"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Flasback Pratama
"Merah lagi?! Kerjaan kamu sebenarnya apa, Tama! Main, terus! Main aja kerjaan kamu! Pena merah nggak pernah absen ada di rapor kamu ya, Tama. Mau jadi apa kamu! Mau jadi apa, Tama!" Lelaki yang bergelar Ayah dari Tama itu terus mengomel, memarahi putranya.
Tama terdiam di depan ayahnya, menundukkan kepalanya dengan tangan mengepal di samping badan. Setelah pembagian rapor siswa, tidak absen bagi Tama mendapatkan bentakan seperti sekarang.
"Cobalah berubah, Tama! Berubah! Lihat Putra, lihatlah sahabat kamu itu! Nilainya selalu mendekati sempurna! Juara selalu dia dapatkan. Coba kamu contoh dia, Tama!"
Riswan --ayah Tama-- mendudukkan dirinya di sofa tunggal, memijat keningnya yang terasa pening. Andai kata sang istri masih hidup, ia tidak akan kelabakan mendidik satu putranya ini.
Tama yang saat itu menduduki Sekolah Menengah Atas kelas dua belas baru saja menerima rapor tengah semesternya. Hasilnya sama seperti yang lalu-lalu. Sama-sama mengecewakan Riswan.
"Hanya dalam hitungan bulan kamu akan lulus, Tama. Cobalah berubah. Kamu anak laki-laki, mau jadi apa kamu besar nanti? Mau kamu kasih makan apa anak istri kamu nanti? Berpikirlah dari sekarang, Tama."
Nada suara Riswan merendah membuat Tama mengangkat wajahnya. Riswan selalu mengakhiri percakapan dengan suara rendah. Ini artinya, ceramah untuk Tama akan segera berakhir.
Entah harus bersyukur atau sedih. Ceramah tak bermanfaat Riswan kali ini begitu singkat menurut Tama. Biasanya, akhir dari hari pembagian rapor adalah Tama diberi sanksi tidak boleh main sebelum memberikan sesuatu yang memuaskan Riswan.
Dan sepertinya, Tama tidak perlu melakukan itu. Senyum miring terbit dari bibir Tama.
"Kamu harus mendapatkan juara untuk semester akhir kamu ini, Tama. Kalau tidak, Papa akan kirim kamu ke Amerika untuk melanjutkan kuliah," ucap Riswan yang langsung diprotes oleh Tama.
"Nggak bisa gitu dong, Pa. Papa nggak bisa nuntut lebih dari prestasi Tama!" Nada suara Tama meninggi.
Bukankah seharusnya Tama senang? Sekolah di Amerika merupakan sesuatu yang sangat mustahil bagi Tama yang memiliki nilai di bawah rata-rata. Bukan sekolahnya yang membuat Tama menolak keras, tapi seseorang yang akan merawatnya yang Tama wanti-wanti.
"Itu pilihan buat kamu, Tama. Papa sudah terlalu pusing memikirkan sikap kamu ini. Memperbaiki nilai, atau tinggal di Amerika bersama adik Papa."
Riswan meninggalkan Tama yang masih berteriak tidak setuju. Wajah tuanya terlihat lelah. Selain mengurus Tama seorang diri, Riswan juga menjalankan perusahaan yang cukup besar di kota ini.
"Sial!" Melihat Papanya tidak merespon ucapannya membuat Tama kesal. Mendengar ucapan Riswan yang akan membuat dia ke Amerika sangat menyebalkan. Diasuh oleh adik papanya adalah sesuatu yang sangat-sangat menyebalkan dari apa pun, bagi Tama.
***
"Yang sabar, Tam. Aku bisa bantu kamu belajar kok," ucap Putra, sahabat Tama.
Setelah mendapat ceramah dari papanya tadi Tama memutuskan untuk main. Bersama Putra tentunya, sahabat kecilnya. Dia curhat pada Putra tentang papanya tadi, kebiasaan lama yang selalu ia lakukan setelah mendengar sesuatu yang menyebalkan, terutama dari Riswan.
"Papa itu egois banget, Put. Dia kira otak bisa dipaksa apa!" Tama masih bersungut-sungut, kesal.
"Itu semua juga buat kamu, Tam, tanda Om Riswan sayang sama kamu. Coba pikirin, kalau Om Riswan nggak sayang sama kamu, dia bakal biarin kamu gini terus. Nggak maju-maju, dong."
Tama terdiam.
"Ya udah, kita mulai dari sekarang aja gimana? Lagian kita udah mau lulus tahu nggak, Tam. Kalau kamu nggak lulus, temen kuliah aku siapa coba?" Putra mencoba bergurau, menghibur sahabatnya.
Akhirnya mulai dari hari itu Tama belajar bersungguh-sungguh bersama Putra. Putra lebih sering lagi menghabiskan waktu di rumah Tama, menginap.
Sampai sesuatu yang ditunggu akhirnya tiba. Pengumuman nilai tertinggi dan pengumuman kelulusan bagi kelas setingkat Tama.
"Kita persilakan nilai tertinggi untuk kelas IPA, Pratama Ariswan!"
Suasana lapangan sekolah hening. Tama? Benarkah si pembuat onar ini meraih juara tertinggi pertama untuk kelas IPA?
Prok! Prok! Prok!
Tepuk tangan pertama kali dimulai oleh Putra. Sahabat Tama itu mengundang tepuk tangan yang lebih meriah yang terus diikuti oleh teman-teman Tama lainnya.
Ditatapi oleh ratusan siswa dengan tatapan bingung, Tama berjalan mendekati kepala sekolah dengan senyum mengembang. Putra berteriak, memberikan semangat Tama.
"Bapak tidak menyangka, Tama. Ini benar-benar kamu. Anak bandel, kenapa baru sekarang muncul kecerdasan kamu?"
Tama tersenyum puas. Menatap ratusan siswa yang menatapnya di depan. Di sana, terlihat yang paling antusias adalah Putra, orang yang membuatnya ada di depan sini sekarang.
"Bapak yakin, ini pasti berkat Putra. Kamu sangat beruntung memiliki sahabat yang bisa menuntun kamu untuk maju, Tama."
Senyum Tama langsung pudar. Putra? Ini usahanya, bukan Putra. Kenapa Putra juga diberi pujian coba?
***
"Terimakasih, Putra. Kamu sudah membuat Tama berubah beberapa bulan terakhir ini. Karena kamu, anak Om ini mendapat nilai terbaik di selolahnya. Sangat terlambat, tapi tak apa. Sekali lagi terimakasih ya."
Riswan memeluk Putra sebagai penghargaan. Baginya, tanpa Putra anaknya tidak akan bisa menjadi peraih nilai terbaik di sekolahnya. Atau mungkin, Tama tidak akan bisa lulus SMA-nya.
"Bukan karena Putra, Om. Tama memang pinter aslinya. Cuma ya itu, pemalas," ucap Putra diakhiri kekehan.
Tama menatap tidak suka pemandangan di hadapannya. Dia yang mendapat nilai memuaskan, kenapa Putra yang mendapat sanjungan dari Papanya? Dia yang berjuang, kenapa Putra yang mendapat penghargaannya?
***
Waktu melesat begitu cepat. Saat ini Tama dan Putra sudah memasuki universitas yang sama. Persahabatan mereka semakin kental, ke mana-mana selalu berdua.
Akhir-akhir ini Tama dirundung asmara. Ada mahasiswa yang satu kelas dengan mereka berdua. Cantik, Tama menyukainya. Demi membagi kebahagiaan itu, Tama menceritakannya pada Putra.
"Ooh, Natha si mahasiswa itu ya?" Tama memperjelas perempuan yang dimaksud Tama. Wajahnya terlihat tidak bersemangat.
"Iya, Put. Gila nggak sih cantiknya? Ya ampun, jantung aku rasanya mau lepas waktu deketan sama dia." Tama memegang dada kirinya, tersenyum bahagia.
Satu yang luput dari pengawasan Tama. Raut wajah Putra tidak secerah biasanya. Murung.
***
"Putra, aku dengar nanti kamu mau ngerjain tugas bareng Natha ya?" Suatu hari, Tama bertanya.
Putra mengangguk. Mereka memang perjanjian akan mengerjakan tugas bersama.
"Aku ikut ya, Put. Sekalian ..." Tama sengaja menjerat ucapannya, menaik-turunkan alisnya.
