Amelia ,seorang janda yang diceraikan dan diusir oleh suaminya tanpa di beri uang sepeserpun kecuali hanya baju yang menempel di badan ,saat di usir dari rumah keadaan hujan ,sehingga anaknya yang masih berusia 3 tahun demam tinggi ,Reva merasa bingung karena dia tidak punya saudara atau teman yang bisa diminta tolong karena dia sebatang kara dikota itu ,hingga datang seorang pria yang bernama Devan Dirgantara datang akan memberikan pengobatan untuk anaknya ,dan kebetulan dia dari apotik membawa parasetamol ,dan obat itu akan di berikan pada Reva ,dengan syarat ,dia harus mau menikah dengannya hari itu juga ,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fakta sebenarnya tentang Bayu
Malam ini, Di ruang keluarga, lampu temaram menyala, memantulkan bayangan hangat di dinding . Amelia memutuskan untuk berterus terang pada Devan dan ibu tentang Bayu yang selama ini belum ia ceritakan pada siapapun termasuk mantan suami dan juga mantan mertuanya .saat ini ia duduk di sofa empuk, dengan memeluk cangkir teh jahe hangat yang disiapkan Mbok Sri tadi. Di sebelahnya, Devan duduk santai, kakinya disilangkan, matanya sesekali menatap Amelia dengan lembut—seperti selalu.
Bayu sudah tertidur pulas di kamarnya sejak tadi, lelah setelah seharian bermain di taman. Tapi Amelia belum bisa tidur. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang selama ini ia pendam, bahkan dari Devan.
Ia menatap cangkirnya, jemarinya mengusap pinggiran cangkir pelan-pelan, seolah mencari keberanian.
“Mas Devan…” suaranya pelan, nyaris tersapu suara hujan.Dia merasa ragu untuk bercerita pada Devan ,tapi ia tidak mau menyimpannya terlalu lama
Devan langsung menoleh. “Ya?” jawabnya singkat dan mengarahkan pandangannya kearah Amelia .
Amelia menarik napas dalam,dia berusaha menguatkan hatinya . "Mas ,Bu ...Ada yang… belum pernah aku cerita,pada kalian .”
Devan diam, menunggu. Ia tahu Amelia bukan tipe yang mudah membuka diri. Jadi ketika ia mulai bicara, itu berarti ia benar-benar percaya.
Ibunya Devan , yang sedang duduk di kursi rotan sambil merajut selendang, juga menghentikan tangannya. Ia menatap Amelia dengan penuh perhatian, matanya hangat tapi waspada—seolah tahu bahwa malam ini bukan malam biasa.
Amelia menunduk. “ M..mm..Sebenarnya Bayu… bukan anak kandungku.”
Hening.
Devan dan ibunya terkejut ,mereka berdua saling pandang ,kemudian ia mengalihkan pandangannya kearah Amelia dan menuntut penjelasan .
"Terus ...kalau dia bukan anak kandungmu ,terus anak siapa ?"tanya Devan dan ibunya bersamaan.
“Dia anak kakakku,” lanjut Amelia, suaranya mulai bergetar. “Kakak perempuanku, Lina. Dan suaminya, Andi.”
Ia menelan ludah, seolah menelan kenangan yang pahit.
“Waktu itu… mereka mau kondangan ke rumah sepupuku di luar kota. Naik bis malam. Aku nggak ikut karena lagi sibuk mau ujian . Tapi Bayu—waktu itu umurnya baru dua bulan—sedang demam. Jadi Lina titip Bayu sama aku di rumahku semalam.”
Amelia berhenti sejenak. Matanya berkaca-kaca.
“Tengah malam… ada telepon. Bis mereka kecelakaan. Tabrakan frontal. Semua penumpang… nggak ada yang selamat.”
Suara hujan terdengar lebih keras sekarang. Atau mungkin itu hanya detak jantung Amelia yang berdebar kencang.
“Aku langsung ke rumah sakit. Tapi yang aku lihat cuma kantong mayat… dan wajah kak Lina yang udah nggak utuh lagi.” Suaranya pecah. “Aku pegang tangannya… dingin. Dan aku ingat, waktu terakhir ngobrol sama dia, dia cuma bilang aku titip Bayu ,dan rawatlah seperti anak kandungmu sendiri ."
Air matanya akhirnya jatuh. Devan diam, tapi tangannya perlahan menggenggam tangan Amelia—hangat, kuat, tanpa kata.
“Setelah itu… banyak yang nawarin ngurus Bayu. Bibiknya, Pakdenya, bahkan paman jauh dari kampung. Tapi… aku nggak bisa ninggalin dia. Dia satu-satunya yang tersisa dari kak Lina. Dari keluargaku.”
Amelia mengusap air matanya dengan punggung tangan.
“Waktu itu… aku masih lajang. Tapi orang-orang bilang, ‘Kamu belum punya suami, gimana mau urus anak?’ Jadi… aku terima perjodohan almarhum kakek Rico. Mantan suamiku. Dia bilang mau terima Bayu sebagai anaknya. Tapi ternyata…”
Ia tertawa getir. “Ternyata dia cuma butuh istri yang bisa jaga nama baik,warisan ,dan juga pembantu gratis di keluarganya. Bayu? Cuma beban. Dia bahkan nggak pernah panggil Bayu ‘nak’dan selalu memanggil anak pembawa sial .” ucap Amelia dengan suara gemetar dan air mata yang keluar berlahan .
Devan menggenggam tangannya lebih erat. “Kenapa Kamu nggak pernah cerita ini sebelumnya? .”
“Karena aku takut,” jawab Amelia jujur. “Takut kamu pikir aku… nggak layak jadi istri. Atau takut kamu nggak mau terima Bayu.”
Devan menatapnya, matanya tajam tapi penuh kasih. “Amelia, kamu pikir aku menikah sama kamu karena kamu sempurna? Aku menikah karena kamu kuat. Karena kamu rela mengorbankan hidupmu buat orang yang kamu cintai. Dan itu… itu yang paling mulia.”
Ibunya Devan mendekat, duduk di sebelah Amelia. Tangannya yang keriput mengelus punggung Amelia perlahan.
“Nak,” katanya lembut, “kamu nggak sendirian lagi. Bayu itu cucuku sekarang. Dan kamu… anakku.”
Amelia menatap ibu mertuanya , lalu Devan. Air matanya mengalir lagi—tapi kali ini bukan karena sedih. Karena lega.
“Tapi… kamu yakin,mas ? Bayu bukan darah dagingmu. Dia bahkan nggak punya hubungan sama keluargamu.”
Devan tersenyum. “Darah itu nggak bikin keluarga, Amelia. Cinta yang bikin. Dan aku udah sayang sama Bayu sejak pertama kali dia nyebut aku ‘ABI’—meski waktu itu cuma karena dia pengen aku beliin es krim.”
Amelia tertawa kecil di tengah isakannya.
“Dan kamu?” tanya Devan pelan. “Kamu sayang sama aku… meski aku bukan ayah kandungnya?”
Amelia menatap mata Devan—mata yang selalu tenang, selalu ada, selalu melindungi. “Aku sayang sama kamu… karena kamu nggak pernah membedakan. Kamu perlakukan Bayu seperti anak sendiri. Bahkan… lebih baik dari ayah kandungnya sendiri.”
Devan menarik Amelia pelan ke pelukannya. “Karena dia memang anakku. Secara hati. Secara keluarga. Secara segalanya yang penting.”
Di luar, hujan mulai reda. Bulan muncul dari balik awan, menyinari halaman rumah dengan cahaya keperakan.
Ibunya Devan berdiri perlahan. “Aku mau ke dapur. Bikin susu hangat buat Bayu, siapa tahu dia terbangun.”
Sebelum pergi, ia menoleh, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Nak… sudah jaga cucuku.”
Setelah ibunya Devan pergi, Devan dan Amelia duduk dalam diam yang nyaman. Tidak perlu kata-kata lagi. Semuanya sudah dikatakan.
“Kamu nggak perlu takut kehilangan kami,” bisik Devan. “Kami nggak akan pergi. Aku janji.” Devan memberanikan memeluk Amelia .
Amelia mengangguk, kepalanya bersandar di bahu Devan. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa… utuh. Tidak terpecah antara jadi ibu pengganti dan ibu rumah tangga. Tidak terjebak antara masa lalu yang kelam dan masa depan yang tak pasti.
Karena sekarang, ia punya rumah. Bukan cuma bangunan—tapi orang-orang yang menerimanya apa adanya.
Dan Bayu… Bayu punya Papa yang benar-benar mencintainya.
Malam itu, Amelia tidur lebih tenang dari sebelumnya. Di kamarnya, Bayu bergumam dalam tidur, “Abi… jangan pergi…”
Dan dari luar pintu, Devan berdiri sebentar, memastikan selimut Bayu rapi, lalu berbisik pelan,
“Abi nggak akan pergi, Nak. Janji.”
Lalu ia kembali ke kamar, ke sisi Amelia—istrinya, ibu dari anak yang kini juga anaknya.
Dan di bawah sinar bulan yang lembut, keluarga kecil itu akhirnya utuh—bukan karena darah, tapi karena pilihan. Pilihan untuk saling mencintai, saling menjaga, dan saling tinggal.
malam pertama nya
apakah Devan akan ketagihan dan bucin akut... hanya author yg tau...