Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KENANGAN VS JANJI
..."Kita tidak kehilangan teman. Kita hanya belajar siapa yang benar-benar ada ketika kita yang paling membutuhkan." (le seo Han)...
...----------------...
Suasana malam Jeju benar-benar kontras setelah kehangatan senja di pantai. Udara dingin yang tajam di luar mobil menandakan pergantian musim dari musim panas yang ceria.
Mobil Jae Hyun perlahan menepi di sebuah warung makan sederhana. Lampu warung itu tampak remang-remang, namun aroma kuah kaldu dan masakan yang harum tercium kuat hingga ke dalam mobil, mengusik perut yang lapar.
"Aku duluan ya," kata Seo Ryeon, membuka pintu mobil sambil membawa tas berisi baju kering dan jaket tebal milik Jae Hyun. "Dingin banget di luar. Jangan lama-lama, Han!"
Seo Ryeon melangkah cepat menuju warung, meninggalkan Seo Han dan Jae Hyun berdua di dalam mobil yang mesinnya sudah dimatikan.
Seo Han mulai melepas baju basahnya. "Dinginnya menusuk tulang," gerutunya.
"Han?" panggil Jae Hyun, suaranya pelan dan serius.
"Hmm, apa?" jawab Seo Han sambil menarik hodir kering dari tasnya.
"Kamu benar suka Kim Seo Ryeon, kan?" tanya Jae Hyun, langsung ke intinya.
Seo Han mendadak berhenti menarik hoodie-nya. Gerakannya terhenti, dan ia memandang Jae Hyun. "Kenapa tanya?"
"Ya, tidak apa-apa. Asal kamu bahagia, aku ikut bahagia. Kalau kamu beneran suka dengan dia, kamu harus dekati dia. Dan jangan jadi pengecut," tekan Jae Hyun, mengulang kata-kata yang sempat ia lontarkan tadi.
Seo Han mendengus. "Hyun, kamu dari tadi ngomong begini terus. Tidak lagi kesambet kan?"
"Tidak lah. Justru karena aku peduli dengan kamu, Han," jawab Jae Hyun, pandangannya tidak berkedip. Ia mendekat, tangannya memegang lengan Seo Han. "Lihat mata aku. Aku serius. Waktu itu adalah barang paling mahal yang kamu punya sekarang. Jangan buang-buang itu cuma karena kamu takut sama masa depan."
"Aku butuh ganti celana, Hyun," kata Seo Han, berusaha mengakhiri perdebatan, suaranya serak. "Kamu keluar dulu. Jangan sampai Seo Ryeon kelamaan sendirian."
Jae Hyun menghela napas, menyadari ia sudah terlalu menekan. Ia tahu Seo Han butuh waktu.
"Oke," kata Jae Hyun pelan. Ia membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Sebelum menutup pintu, ia menoleh kembali ke Seo Han. "Aku tidak akan berhenti sampai kamu sadar. Hidup itu tentang kenangan, bukan janji jangka panjang."
Jae Hyun berjalan cepat menuju warung, meninggalkan Seo Han sendirian di dalam mobil yang gelap.
Di dalam mobil, Seo Han menekan dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan. Ia mengganti celananya dengan tergesa-gesa. Perkataan Jae Hyun terasa seperti alarm keras di kepalanya, menggema di ruang sempit mobil.
Apakah aku benar-benar seegois itu?
Setelah selesai, Seo Han menghela napas pasrah, mengunci mobil, dan bergegas menyusul kedua sahabatnya. Ia harus tersenyum. Ia tidak ingin Seo Ryeon melihat betapa kacaunya pikirannya saat ini.
Seo Han mendorong pintu warung makan sederhana itu. Bel kecil di atas pintu berdentang nyaring, mengalihkan perhatian beberapa pelanggan. Ia memaksakan senyum yang lebar di wajahnya, mengusir bayangan perdebatan sengit dengan Jae Hyun barusan.
Di salah satu meja kayu, Seo Ryeon dan Jae Hyun sudah menunggunya. Cahaya remang-remang warung membuat wajah Seo Ryeon tampak merona hangat.
"Maaf lama," kata Seo Han, melangkah cepat dan langsung duduk di bangku sebelah Seo Ryeon. Ia menyentuh punggung tangan Seo Ryeon sekilas, menyalurkan kehangatan.
"Iya, lama banget, kamu ganti baju atau mandi sih?" canda Seo Ryeon, memukul pelan lengan Seo Han.
Seo Han tertawa ringan, tawa yang sedikit dipaksakan. "Ah, tidak juga lah, lebay amat!" Ia melirik Jae Hyun sekilas. Raut wajah Jae Hyun tenang, tapi matanya tetap tajam, mengawasi setiap gerak-gerik Seo Han.
"Sudah, mari makan habis itu kita pulang," potong Jae Hyun, suaranya kembali normal, seolah ia adalah kakak yang bertanggung jawab. Ia menggeser piring-piring kecil berisi banchan (lauk pendamping) ke tengah meja.
"Makan apa hari ini?" tanya Seo Han, berusaha keras mempertahankan nada ceria.
Jae Hyun memanggil pelayan. "Ajumma, tolong samgyeopsal (daging babi panggang), Udon satu porsi tambahan, dan Tteokbokki yang tidak terlalu manis, serta minta kimchi!"
Seorang pelayan segera mencatatnya. "Baik, ditunggu ya."
Keheningan melanda meja mereka, namun bukan keheningan canggung, melainkan kehangatan yang tercipta dari kebersamaan. Seo Han dan Seo Ryeon saling pandang sejenak, mata Seo Han memancarkan rasa syukur yang mendalam. Ia menyentuh lembut punggung tangan Seo Ryeon yang berada di meja, sebuah tindakan spontan yang segera ia tarik kembali.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang: daging samgyeopsal mentah, udon kuah, tteokbokki, dan semangkuk besar kimchi.
Mereka segera menyalakan kompor dan meletakkan daging tipis di atas pemanggang di tengah meja. Aroma gurih dari daging yang mulai terpanggang langsung memenuhi udara, membuat perut semakin keroncongan.
"Serius kita makan ini, Hyun? Bukannya ini mahal?" tanya Seo Ryeon, terlihat sungkan.
"Iya, Hyun, kamu banyak duit?" timpal Seo Han, nada bercandanya terdengar sedikit ragu.
"Sudah, makan saja," kata Jae Hyun, membalik daging di atas pemanggang. "Anggap saja ini pesta perpisahan musim panas. Aku traktir. Kalian sudah bikin aku tenang hari ini."
Seo Han dan Seo Ryeon saling pandang, tersenyum lega. Keprihatinan mereka sirna, digantikan oleh aroma daging panggang yang menggugah selera.
Seo Han mengambil sumpit, siap membalikkan potongan daging yang sudah kecokelatan. "Aku yang panggang, ya. Aku ahli membakar, baik itu daging maupun..." Ia berhenti sejenak, melirik Seo Ryeon, lalu melanjutkan dengan senyum yang dipaksakan, "...hati orang."
"Yaa! Seo Han!" Seo Ryeon memukul pelan bahunya, wajahnya merona. "Jangan aneh-aneh!"
Jae Hyun hanya menggelengkan kepala, namun matanya memancarkan kesedihan. Ia tahu bahwa 'hati orang' yang dimaksud Seo Han adalah hati Seo Ryeon, dan rasa takutnya sendiri.
Mereka pun mulai menikmati hidangan malam itu. Seo Han dengan cekatan memotong daging dan membagikannya ke piring Seo Ryeon dan Jae Hyun.
"Ryeon, kamu harus coba tteokbokki ini. Pedasnya pas," kata Seo Han, menyuapkan sepotong kue beras ke piring Seo Ryeon.
"Enak banget!" kata Seo Ryeon, matanya berbinar. "Pasti lebih enak karena kamu yang kasih."
Komentar polos itu menghangatkan hati Seo Han, sekaligus membuatnya semakin merasa bersalah. Ia berusaha mengenyahkan pikiran itu dan hanya fokus pada tawa dan kebahagiaan Seo Ryeon malam itu. Dia akan menciptakan kenangan yang indah, seperti yang disarankan Jae Hyun, meskipun ia tahu janji ini tanpa masa depan.
Setelah makan dan membayar, mereka pulang.
Perjalanan pulang menuju Gimnyeong-ri terasa tenang. Mesin mobil Jae Hyun menderu pelan, menjadi satu-satunya suara selain deburan ombak yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan.
Di kursi belakang, Seo Han dan Seo Ryeon benar-benar tertidur pulas. Kepala Seo Ryeon bersandar lembut di bahu Seo Han, sementara Seo Han sendiri menyenderkan kepalanya ke jendela. Keduanya tampak damai, seolah semua beban yang mereka rasakan menguap bersama angin pantai.
Jae Hyun melirik spion sesekali. Pemandangan itu, dua orang yang paling ia sayangi di dunia sedang beristirahat dengan tenang, memberinya kehangatan sekaligus kepahitan.
"Aku akan memastikan janjiku pada ayahmu akan terwujud terus, Han," bisiknya dalam hati, pandangannya tertuju pada pantulan wajah Seo Han yang terlelap. Janjinya bukan hanya tentang menjaga Seo Han, tetapi juga memastikan Seo Han merasakan kebahagiaan tulus sebanyak mungkin, sebelum... sebelum waktu memisahkan mereka.
Ia tahu, kalimatnya di mobil tadi – tentang hidup yang singkat dan tidak menunda perasaan – adalah sebuah penekanan. Ia ingin Seo Han menyadari bahwa perasaannya pada Seo Ryeon lebih dari sekadar persahabatan, dan bahwa ia harus mengungkapkannya.
Setidaknya, ada satu hal yang telah ia tepati: Seo Han tertawa hari ini.