Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan dan Dua Jiwa Kesepian
Pemandian batu itu dikelilingi tirai tipis dan uap yang mengepul lembut dari permukaan air hangat. Bak mandi di kamarnya tidak dipindahkan atau dikeluarkan dari kamarnya, tetapi dia hanya tidak mau merepotkan para pelayan jadi dia pergi ke pemandian wanita.
Wen Yuer duduk setengah tenggelam, rambutnya yang panjang menempel di bahu basahnya, sebagian sudah diangkat dan disanggul ke atas dengan tusuk perak sederhana. Mata Yuer terpejam, mencoba menenangkan pikirannya tapi ternyata sulit untuk tidak memikirkannya.
Yuer tidak bodoh untuk tidak menyadari mengapa tiba-tiba Han Lin dikirim untuk pergi lagi, Qi Zeyan pasti mengetahui mereka berencana pergi ke kota. Tidak penting dari mana atau melalui siapa Zeyan mengetahuinya tetapi yang jelas pria itu memiliki suatu obsesi kepemilikan.
Setiap dia menyebut Han Lin di hadapan Yuer, nadanya terdengar berbeda. Belum lagi kalimat kepemilikan yang mengikuti setelahnya.
Tentu itu bukan karena pria itu menyimpan perasaan untuknya, melainkan sesuatu tentang hak milik dan keengganan untuk berbagi sesuatu yang menjadi miliknya. Tetapi, Yuer bukan miliknya. Dia bukan sesuatu yang bisa Zeyan klaim paksa hanya karena dia dikirim untuknya, dan seharusnya Yuer marah tetapi ia selalu menemukan dirinya tidak berkutik di hadapan Zeyan.
Langkah kaki pelan terdengar dari balik tirai. Lembut namun tegas. Dan ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Hawa ruangan langsung berubah. Hangat uap pemandian perlahan digantikan dengan dinginnya kehadiran pria itu.
"Wen Yuer."
Suara itu berat dan rendah, bernada malas seperti biasa, tapi dengan ketajaman sarkasme yang tak berusaha disembunyikan.
"Kau terlihat muram. Apakah karena Han Lin pergi? Kau sudah mulai merindukannya?"
Yuer membuka mata pelan. Tatapannya tenang namun penuh peringatan. Ia menoleh sedikit, cukup untuk melihat sosok Qi Zeyan berdiri di tepi kolam, mengenakan jubah hitam panjang, ujung rambutnya basah oleh kabut dingin, namun wajahnya seperti dipahat dengan sempurna.
"Kenapa kau berpikir hubungan kami sedalam itu sampai-sampai perlu kau campuri?" tanyanya datar. "Han Lin hanya seorang teman."
Zeyan tidak menjawab langsung. Ia malah perlahan berjongkok di tepi kolam, satu tangannya menggantung di lutut, satu lagi ia ulurkan santai, menurunkan jari-jarinya ke permukaan air. Ia mencelupkan tangannya, menggenggam air, lalu menumpahkannya perlahan ke atas bahu Yuer.
Air hangat itu menetes menuruni leher dan tulang selangka Yuer.
Tapi yang membuat tubuhnya menegang bukan suhu airnya, melainkan ketenangan Zeyan saat melakukan itu.
"Kau tak perlu memikirkan kenapa aku melakukannya. Alasannya sederhana. Karena kau milikku."
Dada Yuer berdenyut. Bukan karena makna kata-kata itu, tapi karena betapa dingin dan santainya Zeyan menyatakannya. Seolah ia bukan seseorang yang punya kehendak bebas, melainkan sekadar sesuatu. Miliknya.
Yuer menatapnya tajam, "Apa kau menyukaiku?" Suaranya lirih, tapi tegas.
Zeyan balas menatapnya. Wajahnya tidak berubah. Tetapi di balik sorot matanya, ada badai yang tidak ia biarkan keluar. Ia menjawab pelan.
"Menyukaimu atau tidak, itu tidak mengubah fakta kau sebagai milikku. Dan aku tidak akan berbagi."
Ia menyipitkan mata, sedikit menunduk, ekspresinya nyaris seperti senyum, tapi bukan jenis senyum yang hangat. Lebih seperti ejekan yang dibungkus elegansi.
"Dan sebagai milikku, kau juga harus menjaga sikapmu di ruang publik."
Yuer tertawa pelan, getir.
"Jadi ini semua tentang citra publik? Tentang kelangsungan tujuanmu?"
