Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 24
Lorong servis itu gelap dan sempit.
James memegang dinding, menyusuri jalur kecil yang dulu hanya dipakai teknisi.
Ia bergerak perlahan, tubuhnya menegangkan setiap kali papan kayu berderit.
Saat ia mencapai ujung lorong lantai dua,
ia melihat sesuatu yang membuat napasnya berhenti.
Pintu kecil — langsung terhubung ke belakang kamar Hana.
Pintu yang sama yang Hana gunakan untuk melarikan diri.
James meraba gagangnya.
Sedikit hangat…
seperti seseorang baru saja menyentuhnya.
“Hana…
kau ke sini.”
Dadanya terasa menghimpit.
James ingin masuk, tapi suara sesuatu di lantai tiga menarik perhatiannya.
Suara langkah cepat.
Beberapa orang.
Dan satu suara yang sangat familiar:
“Cek seluruh perimeter. Ada kemungkinan penyusup.”
—Soni.
James memejamkan mata.
“Ayah menyadari aku ada di sini…”
Ia menelan amarahnya.
Namun saat ia merunduk… matanya menangkap sesuatu di lantai dekat pintu.
Sebuah bros kecil berkilau.
Bros putih berbentuk bunga.
Bros yang selalu dipakai…
Melena, ibunya.
James membeku.
“Kenapa… bros ibu ada di sini…?”
Ia memungut bros itu.
Tangannya gemetar.
Di bagian belakang bros, James melihat ukiran.
“For M. — From A.”
A?
Siapa ‘A’?
Ayahnya bukan inisial A.
Soni adalah “S”.
James merasakan detak jantungnya berhamburan.
Ia mengusap bagian belakang bros lebih keras.
Huruf ukirannya jelas:
A — nama pria lain.
Otak James berputar cepat.
Potongan puzzle masa lalu mulai jatuh:
• ibunya sering pergi malam-malam
• perselisihan kecil dengan ayahnya
• James tumbuh tidak mirip Soni
• komentar keluarga: “Wajahmu kok beda ya?”
Dan yang paling menghancurkan:
Soni tidak pernah memanggilnya “anak”, selalu “James”.
James seperti ditampar kenyataan.
“Aku bukan…
anaknya?”
Ia memegang dinding, napasnya pecah.
Jika itu benar—
Maka semua tindakan Soni selama ini—
• dingin
• keras
• kasar
• menjauh
• memaksa
• memenjarakan Hana
—bukan hanya kontrol…
Tetapi juga karena Soni tidak pernah melihat James sebagai darah dagingnya.
“Jadi…
ini alasan dia begitu mudah…
ingin menghapusku dari hidupnya…?”
James menutup wajah dengan tangannya.
Air matanya jatuh satu per satu.
Bukan air mata sedih.
Bukan air mata takut.
Air mata seseorang yang baru saja kehilangan bagian identitas yang ia yakini sepanjang hidupnya.
“…Ibu…”
Ia menggenggam bros itu kuat-kuat.
“Kenapa…
kau tidak pernah bilang…?”
Bahu James bergetar.
Namun suara berderak dari koridor membuatnya membuka mata.
Tidak boleh hancur sekarang.
Tidak di sini.
Ia menyeka air mata, wajahnya berubah dari guncang…
menjadi ketajaman.
“Aku harus selamatkan Hana.”
Dan untuk pertama kalinya—
James tidak lagi takut pada Soni.
Karena kini ia tahu:
Soni bukan ayahnya.
DI LANTAI BAWAH.
Soni berjalan cepat melewati lorong panjang, wajahnya dingin namun matanya gelap.
“Dua penjaga ke sisi timur.
Satu ke belakang.
Perkuat kamera lantai dua.”
Penjaga berlari.
Soni berhenti.
Ia memandang jendela besar yang menunjukkan taman hujan di luar.
“James…
jika kau memang masuk malam ini…”
Ia tersenyum tipis.
“…maka kau ingin mati.”
Namun sebelum ia pergi, salah satu penjaga berkata:
“Tuan… kami menemukan sesuatu.”
Soni menoleh.
Penjaga itu menunjukkan foto dari kamera lama yang rusak—
menampilkan tangga servis lantai tiga sedikit bergerak, seperti seseorang lewat sana.
Soni menatap foto itu lama.
Ia berbisik…
“Hana…
kau membuka pintu itu untuk siapa?”
Ia menatap ke tangga menuju lantai dua.
Dan ia tahu jawabannya.
DI LUAR TERMINAL: RAINA & NATHAN
Hujan turun lebih deras.
Lampu terminal memantulkan cahaya kuning samar.
Raina berdiri memeluk tasnya, gemetar kedinginan dan ketakutan.
Motor hitam berhenti di depannya.
Seorang pria turun—
rambut gelap, tubuh tinggi, jaket kulit, tatapan tajam.
Nathan.
Ia melempar helm kepada Raina.
“Pakai. Kita tidak punya waktu.”
Raina menatapnya dengan mata merah.
“Nathan… James sedang masuk ke mansion… dan Soni—”
“Aku sudah membaca kasus keluarganya dari dulu.”
Nathan membuka tasnya dan menunjukkan file tebal.
“Melena tidak hanya berselingkuh.
Ada dua pria yang diduga dekat dengannya—salah satunya berinisial A.”
Raina terkejut.
“Awalnya aku pikir itu gosip.
Tapi sekarang…
itu bisa menjelaskan kenapa Soni begitu membenci James.”
Raina menutup mulutnya, ngeri.
“Nathan…
kalau James bukan anaknya…”
Nathan menatap kosong ke kejauhan.
“Maka Soni tidak punya alasan untuk menyelamatkan dia.
Hanya alasan untuk menghapusnya.”
Raina menangis pelan.
“James… James tidak tahu…”
Nathan melihat jamnya.
“Kita terlambat kalau hanya berdiri.
Kita harus ke mansion.
Sekarang.”
Raina mengangguk, naik ke motor, memeluk tas.
Nathan menyalakan mesin.
Suara motor mengaum tajam.
“Bertahanlah, James…”
Mereka melesat ke malam.
James mendekati pintu kecil di belakang kamar Hana.
Ia menempelkan telinganya.
Dari dalam…
suara tangis pelan terdengar.
James mengepal tangan.
“Hana… aku datang.”
Ia mengangkat gagang pintu perlahan…
Pintu servis kecil itu terbuka…
pelan…
seperti napas pertama setelah lama tenggelam.
James menahan napas ketika cahaya redup kamar Hana masuk dari celah pintu itu.
Udara kamar lembap, sepi, dan membawa aroma samar lavender yang pernah Hana sukai.
Ia masuk perlahan, menutup pintu servis tanpa suara.
Kamar itu gelap—
hanya lampu meja kecil di sudut yang menyala.
Dan di tengah lantai…
Dengan punggung menempel pada ranjang…
dengan wajah tertutup kedua tangan…
Hana menangis.
Tubuhnya gemetar.
Bahunya naik turun cepat.
Suara sesenggukan kecilnya memecah keheningan malam.
James membeku.
Jantungnya seperti tercabik.
“Hana…”
bisiknya sangat pelan.
Hana terlonjak.
Ia menatap ke arah suara itu—
dan saat melihat siluet James berdiri di sana…
Wajahnya langsung pucat.
“James…?”
suara Hana serak, hampir tidak keluar.
Ia mundur sedikit, seperti tidak percaya matanya sendiri.
James mengambil langkah perlahan ke arahnya.
“Hana… ini aku.”
Hana menegakkan tubuh, memegang pinggiran ranjang dengan kedua tangan agar tidak roboh.
“Kenapa… kenapa kau datang…?”
Air matanya mengalir deras lagi.
