NovelToon NovelToon
Daisy

Daisy

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa / Kriminal dan Bidadari / Chicklit
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Inisabine

Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.


Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Pen di tangan Daisy mulai bergerak menggambar tokoh pria dalam cerita. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui yang tergambar justru wajah Singgih.

"Hm? Kok aku malah gambar dia?"

Daisy mengempas pen di tangannya. Membeliak gugup.

"Aku harus fokus."

Daisy mengembus napas, kemudian tertahan mengamati wajah yang digambarnya tadi. Hingga dua hari berlalu, tapi ia belum dapat telepon dari Azka―detektif temannya Gendis―yang dimintanya tolong untuk menyelidiki Singgih.

"Kok dia belum menghubungi aku, ya?"

Daisy mulai berpikiran gusar. Tak mau menunggu lama, akhirnya ia putuskan untuk menelepon Azka. Kaki Daisy mengentak-entak gusar saat teleponnya terhubung.

"Az, gimana?"

"Ini gue lagi ngikutin dia."

"Di mana sekarang?"

"Di sebuah kelab."

"Ngapain? Clubbing-an?" terselip nada kecewa dalam suara Daisy.

"Dia menemui seseorang. Coba tebak siapa yang ditemuinya?" Azka sengaja menjeda kalimatnya sebelum ia meneruskan, Rolan Hanggono.

"Apa?" suara Daisy memekik seketika. "Siapa tadi?"

"Rolan Hanggono." Azka menyebutkan nama itu sekali lagi.

"Beritahu aku alamat kelabnya."

Daisy menggeram. Saatnya ia menangkap basah mereka berdua. Ngakunya tidak saling kenal, tapi nyatanya mereka saling bertemu di sebuah kelab malam. Astaga.

    *

Untuk apa Rolan Hanggono mematainya? Untuk mencari tahu apa yang dilakukannya di sini? Atau untuk mencari tahu kenapa-dia-bisa-kenal-Daisy-dan-menjadi-pacarnya?

Hanya dugaan terakhir yang mendekati jawaban benar. Ia tidak tahu seberapa banyak sikap Rolan berubah dalam dua belas tahun terakhir ini, tapi ia masih ingat dengan sikap Rolan semasa menjadi teman sekolahnya. Mantan temannya ini tak tanggung-tanggung melabrak jika keinginannya diambil orang lain.

"Ta* lho, Gih!" Rolan mendorong tubuh Singgih hingga menabrak tembok.

"Kamu salah paham. Aku nggak tahu apa-apa." Singgih coba melepaskan tangan Rolan yang mencengkeram kerah seragamnya.

"Pengkhianat!"

"Kita nggak pacaran."

"Ajeng bilangnya kalian pacaran."

Singgih mendorong lebih kuat tangan Rolan yang hampir mencekik lehernya. "Kamu lebih percaya omongannya daripada aku?"

"Teman makan teman tuh kayak kamu!" Rolan menunjuk-nunjuk wajah Singgih dengan geram. "Pantas kamu nggak pernah mau diajakin nongkrong. Sibuk katamu. Sibuk pacaran," ejeknya. "Sialan kamu, Gih!"

"Sibuk yang kulakukan lebih penting daripada pacaran," pungkas Singgih. "Terserah kalau kamu nggak percaya."

"Oke. Kamu yang memilih. Kalau gitu, persahabatan kita pun juga berakhir!" putus Rolan, lalu pergi.

Napas Singgih mengembus marah. Persahabatan mereka hanya sebatas ini. Hanya sebatas Rolan memercayai omongan orang lain daripada sahabatnya sendiri. Sejak dulu, Rolan memang tak pernah mau mendengarkan penjelasan dan selalu menyimpulkan dari apa yang dilihatnya saja.

Berita Singgih pacaran dengan Ajeng menyebar seperti angin. Gosip itu pun berimbas pada persahabatannya dengan Noela.

"Noe, dengerin aku dulu bisa nggak?" pinta Singgih sore itu, di depan pagar rumah Noela.

"Aku curhat segala macam. Dari A sampai Z. Dari yang manis sampai yang busuk-busuk, tapi kamu malah nyembunyiin ini?"

"Aku benaran nggak pacaran sama Ajeng, Noela."

"Oh, ya?" Noe melipat lengan di depan dada. Kesal. "Udah berapa lama kalian pacaran?"

Singgih mengembus napas lelah. "Berapa kali sih aku harus bilang kalau aku nggak pacaran sama Ajeng."

Noela mengangguk paham. "Nggak kusangka aja kalian berdua punya selera yang sama." Ia cepat menambahkan saat dilihatnya Singgih hendak menyela. "Pasti sulit kan, harus ngumpet-ngumpet gini dari Rolan."

Dua bola mata Singgih berputar, napasnya mengembus makin lelah.

Setelah dua belas tahun berlalu, dan berita pacaran Singgih dan Daisy tampaknya kembali mengusik Rolan, hingga mengutus seseorang untuk mengawasinya.

Singgih memutar langkahnya kembali menghampiri orang suruhan Rolan itu. Orang itu tengah menelepon―yang diyakini Singgih sedang memberikan laporan pada sang tuannya.

Dalam sekali gerakan cepat, Singgih merampas ponsel dari tangan pria itu. Satu tangannya mendorong tubuh pria itu hingga membentur tembok di belakang. Ia membaca nama 'Bos Rolan' pada layar ponsel.

"Dari pada menyuruh orang untuk mengawasiku, lebih baik kita bicara."

"Si―Singgih?"

