Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Topeng yang Terkelupas
Langit senja Jakarta mulai membakar cakrawala dengan warna oranye tembaga, sementara Vanesa duduk lelah di salah satu café kecil yang berada di samping ruko tempat ia sebelumnya mengintai Valentino—atau Gavin. Ia belum punya bukti, tapi nalurinya tajam. Sorot mata itu, aroma tubuhnya, dan dinginnya tatapan—semua mirip Gavin. Hanya satu yang mengganjal: anak buah yang bersama Gavin hari ini berbeda dari yang bersama Valentino. Ada yang janggal.
Saat ia larut dalam pikirannya, suara tak asing menghantam telinganya.
"Vanesa?"
Ia mendongak malas. Damian. Dan di sebelahnya berdiri perempuan yang paling ia hindari: Iren. Selingkuhan suaminya, lengkap dengan senyum sinis dan tatapan penuh superioritas palsu.
"Apa yang kamu lakukan di lingkungan ini? Habis melayani bos mafia?" bisik Iren, matanya menyipit, suaranya rendah namun tajam.
Vanesa menahan napas. Ia terlalu lelah untuk drama, tapi harga dirinya tak bisa didiamkan begitu saja.
"Jaga mulutmu, Iren. Aku tidak rendahan sepertimu," balasnya tenang, namun dengan nada menusuk.
Iren menyeringai. "Oh ya? Tempat ini markas para bandar kelas kakap, tahu? Wanita yang keluar dari sini biasanya cuma dua jenis: simpanan bos narkoba, atau wanita panggilan. Kamu pilih yang mana?"
Vanesa mengangkat alis dan membalas santai, "Kamu sepertinya tahu banyak tentang tempat ini. Jangan-jangan kamu pernah jadi bagian dari mereka?"
Pipi Iren langsung merona merah. "Kurang ajar!"
"Cukup!" Damian memotong, matanya menyapu sekitar, sadar beberapa pengunjung mulai memperhatikan.
Ia menatap Vanesa tajam. "Kenapa kamu bisa kenal Pak Gavin?"
Vanesa menegakkan tubuhnya. Ia sudah kebal pada tatapan semacam itu. "Itu bukan urusanmu."
Iren mendesah geli, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Dia pasti selingkuh darimu duluan, Sayang. Vanesa bukan wanita baik-baik seperti yang kamu kira."
Vanesa menatap tajam Damian. "Iya, aku selingkuh dengannya. Bahkan... aku berencana menikah dengannya. Bagaimana menurutmu?"
"Apa?!" Damian melotot, rahangnya mengeras.
"Iya. Bagaimana kalau aku jadi istri dari pemilik perusahaan saja?"
Damian mendekat, suaranya pelan tapi tercekik emosi. "Bagaimana kamu bisa mengenalnya?"
Vanesa berdiri. Dengan elegan ia mengambil tasnya dan berkata, "Bukan urusanmu."
"Aku antar pulang," Damian menawarkan tiba-tiba.
"Sayang! Kamu gila?!" Iren langsung melotot.
Vanesa menyeringai. "Kamu sama selingkuhanmu saja. Aku bisa pulang sendiri."
Damian menarik Iren ke sisi. Di luar, angin sore Jakarta mulai meniupkan udara yang menyesakkan.
"Tenang. Aku harus dekat lagi dengannya. Kita harus tahu di mana dia sembunyikan sertifikat rumah, mobil, perhiasan. Ibu juga bilang dia punya simpanan. Setelah semua itu di tangan kita, dia tidak akan berarti apa-apa lagi."
"Kamu yakin tidak cinta lagi?" Iren mengerling curiga.
"Tidak. Semua ini hanya demi kamu," ucap Damian, suaranya lembut namun penuh kepalsuan.
Vanesa menerima tawaran Damian untuk diantar. Ia bukan wanita yang bodoh. Ia hanya sedang menanti momen.
Rumah itu masih sama. Tapi seperti kenangan yang pahit, tempat itu kini terasa asing.
Ibu mertua dan adik iparnya, Dela, muncul dari ruang tamu dengan wajah terkejut.
"Bu, kenapa wanita kampung ini kembali?" bisik Dela.
"Ibumu bilang semua harta atas nama Vanesa. Masmu akan merebutnya, lalu menyingkirkannya," jawab ibunya dengan senyum tipis namun mata penuh perhitungan.
"Jadi Iren gagal jadi istri Mas Damian? Gagal dong punya ipar kaya."
"Tenang. Setelah Damian dapatkan semua sertifikat dari si kampungan itu, dia akan dibuang. Masmu sekarang pria penting, tidak mungkin tinggal sama perempuan rendahan."
Damian membawa Vanesa ke kamar mereka. Ia bersikap manis, bahkan menyuruh ibunya dan Dela bersikap baik. Vanesa merasa seolah masuk ke teater drama dengan naskah busuk yang telah ia hafal dari dulu.
Ibu mertuanya masuk dengan nampan berisi makanan.
"Nak, Ibu minta maaf atas perlakuan kemarin. Ibu berharap kita bisa hidup bersama lagi, seperti dulu."
Vanesa menatap makanan itu lama. Semua terasa terlalu manis, terlalu cepat. Ia tahu senyum itu palsu.
"Aku belum lapar, Bu. Rasanya capek banget. Kalau sudah lapar, aku akan ke dapur."
Senyum itu menghilang begitu keluar dari kamar. Vanesa melangkah pelan ke balik pintu dan menempelkan telinga.
"Sial! Kalau saja bukan karena Damian, aku nggak akan begini! Di mana dia sembunyikan sertifikat itu?!" gerutu sang ibu mertua di dapur.
"Menyebalkan. Kalau sampai Mas Damian gagal, aku sendiri yang usir dia dari rumah ini!" sahut Dela tajam.
Vanesa tersenyum tipis. Tapi senyum itu bukan milik wanita lemah. Itu milik seorang wanita yang tahu ia sedang dikepung serigala, dan sedang menyiapkan racun.
Malam itu, angin menggores jendela kamar seperti bisikan rahasia. Vanesa berdiri di depan kaca, memandangi pantulan dirinya. Mata itu tidak lagi sendu. Ada bara kecil yang tumbuh menjadi api.
“Jika kalian pikir aku mudah ditipu, maka kalian belum tahu siapa sebenarnya Vanesa.”
Ia mengeluarkan ponsel, menekan satu nomor yang tak bernama.
Suara di ujung sana dingin dan dalam.
"Kau sudah siap?"
"Siap. Mulai dari sekarang, aku yang akan mainkan bidaknya."
Di sebuah ruangan gelap, Gavin duduk dengan jas hitam dan mata biru yang mengilat seperti es kutub. Tangan kirinya memegang foto Vanesa di café siang tadi.
"Bagus, Nona. Tunjukkan kalau kamu bukan boneka yang bisa dibuang."
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini