NovelToon NovelToon
Sayap-Sayap Bisu

Sayap-Sayap Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.

Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.

Dari sanalah kisah ini bermulai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 16

“Hah, Gentala yang adiknya Krista aktris itu?” seru salah satu mahasiswi di kelas.

Sirna sudah. Hilang sudah. Berakhir sudah. Demikian yang ada dalam benak Fly. Ia menangis dalam kesunyian hatinya. Sebab di dalamnya, ada seseorang yang sudah seharusnya dikeluarkan namun tetap melekat erat di sana. Sukar. Hanya rentetan kesabaran yang dapat ia usahakan saat ini. Yui sudah bersiap dengan tangan ajaibnya, jika sewaktu-waktu Fly akan mulai terlihat tidak kuat lagi menahan.

“Tapi emang cocok banget sih, mereka. Cantik dan ganteng banget. Nggak kebayang anaknya nanti, pasti sangat menyilaukan,” timpal mahasiswi lainnya.

“Menyilaukan apaan. Kamu kira cahaya ilahi, apa?”

Bagaimana tidak hati Fly begitu panas, sedangkan orang–orang sedang berkumpul di sebelah bangkunya untuk membicarakan kabar Gen yang telah melamar Isa. Semua tampak heboh dengan kabar itu, lain halnya dengan Fly yang lemas selemas-lemasnya.

“Mau keluar aja?” Yui menawarkan.

Fly menggeleng, “Tenang saja. aku ingin mendengar lengkapnya agar aku tahu bahwa tidak ada yang perlu dipertahankan lagi.”

Sejenak, Fly menarik napas panjang. Lantas melengkungkan sebuah senyuman lebar sekali. Kemudian beranjak dari kursinya dan bergabung di antara orang-orang yang tengah membicarakan Gen dan Isa.

Yui hanya bisa menepuk dahi dan mengikuti apa yang dilakukan Fly.

“Oh, iya? Kapan?” tanya Fly dengan mata berbinar, seolah ia ikut bahagia dengan kabar tersebut.

“kemarin. Ada temenku yang tetanggaan sama Isa. Padahal aku nggak nyebarin, tapi tiba-tiba aja kesebar ke seantero kampus ini.” Salah satunya menjawab pertanyaan Fly.

Di dekat Fly, Yui terus melirik Fly. Memastikan bagaimana ekspresi Fly sejak tadi. Padahal, tangannya begitu gatal untuk segera mengeluarkan Fly dari obrolan menyakitkan itu.

“Wajar aja, sih. Orang dua-duanya aja paling dikenal satu kampus. Gimana nggak nyebar,” tambah Fly, berusaha mempertahankan senyuman palsunya.

“Iya, apalagi kakaknya yang terkenal se-indonesia.”

“Aduh, sakit perut banget!” Tiba-tiba Yui berseru.

Semua yang di sana menengok. Obrolan mereka terjeda sejenak.

“Fly, temenin, yuk!” ajak Yui.

Tanpa menunggu jawaban Fly, Yui langsung menarik lengan Fly untuk keluar dari kerumunan dan keluar dari kelas mereka. Setelah sampai koridor, Yui tidak lagi memegang perutnya. Ia malah mengajak Fly untuk meletakkan tubuhnya pada pegangan balkon. Menikmati embusan angin.

“Begini lebih baik, bukan?” ujar Yui.

“Aku masih penasaran dengan kelanjutannya.”

“Untuk apa? Membuat dirimu sendiri lebih tersakiti? Membiarkan dirimu menikmati rasa sakit?”

Suara tawa renyah terdengar di kelas sebelah. Terdengar amat bahagia. Ada kemungkinan mereka juga sedang membicarakan Gen dan Isa.Tapi, memangnya kabar itu sebegitu membahagiakannya hingga semua orang tampak begitu riang? Bukannya Gen dan Isa sama-sama idaman mahasiswa kampus ini? Lantas, mengapa mereka tidak menjadikannya sebagai hari patah hati seantero kampus?

Tampak tidak adil. Karena seperti hanya Fly yang patah hati. Sedangkan yang lain turut bersuka cita.

“Kira-kira mereka nikahnya kapan, ya?”

“Bukan urusanmu. Bukan urusanku. Bukan urusan kita. Selesai!” jawab Yui dengan senyuman miring.