Zeyan tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dalam-dalam, lalu akhirnya berdiri perlahan. Saat bayangan tubuhnya menjauh dari air, dinginnya terasa nyata kembali.
Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sedikit, senyum miring di sudut bibirnya. Bukan karena senang, tetapi karena ia tahu ia telah mengusik ketenangan Yuer, dan itu cukup untuknya.
...
Wen Yuer duduk sendiri di kamarnya. Angin malam menyusup lewat celah jendela, menggerakkan tirai tipis yang menggantung lesu. Tak ada suara selain hujan di luar.
Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut di pangkuan. Luka-luka kecil yang belum sempat diobati terlihat samar di kulitnya, tapi bukan itu yang mengganggunya.
Yang menyakitkan adalah kenyataan bahwa dia masih mengingat sentuhan tangan Qi Zeyan.
Bukan sentuhan penuh kelembutan, Zeyan tak pernah benar-benar lembut, tapi ada sesuatu di baliknya. Sebuah janji? Ancaman? Perlindungan? Ia sendiri tak tahu. Dan yang lebih menyiksa, ia tak bisa berhenti mencari artinya.
Ia tahu Qi Zeyan salah. Ia tahu pria itu memanfaatkan banyak hal, termasuk dirinya. Tapi di antara semua kepalsuan itu, terkadang Yuer melihat sekilas ketulusan. Bukan ketulusan yang polos dan jernih, tapi ketulusan yang bengkok—seperti bilah pedang yang dingin, berbahaya, namun bisa menyelamatkan jika diarahkan pada musuh.
Dan itu cukup untuk membuatnya goyah.
"Aku membencinya," pikirnya. "Aku membenci caranya membuatku memikirkannya."
Tapi ia juga tidak bisa membantah bahwa selama Qi Zeyan ada di sisinya, pria itu selalu merenggut perhatiannya.
Dan dari situlah frustrasi itu datang. Ia tak tahu apakah ia sedang dimenangkan atau dikalahkan perlahan.
...
Hujan turun sejak siang dan tak kunjung reda. Seharian itu Yuer hanya duduk diam di kamar. Tak ada Mingyue. Tak ada Han Lin. Udara di dalam terasa beku, seolah mengikuti kehampaan yang merayap pelan dalam pikirannya. Saat sore menjelang malam, dia berdiri di balik jendela, menatap hujan yang menggores kaca seperti jemari-jemari dingin yang ingin masuk menyentuh kulit.
Lalu suara pintu diketuk, dan seorang pelayan perempuan masuk. Ujung roknya basah oleh hujan.
"Nona, Tuan Qi memanggilmu ke paviliunnya."
Yuer mengerutkan alis. "Malam-malam begini?"
Pelayan itu menunduk sopan. Tak ada penjelasan lebih lanjut. Hanya tatapan gugup di matanya yang membuat Yuer merasa sedikit tidak tenang.
Dia membawa payung saat berjalan di lorong menuju paviliun Zeyan. Namun saat melihat pelayan itu tetap berdiri di bawah hujan, Yuer menariknya masuk ke bawah payung juga meskipun itu berarti sebagian besar tubuhnya sendiri terpapar hujan.
Saat dia akhirnya masuk ke ruangan Zeyan, rambut dan bahunya basah. Ujung gaunnya meneteskan air, dan tangannya sedikit gemetar karena udara dingin.
Zeyan berdiri tak jauh dari meja, menoleh begitu Yuer masuk. Tatapannya menurun sejenak ke rambutnya yang basah, namun tak mengatakan apa-apa. Hanya keheningan sesaat yang terasa lebih berat dari biasanya.
"Kau memanggilku malam-malam begini, hanya untuk melihatku basah kuyup?" tanya Yuer, tidak sepenuhnya serius.
Zeyan tak menjawab. Dia hanya menatap Yuer beberapa detik, lalu dengan gerakan tenang dan tanpa tergesa, mulai membuka simpul atasannya satu per satu. Yuer membeku di tempatnya.
Zeyan melepaskan atasannya sepenuhnya, membiarkannya melorot ke lantai. Tanpa suara, dia berjalan mendekat.
Yuer mundur setengah langkah hingga punggungnya menyentuh dinding, sepasang matanya membulat namun dia tidak mengalihkan pandangan.
Zeyan hanya menyeringai tipis. Dekat. Semakin dekat, lalu tiba-tiba berhenti tepat saat wajahnya hanya tersisa sejengkal dengan wajah Yuer.
Dengan gerakan cepat, dia memberikan sesuatu ke genggaman tangan Yuer. Sebuah wadah kecil. Salep.
