Putri Daniella menyukai Pangeran Felix dan ingin menikah dengannya. Tapi kehadiran sopir pribadinya Erik Sebastian merubah segalanya. Pemuda desa itu diam-diam mencintai putri Daniella sejak kecil. Seiring waktu, terungkap jika Erik adalah putra mahkota yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunnyku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merebahkan Kepala di Pangkuannya
Tiba-tiba, matanya terasa berat, tubuhnya lelah setelah berenang dan makan. Tanpa basa-basi, dia merebahkan kepala di pangkuan Erik, membuat pria itu tersentak, jantungnya berdegup kencang.
"Tuan Putri?" batinnya, antara terkejut dan bahagia, tapi dia membiarkan gadis itu terlelap, wajahnya yang damai membuat Erik tak bisa berpaling.
Helaian rambut Daniella yang tertiup angin menutupi wajahnya, dan dengan tangan gemetar, Erik memindahkannya ke samping telinga, jarinya hampir menyentuh pipi gadis itu.
"Ingin rasanya mengelus dan mengecup lembut pipimu, merasakan bibir itu," batin Erik, hatinya penuh kerinduan yang tak terucap.
"Andai aku punya keberanian, melakukannya, tak peduli statusku, memanfaatkan kesempatan saat kamu tertidur, di tengah hutan ini." bisiknya nyaris tak terdengar.
Dia mengelus tangan Daniella pelan, hatinya penuh cinta yang hanya bisa disimpan dalam diam.
"Ini hari paling membahagiakan, bersama kamu," gumamnya dalam hati, matanya tak lepas dari wajah Daniella yang terlelap.
Matahari mulai condong ke barat, langit berwarna oranye lembut saat Daniella membuka mata perlahan.
Dia mendapati senyuman Erik di atasnya, kepalanya masih di pangkuan pria itu.
"Sudah hampir sore ya, lama juga aku tidur rupanya," katanya, bangun dan duduk di samping Erik, wajahnya sedikit memerah karena malu.
"Iya, sudah hampir sore," sahut Erik, suaranya lembut, hatinya masih hangat dari momen tadi.
"Ayo kita petik buah berry," ajak Daniella, memakai sepatunya, mengosongkan keranjang, dan menentengnya dengan semangat.
Erik bangkit, berjalan berdampingan dengannya, menelusuri semak-semak hingga menemukan rumpun gooseberry, mulberry, dan raspberry liar, hijau, kuning, hitam, dan merah, berkilau di bawah matahari senja.
"Banyak banget, sudah matang juga!" seru Daniella sumringah, memetik dan langsung memasukkan beberapa buah ke mulutnya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Erik, tersenyum.
"Enak, manis, gak asem," sebut Daniella, tersenyum lebar, jari-jarinya bernoda merah dari sari buah.
"Kamu bilang mau metik berry untuk Alecia, memangnya dia mau makan berry liar? Kenapa gak beli aja?" tanyanya, nada suaranya setengah menggoda.
"Mau dibikin selai katanya. Mereka dulu punya kebun mulberry, tapi sekarang kebunnya sudah dijual dan dibangun perumahan," jelas Erik, suaranya santai.
Daniella mengerutkan dahi, rasa curiganya muncul lagi.
"Sepertinya kamu tahu banyak tentang Alecia. Meski kamu gak mengakuinya, aku yakin kamu pasti suka kan sama dia?" tanyanya, nada suaranya penuh tebakan.
Erik tertawa pelan, hatinya berdebar-dia tahu ini kesempatan berbahaya.
"Saya cuma menganggapnya teman, karena saya telah jatuh cinta dan menyukai gadis lain, bukan Alecia," ungkapnya, suaranya pelan tapi jujur, matanya menatap Daniella sekilas sebelum kembali ke semak berry.
"Masa sih? Aku penasaran. Maaf kalau kamu merasa aku ikut campur, tapi aku pengen tahu apa aku kenal gadis itu, atau gadis dari desamu?" tanya Daniella, matanya berbinar, rasa ingin tahunya mengalahkan kecurigaan.
