Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11 Negosiasi
Happy reading
"Selamat pagi, Dokter Dira."
Arga menyapa dan memamerkan senyuman yang teramat manis.
Ia berharap Dira akan terpesona jika melihat senyuman manisnya itu. Seperti para gadis yang bekerja di rumah sakit Sehati, tak terkecuali Hani.
Tak ada balasan atau tanggapan dari Dira.
Gadis berparas ayu itu masih fokus pada berkas yang berada di tangan.
"Dok, saya bawakan bubur ayam spesial. Saya yakin Dokter Dira belum sempat sarapan, karena pagi-pagi sekali harus datang ke rumah sakit untuk melakukan operasi." Arga pantang menyerah. Ia meletakkan semangkuk bubur ayam di atas meja Dira.
Tetap tak ada tanggapan. Dira malah terlihat semakin serius. Pandangan netranya tak lepas dari berkas yang masih setia di tangan.
"Dokter Dira yang cantik, tolong acuhkan saya meski hanya sedetik."
Dira enggan menanggapi ucapan Arga. Ia beranjak dari posisi duduk, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Arga segera menyusul Dira yang tengah berjalan tergesa melewati lorong rumah sakit dan berusaha mensejajarkan langkah.
"Dok, kenapa Dokter Dira cuek sekali dan beberapa hari ini terlihat lebih pendiam? Apa mungkin ... Dokter Dira sedang ada masalah dengan tunangan?"
Tak ada respon. Dira tetap berjalan dengan langkah lebar. Pandangan netranya lurus ke depan dan tak beralih sedikit pun ke arah Arga.
"Dok --" Arga lelah. Kali ini ia menyerah dan membiarkan Dira mengabaikannya. Toh masih ada kesempatan di lain waktu, pikirnya.
Beberapa hari ini Dira memang sengaja bersikap cuek pada Arga. Ia semakin merasa tak nyaman dengan sikap dan perhatian Arga yang terkesan berlebihan. Manis, tapi terselip modus. Dira meyakini itu.
"Dokter Dira." Hani melambaikan tangan dan berjalan menghampiri Dira.
Seketika Dira menghentikan ayunan langkah dan membalas sapaan Hani dengan menerbitkan seutas senyum.
"Dok, anak yang tadi pagi dioperasi sudah sadar," ucap Hani begitu tiba di hadapan Dira.
"Syukurlah. Saya akan segera melihatnya, Sus."
"Saya antar, Dok."
"Baiklah." Dira mengangguk pelan dan tersenyum.
Keduanya lantas berjalan beriringan menuju recovery room atau biasa disebut ruang pemulihan.
"Hai, anak pintar." Dira menyapa seorang anak yang terbaring lemah di atas ranjang dengan beberapa peralatan medis yang terpasang di tubuhnya.
Anak itu bernama Danis. Putra seorang buruh bangunan yang ditabrak oleh seorang putra pejabat.
Danis hanya bisa membalas ucapan Dira dengan mengejapkan sepasang mata. Bibirnya terkunci dan semua bagian tubuhnya serasa sulit untuk digerakkan.
"Saya periksa sebentar ya." Dira kembali bersuara, lalu mulai memeriksa kondisi Danis.
"Dok, orang tua pasien belum menyelesaikan biaya administrasi." Hani berbisik. Namun terdengar oleh Danis dan membuat wajah anak itu terhias sendu.
Danis teramat sedih dengan keadaannya saat ini yang membuat orang tuanya semakin terbebani.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sulit, apalagi untuk membayar biaya perawatan dan pengobatannya di rumah sakit.
Danis hanya bisa berdoa di dalam hati, semoga Allah berkenan menyentuhkan kasih-Nya dan menunjukkan Kun fayakun-Nya.
Bukankah tidak ada yang mustahil di dunia ini jika Allah sudah berkehendak?
Jadilah
Maka semua akan terjadi sesuai dengan kehendak-Nya.
"Jangan bicarakan itu di sini." Dira menimpali ucapan Hani. Terdengar lirih. Namun penuh penekanan sehingga membuat Hani menciut.
"Baik, Dok." Hani menunduk dan tidak berani menatap wajah Dira yang mungkin terbingkai amarah.
"Cepat pulih, Danis. Supaya bisa bermain bola lagi dan berkumpul dengan keluarga." Dira menerbitkan senyum dan mengusap bahu Danis seraya mentransfer energi positif, agar pasien yang ditanganinya itu terpacu untuk segera pulih.
Danis kembali mengejapkan mata disertai senyuman yang terlihat samar.
Di ruang yang berbeda, Arga mulai beraksi.
Ia terlihat bernegosiasi dengan seorang gadis polos yang sedang menunggu ayahnya.
"Bagaimana? Kamu mau 'kan? Kalau kamu mau, detik ini juga semua biaya rumah sakit yang harus ditanggung oleh ayahmu akan aku lunasi."
Gadis itu menunduk dalam sambil memilin ujung baju.
Ia menimbang dan berpikir.
Sungguh, ia tidak rela jika kesucian yang selama ini dijaga diserahkan pada seorang dokter amo-ral, di usianya yang belum genap tujuh belas tahun.
"Aku beri waktu sepuluh menit. Jika dalam waktu sepuluh menit kamu tetap membisu dan tidak memberi jawaban, aku batalkan tawaranku tadi."
Gadis itu terisak. Tidak ada ikhtiar yang bisa dilakukan, selain menyerahkan kesuciannya pada Arga.
"Baik-lah. Sa-ya mau, Dok," ucapnya terbata.
Arga tersenyum menyeringai. Ia semakin yakin jika uang yang dimilikinya sanggup untuk membeli segalanya, tak terkecuali sela-put Marwah seorang gadis yang belum tersentuh.
Rani. Nama gadis itu.
Ia putri semata wayang seorang sopir truk. Ibunya meninggal dunia dua tahun silam. Sementara ayahnya, saat ini harus terbaring tak berdaya di rumah sakit karena mengalami kecelakaan dan menderita luka yang cukup parah.
"Ayo ikut aku! Aku akan mengajakmu mencecap surga dunia yang bakal membuat-mu merasa candu." Arga berbisik tepat di telinga Rani dan membuat gadis itu bergidik.
Ia merasa ngeri membayangkan apa yang akan terjadi padanya.
Rani berjalan mengikuti ayunan kaki Arga. Ia pasrah dan menuruti semua yang diperintahkan oleh dokter amo-ral itu.
Tanpa sengaja Dira melihat Arga dan Rani berjalan tergesa menaiki anak tangga, sehingga membuat Dira dihinggapi rasa curiga dan berinisiatif untuk membuntuti mereka.
Kecurigaan Dira bertambah saat Arga membawa Rani masuk ke dalam ruangan kosong yang berada di lantai tujuh.
Rencananya ruangan itu akan direnovasi dan untuk sementara waktu dikosongkan.
Dira terus membuntuti mereka, tanpa terlupa melepas sepatu yang dikenakan agar hentakan kakinya tak terdengar oleh Arga.
"Cepat masuk!" Titah yang tak kuasa dibantah oleh Rani.
Gadis itu masuk ke dalam ruangan dengan perasaan yang tak karuan dan kaki yang terasa berat untuk melangkah.
Entah bagaimana nasibnya, Rani pasrah dan berserah. Tidak ada yang bisa diperbuat, selain mengorbankan kesucian demi cinta dan baktinya pada ayah terkasih.
🌹🌹🌹
Bersambung
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah