Selir Alam Gaib

Hari ini Liora datang ke kampus tanpa semangat sedikit pun. Hidupnya tak lagi bebas. Setiap bisikan hatinya kini bukan lagi rahasia, karena Raja Azrakel, penguasa Azzarkh, bisa mendengar segalanya.

Seperti semalam, saat Liora hanya berbaring di Paviliun Yasha dan mengeluh dalam hati tentang hidupnya yang berat, suara Raja tiba-tiba muncul di kepalanya, menjawab pikirannya.

Itu gila. Menyebalkan. Dan membuat Liora merasa kehilangan ruang pribadi.

Ia menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, frustrasi.

Semua terasa di luar nalar, tapi nyata. Dunia yang dulu sederhana kini berubah jadi campuran antara kehidupan manusia dan bayangan dunia bawah.

“Liora!”

Dinda memanggilnya ceria begitu melihatnya di koridor kampus. Senyumnya sehangat matahari pagi.

“Kamu tau nggak? Pelaku pembunuhan mahasiswi itu akhirnya ditangkap! Katanya mereka bakal dihukum seumur hidup.”

Liora hanya tersenyum tipis.

“Seneng banget kamu, Din.”

“Ya iyalah. Akhirnya gadis itu dapet keadilan.”

Mereka berjalan beriringan ke kelas, tapi konsentrasi Liora kacau. Suara Raja Azrakel terus berbicara dalam pikirannya, menanyakan apakah dia baik-baik saja, mengingatkannya agar tidak membiarkan “manusia lemah” mengganggunya.

Liora sampai hampir menabrak pintu ruang kuliah sebelum akhirnya berbisik dalam hati: “Tolong diam sebentar, Yang Mulia. Aku mau belajar.”

Ajaibnya, suara itu lenyap. Sunyi kembali menyelimuti pikirannya.

Setelah jam kuliah usai, Dinda menepuk bahunya.

“Lio, ke kantin yuk. Aku laper banget.”

Mereka pun menuju kantin kampus. Tempat itu ramai seperti biasa, penuh tawa dan aroma mie goreng dari dapur belakang. Namun suasana itu mendadak berubah ketika suara lantang seseorang memecah udara.

“Eh, kalian tau nggak? Ada mahasiswi di kampus ini yang udah nikah!” seru Selena, mahasiswi jurusan sastra yang juga... saudari tirinya Liora.

Selena duduk manis di meja tengah, dikelilingi teman-temannya. Ucapannya jelas dibuat untuk menarik perhatian.

“Serius? Siapa?” tanya seorang teman dengan nada penasaran.

Selena menatap Liora dari jauh, bibirnya menyeringai licik.

“Aku kasih bocoran deh… dia nikahnya bukan sama manusia.”

Beberapa mahasiswa langsung tertawa.

“Terus nikah sama siapa? Alien?”

Selena menggeleng pelan.

“Bukan. Sama hantu.”

Tawa langsung pecah. Beberapa menatap ke arah Liora.

Selena melanjutkan, “Dia ada di sini loh. Lagi makan bakso di pojokan.”

Seketika seluruh pandangan tertuju pada Liora.

Dinda berhenti mengunyah, memandang Selena tajam.

“Selena, jangan ngelantur deh. Kalau mau bikin gosip, bikin yang logis.”

“Tanya aja langsung sama Liora,” balas Selena dengan nada manis penuh racun.

“Kalian pasti nggak nyangka siapa suaminya, kan?”

Liora hanya diam, berusaha menahan diri agar tidak membalas. Kalau dia meladeni, rumor itu akan makin liar. Tapi diam pun membuat semua orang curiga.

“Non Liora!” suara Bu Narti, penjaga kantin, tiba-tiba memotong suasana.

“Tadi Pak Somad nitip pesan. Katanya pacarnya Non Liora suruh nungguin aja, nanti dia jemput.”

Kantin mendadak senyap. Semua menatap Liora lagi.

Raja Azrakel yang berada di Azzarkh rupanya mendengar semua itu. Suara beratnya langsung terdengar di kepala Liora.

"Berani sekali mereka bilang kau adalah istri dari hantu!" Ujar Azrakel dengan nada geram.

Dinda tersenyum, mencoba menenangkan suasana.

“Tuh kan, Lio punya pacar. Nggak ada nikah sama hantu segala.”

Beberapa mahasiswa mulai menyoraki Selena balik, menuduhnya berbohong.

