Kupikir anak-anak lain masih di sini.”
Ia tersenyum canggung, lalu kedua matanya berkedip cepat beberapa kali mungkin sekadar bingung dan gugup harus berbuat apa.
Luna hanya menunduk, pipinya merona.
Elio menatapnya sebentar, lalu menawarkan dengan lembut, “Ayo, kita makan malam.”
Mereka bertiga berjalan keluar bersama.
Saat melewati pintu, Rei melangkah di sisi Luna dan berbisik pelan, “Tadi itu indah sekali.”
Setelah itu ia berjalan lebih cepat, meninggalkan Luna yang kini benar-benar merah wajahnya antara malu dan terkejut.
***
Keesokan harinya di kantor, Luna masih terlihat gelisah. Ia duduk di mejanya sambil menatap layar laptop yang belum juga menampilkan kabar dari Veronica.
Setiap beberapa menit, ia mengecek email dan setiap kali itu pula, ia menarik napas panjang karena belum ada apa pun.
Menjelang siang, terdengar suara teriakan kecil dari salah satu rekan divisinya.
“Eh, tim stasiun TV itu mengirim email lagi!”
Seketika, grup kerja Divisi 1 mendadak ramai.
Luna menoleh cepat, matanya membulat. “Serius?”
“Serius! Mereka mengirim tawaran dan nama Neonix ada di daftar!”
Suasana kantor langsung berubah hiruk-pikuk. Beberapa anggota tim terlihat panik, mengingat dulu mereka pernah menolak tawaran dari tim Veronica karena merasa Neonix belum siap untuk tekanan besar seperti acara survival itu.
“Wah, ini gimana ya. Kita siap nggak kali ini?” gumam salah satu staf.
“Kalau gagal, kasihan anak-anak Neonix makin tertekan." sahut yang lain.
Namun berbeda dari yang lain, Luna justru tampak bersinar. Senyumnya merekah lebar, nyaris tak bisa disembunyikan. Ia bahkan sempat melompat kecil dari kursinya.
“Ya Tuhan, akhirnya!” serunya pelan, setengah tak percaya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung membuka ponselnya dan mengetik pesan cepat kepada sahabatnya. “Terima kasih, Vero. Kau memang sahabatku yang paling baik.”
Tak butuh waktu lama ia mendapat balasan masuk dari Veronica. “Setidaknya, kenalkan salah satu dari mereka padaku.”
Luna terdiam sejenak, lalu tersenyum geli. Ia menggeleng pelan sambil menatap layar ponselnya.
“Dasar, Vero." gumamnya.
Luna hari itu tampak lebih riang dari biasanya. Setelah mendapat kabar baik dari Veronica, ia langsung menuju ruangan Pak Zaki sambil membawa berkas proposal di tangannya.
Dengan penuh semangat ia menjelaskan tentang tawaran dari stasiun itu, dan bagaimana ia bisa mengajukan Neonix sebagai peserta.
Pak Zaki sempat terdiam, menatap Luna dengan kening berkerut.
“Jadi, kau yang mengajukan nama mereka?” tanyanya tak percaya.
Luna mengangguk mantap.
“Kenapa kau yakin mereka bisa?” lanjut Pak Zaki, suaranya tenang namun sarat keraguan.
Luna tersenyum penuh keyakinan.
“Pak, mereka itu berbakat. Hanya saja, mereka perlu sedikit tekanan untuk tumbuh, dan ruang promosi yang lebih luas. Saya yakin mereka akan bersinar.”
Pak Zaki menghela napas panjang, lalu menatap Luna lama. Ia melihat gadis itu tampak bersemangat dan entah mengapa semangat itu jadi seperti menular padanya.
Akhirnya ia tersenyum. “Baiklah. Mari kita beri mereka kesempatan.”
Luna hampir berteriak kegirangan. “Terima kasih banyak, Pak. Saya yakin mereka tidak akan mengecewakan.”