Sebagai murid pindahan, Qiara Natasha lupa bahwa mencari tahu tentang 'isu pacaran' diantara Sangga Evans dan Adara Lathesia yang beredar di lingkungan asrama nusa bangsa, akan mengantarkannya pada sebuah masalah besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunny0065, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pandangan Pertama
Gibran berhenti memetik senar gitar saat kemunculan salah satu temannya yang paling kalem memasuki kelas.
"Sendirian aja Adara mana?" tanya Gibran.
"Lagi makan di kantin," jawab Sangga.
"Bareng?"
"Alleta."
"Kita balik ke situ, yuk, kebetulan gue belum makan, laper," ajak Gibran.
Sangga duduk di kursi kosong samping Gibran lalu menggelengkan kepala. "Malas."
"Biasanya suka senang kalau tahu lokasi Adara berada, kalian berdua lagi berantem?" tembak Gibran.
"Kita enggak pacaran, Gib. Dan, lagi, gue sama Adara baik-baik aja," ralat Sangga.
"Jangan ngelak Lo, seluruh murid asrama nusa bangsa tahu kedekatan diantara kalian berdua!" sahut Kevin dari ambang pintu.
Gibran meletakkan gitar hitam berukuran sedang di atas meja, beralih menatap cowok di seberangnya.
"Vin, udah sarapan?" tanya Gibran.
"Udah lah!" ketus Kevin.
"Kirain belum, boro mau diajak ke kantin," ucap Gibran.
"Makan mulu yang Lo ingat, emang dasar perut goni!" cibir Kevin.
"Orang laper malah diejek, cakep! Kayak Lo jagoan aja kalau laper nahan lapar," timpal Gibran.
"Emang gue kuat, nih, perut gue bulat terisi, beda dengan perut kempes Lo!" ujar Kevin menepuk-nepuk perut kenyangnya.
Gibran tersenyum sebal menghadapi kelakuan sombong ketua kelas.
"Warga Asrama cuma tahu gue dan Adara dekat, namun bukan berarti gue dan dia ada hubungan spesial," sanggahan Sangga tertuju pada perkataan Kevin sesaat tadi.
Kevin mendekat, menepis pengakuan cowok menyandang peringkat satu di kelasnya. "Terus gelang couple hitam berliontin sepotong hati di pergelangan tangan Lo sama di pergelangan tangan Adara, apa? Cuma buat memanasi cewek di luar kelas biar Lo enggak di kejar mereka? Kalau benar tebakan gue ini, parah... selama enam bulan ini, Lo mainin perasaan Adara."
Sangga bangkit berdiri, menyentuh gelang di pergelangan kirinya.
"Lo penasaran dengan ini?" tanya Sangga memamerkan gelang.
Kevin menggeram tertahan karena kini diejek balik.
"Cari tahu sendiri."
Selesai mengatakan itu, Sangga berlalu meninggalkan ruangan.
*
Di kantin, Adara menyantap bakso ditemani Alleta.
"Beruntung banget hidup Lo bisa buka pintu hatinya Sangga," puji Alleta.
"Usaha gue dapatin Sangga enggak segampang Lo pikirin," gumam Adara.
"Betul, secara Sangga banyak pengagumnya."
"Lo mengagumi Sangga?" lontar Adara.
"Gue pengecualian."
Adara mengangguk-angguk, mempercayai Alleta seratus persen.
"Bay the way bagi caranya dapatin cowok ganteng mirip Sangga. Gue pengen punya penyemangat hidup soalnya," galau Alleta.
"Emangnya anggota keluarga Lo kurang support?" Disela mengunyah, Adara menatap lawan bicara.
"Support. Tapi tetap aja gue butuh cowok buat dijadiin rumah kedua."
"Ouh."
"Terkadang gue suka mikir, gimana perasaan Sangga selama menjalin hubungan cinta bareng cewek cantik model kayak Lo, jengkel enggak?" celetuk Alleta.