Putra yang peka dengan kode Tama hanya mengangguk, tersenyum kecil. Tama pasti ingin PDKT dengan Natha.
Sejak hari itu, Natha lebih sering mengerjakan tugas dengan Putra dan Tama. Tama lebih banyak waktu untuk pendekatan dengan Natha, dan itu ia tunjukkan terang-terangan di depan Putra.
Sampai suatu hari, Tama memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Natha. Ia sudah merencanakan ini sangat lama, dan itu dengan ikut campur tangan Putra.
Jawaban Natha membuat Tama kecewa, sekaligus marah.
"Maaf, Tam. Bukannya aku mau buat kamu sakit hati, tapi aku udah ada orang yang mengisi hatiku. Sekali lagi aku minta maaf," ucap Natha menolak secara halus ungkapan cinta Tama.
Saat itu mereka di taman. Tama dan Natha tepat berada di tengah taman yang sengaja dirancang indah oleh Tama, dengan bantuan Putra. Putra sendiri tengah menyaksikan adegan itu tidak jauh dari keduanya.
Tidak terduga, tatapan Natha tertuju pada Putra. "Aku mencintai Putra, Tam."
Tama terkejut --juga Putra. Laki-laki yang bertekuk lutut di hadapan Natha itu langsung berdiri. Begitu pun Putra, langsung berlari menghampiri keduanya.
"Sejak kapan, Nat?" Nada suara Tama tajam. Natha adalah satu-satunya wanita yang membuat jantungnya bergetar. Dia tidak rela mendengar pengakuan cinta dari Natha oleh sahabatnya sendiri.
"Maaf, Tam."
"Pengkhianat!" Tama berteriak, melempar buket bunga di tangannya dengan kasar.
"Tama, aku--" Putra yang ingin bersuara segera dipotong oleh Tama.
"Dasar pengkhianat kau, Put! Kau tahu aku begitu mencintai Natha! Kau tahu perasaanku, tapi kau tega nusuk aku dari belakang!" Tama berteriak kalap, menatap Putra penuh kebencian.
"Aku nggak tahu--"
"Sialan! Semua orang selalu berpihak padamu, Putra! Papa! Guru-guru di sekolah! Dan sekarang Natha! Semuanya selalu padamu! Kalau papa lebih sayang padamu aku tidak peduli, Putra! Tapi tidak jika Natha! Apa pun yang terjadi, Natha tidak akan pernah bersatu denganmu!"
Tama langsung pergi dari sana dengan kobaran dendam yang semakin besar di dirinya. Dendam yang terus membesar hingga Tama tua nanti.
"Putra, aku minta maaf." Tangan Natha terjulur, hendak meraih Putra.
Putra mundur, menatap Natha dengan tatapan sendu. "Ini bukan salahmu, Natha."
"Putra, aku benar-benar mencintaimu," lirih Natha yang terdengar Jelas di telinga Putra.
'Aku juga mencintaimu, Natha,' Putra menjawab dalam hati.
Tanpa berucap, Putra langsung pergi dari sana. Mengabaikan panggilan Natha yang semakin besar.
Sejak saat itu, Tama memutuskan berubah. Tama merasa, dia harus lebih dari Putra. Apa pun yang terjadi, Natha harus jadi miliknya.
Flasback Tama off
***
Semua itu terwujud. Tama berhasil lebih dari Putra. Tama berhasil lebih sukses dari Putra. Tama juga berhasil bersatu dengan Natha. Natha yang merupakan Nathalie adalah sosok perempuan yang berhasil menjerat hati Tama.
Tama sekarang sudah berumur. Semua sudah ia dapat. Ia lebih dari apa pun, lebih menang dari Putra. Semuanya sudah ia dapat. Namun, dendam itu belum hilang. Tama belum puas.
"Putra, kita kembali bertemu dengan keadaan yang berbeda. Yang sama hanyalah dendam ini. Dengan menghancurkan perusahaanmu, aku harap bisa menghancurkan hidupmu."
"Aku benci dengan situasi ini. Revano, kamu tidak akan bisa bersatu dengan Risya!"
••••
Bersambung
Dilike komen dong ayoo makasih makasihh