Namun wajah Selena justru memerah karena marah. Ia bangkit dan berjalan mendekati Liora.

“Pacaran sama siapa kamu?” suaranya tajam.

Liora menatapnya datar. “Bukan urusan kamu, Sel.”

“Berani banget kamu sama aku. Aku laporin ke Ayah!”

“Silakan.”

Selena memelototinya sebelum akhirnya berbalik pergi. Tapi sebelum melangkah jauh, ia menatap Liora dengan senyum penuh dendam. Dalam hatinya, Selena bersumpah akan membongkar “pernikahan gaib” Liora suatu hari nanti.

Dinda mendecak. “Tuh anak emang sableng.”

“Udah, biarin aja. Aku capek ribut,” jawab Liora pelan.

Hari itu berlanjut tanpa semangat. Setiap mata terasa menatapnya diam-diam.

Menjelang sore, kuliah selesai. Dinda dan Liora keluar bersama.

Begitu tiba di depan kampus, seseorang berdiri menunggu di bawah pohon flamboyan, tinggi, berjas hitam, memakai topeng perak yang menutupi separuh wajah.

“Sudah selesai?” suaranya dalam, seperti gema.

Dinda menatap pria itu, lalu menatap Liora.

“Dia siapa, Lio? Pacar kamu ya?”

Liora terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.

“Iya, Din.”

Dinda mengerutkan kening. “Kamu… beneran pacaran sama dia? Kok kamu nggak pernah cerita? Aku sahabat kamu loh.”

“Maaf, Din. Aku mau cerita, tapi belum sempat.”

Nada suaranya lembut, tulus. Dinda akhirnya menghela napas dan tersenyum.

“Tapi… dia kok pake topeng?”

“Oh, dia mau ke acara pesta temennya. Temanya topeng.” Bohong Liora cepat-cepat.

Dinda mengangguk polos. “Ohh gitu. Ya udah, hati-hati ya Lio.”

Begitu Dinda pergi, waktu tiba-tiba berhenti. Angin berhenti berhembus, daun flamboyan menggantung di udara.

Raja Azrakel mendekat, jemarinya melingkari pinggang Liora, lalu dalam sekejap mereka berdua menghilang dari dunia manusia.

Saat sadar, Liora sudah kembali di Azzarkh, istana bawah yang dingin dan berlapis kabut ungu.

Ia menatap Raja Azrakel yang berdiri di hadapannya, topeng peraknya memantulkan cahaya redup obor di dinding batu.

“Kenapa kamu datang ke kampus? Kamu tahu orang-orang di sana bisa lihat kamu?” tanya Liora kesal.

Raja menatapnya tajam. “Aku tidak akan diam ketika manusia itu berani menistamu. Kau adalah Selirku. Tidak ada yang boleh menyentuh kehormatanmu.”

“Selirmu, ya? Tapi aku juga manusia, aku punya kehidupan di atas. Kamu tidak bisa selalu muncul sesukamu.”

Raja diam beberapa detik sebelum mendekat. Suara beratnya menurun jadi lembut.

“Aku hanya ingin melindungimu, Liora.”

Kalimat itu membuat dada Liora bergetar aneh.

Ia membuang pandangan, tidak ingin menatap mata merah tua di balik topeng itu.

Kenapa suaranya terdengar tulus seperti itu… pikirnya dalam hati.

Namun ia lupa, Raja masih bisa mendengar isi hatinya.

Azrakel tersenyum samar di balik topeng, nyaris tak terlihat.

Di ruangan itu, Nyonya Veyra, pengurus istana Azzarkh, sedang membereskan meja kerja Raja.

Ketika ia melihat sang Raja tersenyum, ia tertegun. Sudah lama sekali ia tak melihat raut itu.

“Menyenangkan melihat Anda tersenyum lagi, Yang Mulia,” ucapnya pelan.

Raja tidak menjawab, hanya menatap ke arah Paviliun Yasha, tempat Liora kini beristirahat.

Malam itu, di kamar yang diterangi cahaya biru dari lentera roh, Liora berbaring memandangi langit-langit batu.

Hidupnya di dua dunia terasa semakin rumit: satu penuh cahaya dan kebisingan kampus, satu lagi gelap dan misterius di bawah kekuasaan Raja.

Ia menutup mata, membiarkan pikirannya tenggelam.

Suara Raja kembali terdengar lembut di kepalanya:

“Tidurlah, Liora. Tak ada yang akan mengganggumu malam ini.”