Adara kembali menatap Alleta. "Enggak tau. Orang gue enggak pernah nanya perasaan Sangga. Hatinya dia tersembunyi di balik rongga paru-paru, sulit dijangkau apalagi buat diajak ngobrol."
"Betul, intinya gue salut lihat Lo dicintai baik oleh dia. Sangga sabar banget jalani ujian seekstrem ini," komentar Alleta.
"Lo bicara sesuatu? Barusan gue enggak dengar, bisa ulang ngomong apa?"
"Kata Alleta, ijin sebentar ke belakang, dia dapat panggilan alam."
Sahutan tenang dari seseorang menyita perhatian dua siswi tersebut, Alleta dan Adara bersamaan mendapati Sangga mematung di dekat meja lain.
"Sejak kapan magang di situ?" sapa Alleta.
"Belum lama," jawab Sangga.
Adara tersenyum, mengangkat mangkuk berisi bakso dan mendekat. "Makanan aku belum habis," adunya.
"Abisin, bell kelas masih lama bunyinya," ucap Sangga.
"Temenin," manja Adara mengaitkan tangan ke lengan remaja tinggi di depannya.
"It's okay."
Sangga menggiring gadis berambut cokelat panjang bergelombang menuju meja, kembali menduduki kursi.
Alleta membuang muka merasakan tatapan Sangga tertuju padanya, tidak biasa.
"Lo kenapa?" tanya Sangga.
"Jangan lihat gue setajam silet," sindir Alleta.
Sangga menyeringai tipis, memindai terang-terangan ekspresi wajah Alleta semula tidak bersahabat kini berubah merah merona.
*
Mobil silver memasuki halaman asrama nusa bangsa. Gadis lengkap memakai seragam lamanya perlahan turun bersama seorang pria.
"Kita ke ruang kepsek, nyerahin berkas-berkas pindahan kamu," kata pria jangkung.
"Iya, Pa."
Sepanjang perjalanan mencari ruang kepala sekolah, anak dan Papa itu sekejap jadi pusat atensi murid-murid di sekeliling.
"Natasha, bertemanlah dengan siapapun asal tidak melupakan aturan keluarga kita. Jangan dekati pergaulan bebas agar kamu tidak terjebak masalah orang lain," nasehat Papa.
Gadis berjalan tegak dengan penuh percaya diri membalas lembut. "Aku mengerti."
"Calon gebetan gue!"
"Enak aja calon istri, gue, itu!"
"Elah, sok-sokan berebut, gue pawang sejatinya!"
Sahutan menggoda beberapa anak cowok dari tempatnya nongkrong membuat Natasha menolehkan wajah, serentak para cowok memalingkan muka, pura-pura tidak melihat.
"Hentikan menoleh ke sana kemari Natasha," tegur Pak Aksan.
Sebagai pendatang baru di asrama, Natasha menebak dalam diam bahwa murid di sini jelas menerima kehadirannya cukup baik.
"Aku enggak akan menyesal melanjutkan sekolah di sini," yakin Natasha.
*
Alarm sekolah berbunyi nyaring menginterupsi seluruh murid segera memasuki kelas masing-masing.
"Perut gue udah kenyang, gue enggak perlu was-was lagi nunggu jam istirahat," lega Alleta.
"Enak banget bakso uratnya nanti istirahat kita nyobain menu baru," celetuk Adara menunjukkan kesukaannya menikmati makanan berlemak.
"Kamu sama Alleta duluan masuk, Kevin ngecat aku minta pergi ke perpustakaan ambil buku paket geografi," kata Sangga.
"Ketua macam apa sukanya nyuruh-nyuruh, Lo enggak ada niatan marahin Kevin? Dia seenaknya asal nyuruh," omel Alleta menyahuti ucapan Sangga.
"Gue enggak keberatan," balas Sangga.
Alleta mencebik kesal, Sangga terlalu baik sehingga oke-oke saja ketika dimanfaatkan.