"Saya kenal dia di kebun bunga di desa saya, saat gadis itu masih 9 tahun, ketika dia mengejar kupu-kupu," kata Erik, suaranya penuh nostalgia, matanya menerawang ke kenangan itu-Daniella kecil dengan pita di rambut, tawa riangnya yang mencuri hatinya.
"Senyumnya sangat mempesona, dia begitu bahagia. Saya jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Mungkin terdengar lebay, tapi itulah yang saya rasakan saat itu sampai sekarang."
Daniella tersenyum, hatinya tersentuh tanpa tahu bahwa Erik berbicara tentangnya.
"Dia masih tinggal di desa?" tanyanya, memetik raspberry dan memakannya.
"Dia bukan berasal dari desa, tapi tinggal di kota. Saya sudah bertemu dengannya, melihatnya setiap hari. Tapi, saya hanya bisa mencintainya diam-diam. Dia tidak pernah tahu kalau saya suka dan sayang sama dia," ungkap Erik, suaranya penuh kerinduan, hatinya perang antara ingin jujur dan menjaga batas.
"Kenapa kamu gak terus terang, ungkapin perasaanmu? Bisa jadi dia juga suka sama kamu," sebut Daniella, suaranya penuh semangat, tak sadar kata-katanya membuat jantung Erik berdegup kencang.
"Saya tidak berani, saya juga cukup tahu diri untuk tidak lancang menyatakan cinta padanya. Dia tak mungkin bisa saya gapai. Dia terlalu tinggi," jelas Erik, suaranya pelan, matanya menatap ke bawah, penuh kesadaran akan jurang status antara dia dan Daniella.
"Kenapa memangnya? Kamu terlalu pesimis, kenapa gak coba dulu? Siapa tahu dia membalas cintamu," kata Daniella, suaranya penuh dorongan, hatinya terbawa cerita Erik.
"Kami berbeda status, dia itu bangsawan, berdarah biru. Dia juga sudah punya calon suami," jelas Erik, suaranya penuh luka tapi tulus, hatinya berharap Daniella tak mendesak lagi.
"Oh, begitu. Saranku sih kalau dia putri bangsawan dan sudah punya calon suami, mending mundur aja. Gak ada gunanya mengejarnya, itu akan sia-sia," kata Daniella, tertawa cekikikan, tak tahu bahwa dirinya adalah subjek cerita itu.
"Iya. Karena itu saya tahu diri untuk tidak berharap dia membalas cinta saya, apalagi menjalin hubungan sebagai pasangan dan bersatu dengannya. Tapi, saya akan tetap mencintainya," ungkap Erik, suaranya penuh ketulusan.
"Saya akan lakukan apapun untuk membantunya, meski dia tak pernah menganggap kehadiran saya sesuatu yang penting baginya. Saya berharap dia selalu tersenyum bahagia, tidak sedih atau terluka. Itu sudah cukup bagi saya."
Daniella terdiam, hatinya tersentuh oleh kata-kata Erik, tak menyangka pria sederhana ini punya perasaan begitu dalam.
"Gak nyangka sih, ternyata kamu sweet banget. Sabar ya. Aku doain, suatu hari nanti, kamu akan menemukan gadis yang kamu cintai dan kalian bisa bersatu," katanya, tersenyum tulus pada Erik, matanya penuh kehangatan.
"Andai saja Tuan Putri tahu, Putri Daniella lah gadis yang saya cintai, tapi tak mungkin bisa saya miliki," batin Erik, hatinya pahit-manis, tapi senyuman Daniella membuatnya merasa cukup.
Setelah keranjang penuh dengan berry, mereka berjalan kembali ke mobil, langit senja berwarna ungu dan oranye menyapa mereka.
Mobil melaju menuju istana, meninggalkan hutan yang penuh kenangan, dengan Daniella dan Erik sama-sama menyimpan perasaan yang tak terucap, diiringi aroma berry liar dan kehangatan hari itu.
*******