“James… kau tidak boleh masuk ke sini… kau tidak boleh…”
James mendekat, lututnya turun ke lantai agar ia sejajar dengan Hana.
“Hana… aku harus datang.”
Suaranya pecah di ujung.
“Aku dengar kau menangis…”
Hana menutupi wajahnya lagi.
“Tidak… ini salah…
Soni… dia bilang… dia bilang kalau kau datang—”
“Dia tidak akan menyentuhmu lagi,”
James memotong dengan tegas.
Hana menggeleng cepat.
Tidak setuju.
Takut.
“Tidak!
James… kau tidak tahu… dia sudah tahu semuanya… dia tahu aku kabur… dia tahu kau akan datang… dia—”
James memegang kedua bahu Hana, lembut tapi kuat, membuatnya fokus padanya.
“Hana… dengar aku.”
James menunduk sedikit, agar matanya sejajar dengan mata Hana yang basah.
“Aku di sini.
Aku tidak akan pergi.”
Air mata Hana jatuh lebih deras.
“Kenapa… kenapa kau begitu bodoh…”
suara Hana pecah,
“…padahal aku sudah memohon… aku sudah bilang kau jangan datang…”
James menghela napas gemetar.
“Hana… bagaimana mungkin aku terus hidup… kalau aku tahu kau disakiti begini dan aku diam saja?”
Hana menutup mulut, suara isaknya pecah menyayat, tubuhnya bergetar hebat.
James tidak bisa menahan diri—
ia mendekat dan merangkulnya pelan.
Tidak kuat.
Tidak memaksa.
Hanya memeluk seseorang yang sudah terlalu lama sendirian.
Hana membeku di pelukan itu.
Matanya membesar.
Lalu ia jatuh dalam pelukan itu—
tangisnya pecah lebih keras, seperti semua beban yang ia tahan akhirnya runtuh.
“Maaf… maaf… maaf…”
Hana terus mengulang kata itu sambil mencengkeram baju James.
“Maaf aku tidak bisa kabur… maaf aku tidak bisa lindungi diriku… maaf aku—”
“Berhenti.”
James menempelkan dahi ke dahi Hana.
“Nanti aku yang minta maaf… bukan kau.”
Hana terisak pelan, suara kecil.
“James… kalau dia menemukanmu… dia akan—”
James melepaskan pelukan, menatap Hana dalam-dalam.
“Aku lebih takut kehilangan kau… daripada takut pada dia.”
Hana terdiam.
Mata mereka bertemu.
Untuk beberapa detik, dunia seakan berhenti.
Namun saat James ingin bicara lagi—
BRAK!
Suara keras dari koridor.
Langkah-langkah cepat.
Hana memucat.
“James…
dia sudah dekat…”
James langsung memegang tangan Hana.
“Aku tidak akan tinggalkan kau lagi.”
Hana menelan napas, tubuhnya gemetar.
“James… dia datang…”
GEDUBRAK!
Pintu kamar Hana bergetar keras—
seperti seseorang menghantamnya dari luar.
Suara suara penjaga terdengar:
“Tuan! Kami mendengar sesuatu dari dalam!”
James berdiri cepat, tubuhnya berubah tegang seperti kawat baja.
Hana menarik tangannya, memohon dengan suara pecah:
“James… tolong sembunyi… dia akan bunuhmu… tolong… sembunyi dulu… James…!!”
Namun sudah terlambat.
Dari balik pintu, terdengar suara dalam dan dingin—
“Buka pintunya.”
—Soni.
Hana langsung memeluk James lagi, tubuhnya ketakutan.
Soni berkata satu kalimat lagi, membuat darah Hana berhenti mengalir.
“Dia sudah di dalam, kan?”
James menggenggam tangan Hana lebih erat.
“Hana… aku tidak akan pergi.”
Pintu terkunci itu bergetar lagi—
kali ini lebih keras.
BRUTAAKK!
22-11-2025
By : Elaraa21