"Kalau bawa bukunya banyak chat aku aja biar di kelas, aku suruh Gibran bantuin kamu," pesan Adara sambil membelai pipi Sangga.
"Enggak perlu," larang Sangga menurunkan tangan Adara. "Aku pamit." Imbuhnya.
Kepergian Sangga diperhatikan Alleta dan Adara. Tak lama kemudian, kantin kosong pengunjung, barulah dua gadis itu memutuskan pergi menuju kelas.
Usai mendaftar, Natasha mencium punggung tangan Pak Aksan.
"Makasih udah urus keperluan sekolahku, Pa," ucap Natasha.
"Kamu adalah putri Papa sudah kewajiban orang tua memenuhi kebutuhan anaknya, Natasha, ingat pesan penting Papa tadi jauhi pergaulan bebas."
Natasha mengangguk.
Pak Aksan melangkah jauh hingga hilang di telan belokan.
"Mari Natasha ikut saya ke kelas," ajak Bu Liza yang menjadi wali kelas Xl.
Natasha mengikuti jejak wanita di depannya, membawa kakinya berpindah tempat menginjak teras gedung bertingkat lima.
"Sekolah kami memakai system beda gedung beda fungsi. Tidak, memang sudah menjadi rahasia umum bagi setiap sekolah. Seperti halnya asrama lain, bangunan ini tempat khusus belajar seluruh murid, lantai satu ditempati kelas sepuluh, lantai dua-kelas sebelas, lantai tiga untuk kakak kelas dua belas, sementara perpustakaan, lab kimia, lab komputer dan gedung lainnya terpisah," terang Bu Liza.
"Saya lihat gedung ini memiliki lima lantai. Ibu enggak bilang lantai empat dan terakhir digunakan buat apa?" koreksi Natasha.
"Lantai empat kantin, lantai paling atas rooftop."
"Apakah ada larangan jangan bawa makanan ke rooftop?" lanjut Natasha.
"Ada, sejak dulu tidak diperbolehkan bagi warga sekolah menikmati makanan di atas sana. Rooftop cukup dijadikan tempat melepas penat saja, itu sudah cukup," jelas Bu Liza.
"Dimengerti Bu," ucap Natasha.
Di undakan tangga menuju lantai dua, Bu Liza menjeda langkah membuat Natasha yang mengekor di belakangnya ikut berhenti.
"Sangga mau ke mana? Bell kelas sudah bunyi beberapa menit, sekarang jam pertama pelajaran ibu. Putar arah, masuk ruangan!" tegur Bu Liza.
"Mau ke perpustakaan, Bu. Buku paketnya belum tersedia," jawab Sangga.
"Saya sudah perintah Kevin sekitar beberapa menit lalu sebelum bell bunyi buat ambil buku, kenapa jadi kamu yang repot," heran Bu Liza.
"Kevin share pesan ibu ke room chat saya," lapor Sangga merogoh ponsel dari kantung celana abunya dan menekan ikon hijau di handphone, menunjukkan bukti perkataannya barusan.
Bu Liza merebut benda canggih peserta didiknya—hendak memarahi Kevin, sebelum kekesalannya tersalurkan, tak lupa menengok dahulu ke arah siswi di belakangnya.
"Natasha, ikuti saya masuk," kata Bu Liza.
"Iya, Bu."
Wanita bersetelan dinas pendidikan melangkah tergesa-gesa. Natasha tidak memperdulikan siswa di hadapannya yang cukup menghalangi jalannya, tak suka membuang-buang waktu, Natasha mengangkat kaki siap pergi, namun Sangga berhasil menahannya.
"Lo pindahan?" basa-basi Sangga melirik atribut logo sekolah terpasang di bahu kanan Natasha.
"Iya."
Sangga mengikis jarak membuat pijakan Natasha mundur dan nyaris terpeleset ke belakang, untungnya Sangga cekatan meraih pinggang ramping anak baru di depannya dan mencengkeram pembatas tangga.