"Oleskan itu," katanya dingin, berbalik dan duduk membelakanginya.
Yuer menunduk, menatap salep di tangannya, lalu mengangkat kepala pelan dan membeku melihat Zeyan lebih dulu duduk di sebuah dipan panjang, Yuer menyusul pelan di belakangnya.
Ada luka segar. Sebuah sabetan memanjang di sisi punggung. Namun bukan hanya itu. Ada banyak garis lain. Bekas-bekas luka lama, pudar tetapi cukup jelas. Di lengan kirinya pun terdapat garis panjang yang sudah lama, hampir tak kasat mata jika tak diperhatikan.
Yuer mendekat pelan dan berlutut di belakangnya. Jarinya membuka tutup salep, lalu dengan lembut mulai mengoleskannya ke luka yang baru.
Zeyan tidak bergeming. Tak sekalipun mengeluarkan suara keluhan atau berjengit, bahkan ketika jari Yuer menyentuh luka segar itu secara langsung.
Dalam hati Yuer bertanya-tanya apakah pria itu selalu pulang dengan membawa luka baru? Mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka saat Zeyan terluka di hutan.
Selesai mengoleskan, Yuer tidak langsung beranjak. Ia memperhatikan diam-diam. Tak hanya luka barunya. Tapi semua luka lama yang terlihat. Ada satu di sisi lengan atas bagian belakang, terlihat seperti luka bakar yang sepertinya lukanya sedikit parah hingga meninggalkan bekas seperti itu.
Yuer secara sadar menggerakkan jemarinya, menyentuhnya perlahan. Bukan karena rasa kasihan, tapi karena keterkejutan yang terlalu dalam.
Betapa banyak luka yang harus dimiliki seseorang untuk terlihat setenang itu di permukaan?
Saat jarinya masih menyentuh bekas luka itu, Zeyan menoleh tiba-tiba.
Yuer tak tersipu, atau langsung menarik diri, ia bahkan tak menarik tangannya. Tatapannya tetap tenang.
"Menikmati pemandangan, Yuer?" Tanya Zeyan dengan seringai tipis namun Yuer tak segera membalas.
"Kenapa memanggilku hanya untuk mengoleskan salep?" tanyanya, suaranya pelan, datar tapi lembut.
Zeyan menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Siapa tahu kau bosan diam di kamarmu."
Yuer menghela napas lalu terkekeh kecil. Suara yang keluar dari tenggorokannya hanya helaan napas yang patah, lebih mirip kelelahan daripada tawa.
Lagi-lagi, Zeyan bukan seseorang yang berpikiran sederhana. Yuer sama sekali tidak mengerti tujuan dari semua ini, dan meski logikanya tahu Zeyan hanya memiliki satu tujuan dalam hidupnya dan itu bukan sesuatu tentangnya, tetapi hatinya terus bertanya-tanya makna dari semua ini.
Tangannya berhenti menyusuri luka-luka itu.
Zeyan berdiri, mengambil sesuatu dari sandaran kursi di belakang meja kerjanya. Sebuah jubah.
Dia berjalan kembali ke arah Yuer dan menyampirkannya ke bahunya, pelan.
Yuer mengangkat kepala. Tatapan mereka bertemu.
Dan untuk sepersekian detik, mata Zeyan tak setajam biasanya. Tatapannya tidak dingin. Ada sesuatu yang begitu manusiawi di dalamnya, sesuatu yang lembut.
Tapi itu hanya sesaat. Dalam sekejap tatapannya kembali dingin dan tajam.
Hening sejenak. Di luar, suara hujan semakin deras, membasuh malam dengan iramanya yang konstan. Seharusnya Yuer meninggalkan tempat ini dan kembali ke kamarnya, tetapi ia justru tidak bergerak dari tempatnya duduk, dan Zeyan pun tidak mengusirnya. Ia duduk di seberangnya.
Yuer memandangi pria itu dalam diam. Di ruangan ini, mereka berdua tidak berbicara, tidak saling menatap, tapi tidak satu pun dari mereka memilih untuk mengakhiri momen ini atau mengucapkan sepatah kata pun untuk merusaknya.
Yuer menarik napas perlahan. Mungkin mereka berdua hanya mencari alasan untuk tidak sendirian.
Ia tidak tahu apakah Zeyan juga berpikir begitu. Mungkin tidak. Mungkin iya. Tapi untuk kali ini saja, Yuer tidak ingin tahu jawabannya.
susunan kata nya bagus