    *

Musik berirama keras mendentam-dentam di gendang telinga Singgih. Napasnya berembus kesal. Kenapa pula harus bertemu di tempat sebising ini? Lampu warna-warni yang berkedip-kedip membuat sakit kepala.

Singgih naik ke lantai atas. Pandangnya mulai menjelajahi seisi lantai untuk mencari keberadaan Rolan. Perempuan-perempuan berpakaian minim; bau alkohol; serta orang-orang mabuk menjadi satu dalam sapuan pandangnya. Tak jauh di depannya, seseorang mengangkat tangan untuk memberitahukan keberadaannya.

Langkah Singgih sempat ditahan oleh seorang perempuan berbusana minim, yang jika lengan perempuan itu diangkat maka akan memperlihatkan bagian perut putihnya.

"Cowok, ganteng deh," goda perempuan itu dengan segelas bir di tangan.

Singgih mengabaikan perempuan itu yang kini malah mencolek pundaknya. Ia memilih jalan kosong di sisi kiri untuk menghindari perempuan itu.

"Sombong bener," omel perempuan itu, yang kemudian beralih untuk mencari mangsa baru lainnya.

Singgih tiba di tempat Rolan duduk. Meja bulat berkaki tinggi itu hanya ditempati Rolan sendiri dengan ditemani segelas bir.

Kepala Rolan mengedik ke bangku kosong di depannya. Singgih pun menurut duduk.

"Jadi ini yang lo lakuin setelah bebas. Cari pacar kaya rupanya."

Singgih mengamati Rolan yang sepertinya sudah mulai mabuk. Seseorang memang berubah banyak. Contohnya saja: Rolan. Dulunya, Rolan selalu minum segelas susu putih sebelum berangkat sekolah; anak mami yang manja. Namun, yang dilihatnya sekarang adalah Rolan minum bir; mabuk; dan bermain perempuan. Mantan sahabatnya memang sudah berubah, tapi dirinya sendiri tetap tak berubah. Singgih yang dulu dan sekarang masih tetap sama.

"Gimana bisa?" Rolan menggeleng tak percaya. "Daisy Ekadanta?" kemudian ia tertawa mencemooh sembari menunjuk Singgih. "Lo guna-gunain dia?"

Singgih masih membiarkan Rolan mengoceh. Bahkan, Rolan memanggilnya dengan loe bukan dengan kamu seperti dalam persahabatan mereka.

"Gue kasih tahu elo, ya." Rolan masih menunjuki Singgih dengan telunjuknya. "Daisy itu dulunya ngejar-ngejar gue. Dia mohon-mohon minta dijadiin pacar," pongahnya. "Dan, elo?"

Cemoohan seperti ini bukan kali pertama ia dengar. Karena itulah ia terlalu takut untuk membuka hati, terutama untuk jatuh cinta. Pekerjaan saja ia harus bersusah payah mendapatkannya, masa ia juga harus berjuang untuk cinta. Untuk saat ini cinta masih belum ada di hatinya.

"Daisy bisa kena serangan jantung kalau tahu siapa yang dipacarinya. Mantan napi. Hoh?" Rolan berpura-pura kaget.

Sudah cukup bagi dirinya dicemooh oleh Rolan. "Karena ini kamu nyuruh orang buat mengawasiku?"

"Daisy itu terlalu lugu. Makanya dia mudah percaya sama omongan lo."

"Daisy tahu tentang aku yang pernah dipenjara. Nyatanya dia masih mau menerimaku."

Rolan tertawa hambar, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan seraya berbisik, "Dia tahu lo pembunuh?"

Kedua tangan Singgih yang berada di bawah meja mengepal geram.

"Keluarga Ekadanta bisa kacau gara-gara lo. Masa putri bungsu satu-satunya mereka pacaran sama pembunuh. Yang benar aja."

"Perusahaanmu bisa kacau kalau pegawaimu tahu siapa bos mereka."

Rolan mengulum senyum pahit.

"Setelah menyelamatkanku, kamu kabur begitu aja. Saat aku hendak mengucapkan terima kasih, ternyata justru aku yang dijadikan tersangka."

"Elo yang memukul kepala orang itu, bukan gue. Sidik jarinya sidik jari lo."

"Mana aku tahu apa yang terjadi." Singgih menggeram tak ingat. "Aku ditusuk dan sadar-sadar aku sudah berada di rumah sakit dengan tangan diborgol."

"Ya, ya, yaaa." Rolan mengangguk mengerti. "Lo juga harus ngikutin ujian di penjara, kan?"

Saat ini darah di tubuh Singgih siap meledak saking marahnya mendengar penghinaan Rolan. "Aku bisa membuktikan kalau aku nggak bersalah." Tatapnya tajam ke Rolan.

Kepongahan Rolan lima menit lalu kini berubah menjadi kegusaran yang coba ditutupinya. "Bukti?"

"Noe pernah bilang―," suara Singgih sedikit tertahan, "―kalau dia menemukan buktinya. Kamera." Ia mengangkat ujung bibirnya.

Air muka Rolan tegang. "Kamera apanya? Buktinya hanya tempat lilin itu saja."

"Tentu saja." Singgih mengulas senyum seringai. "Ada. CCTV yang nggak terduga. Dan, aku juga akan menemukan Ajeng."

Kedua rahang pipi Rolan mengeras.

    *

1
elica
wahhh keren bangettt🤩🤩
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨
elica
hai kak aku mampirrr🤩✨
Inisabine: Haii, makasih udah mampir 😚✨
total 1 replies
US
smg aksyen baku hantam /Good//Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!