"Jangan lagi kau mencintaiku,cinta mu tidak pantas untuk hatiku yang rusak"
Devan,mengatakannya kepada istrinya Nadira... tepat di hari anniversary mereka yang ke tiga
bagaimana reaksi Nadira? dan alasan apa yang membuat Devan berkata seperti itu?
simak cerita lengkapnya,di sini. Sebuah novel yang menceritakan sepasang suami istri yang tadinya hangat menjadi dingin hingga tak tersentuh
Jangan lupa subscribe dan like kalo kamu suka alur ceritanya🤍
Salam hangat dari penulis💕
ig:FahZa
tikt*k:Catatan FahZa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang ke masa lalu
Henry berhenti di depan rumah kecil dengan dinding kusam yang mulai retak di beberapa sisi. Atapnya sedikit miring, dan aroma kayu lembap bercampur dengan wangi tembakau yang samar terbawa angin.Pagar bambu di depannya tampak nyaris roboh, cat birunya sudah berubah jadi abu-abu pudar.
Ia berdiri cukup lama di sana.Tak ada mobil mewah, tak ada pintu otomatis seperti yang biasa ia temui di kota besar dan suasana yang jauh jika di bandingkan dengan tempat berdirinya satu jam lalu,gedung galeri dalam acara 'Gala Estetika'. Hanya suara ayam tetangga dan batuk seseorang dari dalam rumah yang terdengar parau dan menua.
Langkah Henry maju pelan, tapi ragu.Sepatu kulitnya menyentuh tanah becek yang dulu setiap pagi ia sapu waktu masih remaja.Tangannya sempat terulur mengetuk pintu, tapi diam-diam gemetar. Ada ketakutan aneh di dadanya,karena di dalamnya tersimpan bagian hidup yang dulu ingin ia lupakan.
Ketika batuk itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, Henry menelan ludahnya. Napasnya berat.“Masih sama saja… bahkan suara itu pun tak berubah.”
Lalu, dengan langkah pelan, ia mengetuk pintu kayu itu.Suara yang dulu sangat akrab, kini terasa asing.Dan di balik pintu yang berderit terbuka, aroma obat campur minyak kayu putih menyambutnya.Bersama bayangan sosok ayah yang dulu ia tinggalkan tanpa pamit.
"Siapa?"Suara tanya itu pelan,namun begitu menggetarkan untuk Henry.
"Aku pulang Ayah"Suara Henry terdengar serak Mendengar itu, Ayahnya beringsut membalikkan badan.Menatap tidak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya.Namun sorot mata itu langsung memudar.Beralih menatap ke arah lain.Dagunya naik sedikit,memperlihatkan sebuah keangkuhan. Seperti tidak membutuhkan kehadiran siapapun.
"Aku tak pernah mengharapkan engkau kembali.Aku sudah terbiasa di tinggalkan". Suara itu, dingin.
Henry menatap Ayahnya dengan pandangan penuh kerinduan,ingin memeluk tubuh ringkih itu.Tapi langkahnya selalu terhalang dengan sikap angkuh Ayahnya yang tak pernah membutuhkan kehadirannya.Juga kenangan saat kecil yang bermunculan.Pecutan,makian bahkan pukulan yang sering ia terima dari sosok tua di hadapannya saat dulu ketahuan melukis.
"Ayah,apa tidak ada sedikitpun rindu untukku?"Henry melunak,ia tahu,meski semua kekasaran yang ia terima ada perjuangan dari sosok itu agar dia tetap hidup.Tidak seperti Ibunya yang meninggalkan tanpa peduli ia akan hidup atau mati.
Senyum sinis di ujung bibir Ayah terasa mengiris hati Henry.
"Apa reaksi yang seperti ini yang ingin aku kunjungi.
Ayah,andai engkau tahu.Seorang anak yang tumbuh dari kekerasanmu tidak akan benar-benar menjadi dewasa.Meski usia selalu bertambah,belasan tahun hingga puluhan tahun.Itu hanya waktu yang berlalu.Anak itu tetap terperangkap di masa lalu."
"Lalu kau kemari hanya ingin menyalahkan ku karna sudah memukulmu?"
"Aku ingin,engkau jujur Ayah.Tidak perlu membohongi hati mu yang selama ini terjerat kesepian".
"Aku sudah jatuh,aku tidak ingin mengulurkan tangan untuk meminta tolong. Karna orang yang membantuku akan ikut terjatuh.Dan aku tidak akan berteriak meminta bantuan,karena yang mendengarnya akan ikut terseret luka."
"Aku masih anakmu yang tidak akan apa-apa jika terjatuh bersamamu Ayah.Meski teriakan Ayah membawaku dalam luka Ayah,setidaknya aku akan merasa bangga sudah ikut merasakan luka itu."
"Cih!"
"Bodoh!"
"Kau pikir,kamu yang sekarang berhak bicara seperti itu padaku?"
Henry terdiam,tangannya sedikit mengepal.Berkali-kali ia menghela nafas.Merasa frustasi menghadapi sikap Ayahnya.
"Dengar Henry,jika hidup jauh dariku membuatmu menjadi lebih baik.Tidak perlu kau berfikir untuk kembali lagi.Jangan rusak dirimu dengan rasa bersalah hanya tidak mengunjungi ku."
"Ayah,apa aku salah merindukan tangan yang bekerja keras untuk menghidupiku,merindukan punggung yang pura-pura tegar untuk memastikan aku tidur dengan tidak kelaparan. Setidaknya rinduku tahu dari mana aku berasal".
Ayah diam saja,namun wajah tua itu nampak menyembunyikan senyum.Samar namun terlihat.
***
Suasana kantor setelah pergelaran Gala Estetika' tidak terlalu sibuk.Semua berjalan agak santai,namun profesional.Sekertaris Ken berjalan buru-buru menuju ruang kantor Devan.Membawa beberapa lembar kertas.
Ia mengetuk pintu ruangan ,terdengar suara Devan dari dalam
"Masuklah Ken",Devan sudah hafal dengan gaya sekertaris Ken mengetuk pintu yang selalu tiga kali ketukan.
Pintu terbuka,memunculkan sosok Sekertaris Ken mengenakan setelan jas hitam rapi.
"Tuan,semua dokumen dan pengurusan operasi penyakit anda sudah selesai.Profesor Takeda Hiroshi menjadwalkan nya besok.Jadi Anda bisa melakukan penerbangan menuju Tokyo hari ini."
"Jam berapa jadwal tiket penerbangan nya?"
"Enam jam lagi,Tuan".
"Cepat urus keperluanku,kita menuju bandara sekarang juga.Dan jangan lupa,siapkan penyamaranku saat di Bandara.Aku tidak mau memancing wartawan dan perhatian publik".
"Baik Tuan,saya akan persiapkan".
Sekertaris Ken,membungkukkan badannya sebentar.Lalu berlalu ke pintu keluar.
Devan masih berdiri,di tempat favoritnya yang terpampang sebuah lukisan karya Henry Callen.Ia mendekat pada lukisan itu.Tangannya terangkat,jemarinya meraba sudut kiri bagian kanvas.Yang terisi guratan-guratan penuh warna cerah sebelumnya ada guratan abu dan hitam.
"Untuk mu Nadira,dan calon anak kita.Aku akan berlari dari kegelapan ini.Aku akan menuju warna cerah ini.Dan bersama-sama denganmu berada dalam kehangatan yang akan di pancarkan oleh warna ini."
"Hidup membawaku dengan situasi ini,meski awalnya ada yang tidak beres.Tapi hidup ini memang lucu kan?"
"Seperti warna yang terlihat cerah,siapa yang akan menyangka ada gumpalan hitam setelah nya.Namun jika berhenti,berarti akan berhenti di titik yang kelam itu.Aku akan terus berjalan,menuju titik yang semakin terang setelahnya.Meski untuk menuju titik terang itu,harus ada warna kelabu."
Seketika hatinya terasa hangat,senyum manis di wajah istrinya muncul memasuki rongga dada."Wanita ku ini,dia selalu berhasil membawaku menuju tempat terang".
Devan mengambil ponsel di sakunya,perasaan rindu meluap tanpa di sengaja.Rindu ingin menatap senyuman manis yang sedari tadi menyambar-nyambar hatinya.
Ia menekan tombol power,dengan cepat menghubungi Nadira.
Sambungan telepon terhubung.Nampak di layar wajah manis itu.Wajah polos tanpa make up.Tapi justru membuat hati Devan bergetar tak karuan.
"Mas,ada apa video call?"
Devan tersenyum,memandangi wajah itu tanpa kedip.Di tatap seperti itu,membuat pipi Nadira bersemu merah.Gerakannya tak beraturan ,salah tingkah.Rambutnya sedikit turun ke wajah menutupi bagian pelipis dan sebelah matanya.
"Sayang,singkirkan rambut mu,ia menghalangi pemandangan yang sangat indah tadi".
"Seperti ini?" Nadira menyelipkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya tadi ke daun telinganya.
"Nah,iya...seperti itu sayang".
"Apaan sih Mas,kamu seperti orang yang pacaran jarak jauh saja".
"Aku rindu sayang"
"Hah? Masih pagi Mas,dan tadi aku sendiri yang mengantarmu keluar pintu".
Tapi Devan langsung cemberut,merasa Nadira tidak memahami perasaannya.Ia mematikan sambungan telpon itu,memasukkan ponselnya kembali ke saku.
"Dia,membuatku marah.Harus aku hukum.Dia pikir salahku yang tiba-tiba rindu begini?".
Devan melangkah keluar,melirik sebentar ke jam yang melingkar di pergelangan tangannya.Masih ada waktu enam jam untuk menghukum Nadira.
*
*
*
~Salam hangat dari Penulis 🤍