“Mungkin sebelum masuk semester baru. Lalu mereka akan wisuda bersama sebagai pasangan suami-istri.” Pipi Fly menggelembung, menahan segala resah dan sendu.

“Mungkin juga mereka belum pasti bersama,” tanggap Yui.

“Tahu apa, kamu? Berharap kisah mereka gagal?”

“Bukannya itu yang kamu harapkan?”

Fly terdiam. Segala bayang kebahagiaan Gen dan Isa benar-benar mengganggu benaknya. Bukan berarti ia tidak mau melihat mereka bahagia. Hanya saja ia belum siap. Belum bisa. Belum tahu cara memposisikan hatinya tatkala dua orang itu benar-benar berlabuh dalam muara cinta.

Sekali lagi suara tawa renyah terdengar. Kali ini bukan dari kelas sebelah, melainkan kelas mereka. Saling sahut menyahut dengan kelas sebelah. Seolah mereka sedang mengadakan adu kebahagiaan.

“Aku bukannya berharap kisah cinta mereka gagal, Fly. Aku cuma mau menegaskan, bahwa selagi mereka belum benar-benar menikah, artinya mereka memang belum tentu bersama. Lagipula, kita hanya mendengar dari kabar yang tersebar. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Yui menjelaskan.

“Yui,” panggil Fly, lirih.

“Iya?”

“Aku masih menyukainya. Aku setiap detik tidak pernah melepaskan diri dari pikiran tentangnya. Makanku terganggu. Begitupun dengan tidurku. Semua yang datang tidak menarik lagi bagiku. Hanya dia. seseorang yang menarik itu, senantiasa mendatangkan lupa sebab ia kerap kali terlihat berbincang dengan perempuan lagi. Ya, aku menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa. Hanya saja aku hanya menyampaikan, bahwa perasaan ini bukanlah kuasaku. Hingga logikaku entah bersembunyi di mana. Aku telah melakukan hal bodoh selama ini.”

Pepohonan menjulang, embusan angin, kicauan burung, birunya langit, tarian awah, serta terpaan surya menjadi saksi.

“Aku memang masih menyukai Gen, Yui,” ungkap Fly, lemah.

___ ___ ___

"Assalamu’alaikum,” ucap Fly.

Empat anggota keluarga yang sedang berkumpul di ruang tengah itu menoleh serempak. Semua dengan wajah berbinar, menyaksikan kepulangan anak sulung mereka.

“Wa’alikumussalam,” sambut mereka semua dengan semangat.

Ibu, ayah, dan kedua adik Fly memeluk Fly satu persatu. Ia pulang karena mulai libur semester genap selama dua minggu saja, karena waktu liburnya telah diambil untuk KKN.

“Kak Fa! Al kangen banget!” ungkap adik Fly yang berusia sepuluh tahun.

“Rizal juga kangen Kak Fa, nggak?” tanya Fly pada adik bungsunya yang berusia lima tahun.

Rizal mengangguk pelan. Tidak berani ikut memeluk Fly karena masih ada Alsa di sana. Ia baru beberapa saat yang lalu dipukul oleh Alsa. Mereka memang sering berkelahi, sekalipun jarak usia mereka terpaut lima tahun. Fly sendiri menjadi anak tunggal selama sebelas tahun, sampai pada akhirnya Alsa lahir.

Mata adik bungsu Fly masih terlihat sembap. Bekas menangis karena dipukul oleh Alsa.

“Begitulah, adikmu. Kayak kurang gitu hari mereka kalau nggak saling pukul. Alsa juga. Udah gede tapi nggak mau ngalah. Masih terbiasa jadi anak bungsu. Padahal sudah lima tahun berlalu,” ujar ibu Fly.

Fly melepaskan pelukan Alsa. Beralih dengan memeluk Rizal. Sekaligus menggendongnya, “Berat sekali, Zal. Perasaan kemarin masih ringan, deh.”

“Itukan setahun yang lalu, Fa. Kamu sih, mudiknya sekali setahun. Padahal masih satu pulau.”

“Ya gimana, Bu. Enam jam itu jauh, tahu.”

Usai salat magrib, Fly melangkah menuju dapur. Di sana ada ibunya yang sedang memotong sayuran. Di wastafel ada banyak peralatan masak yang kotor. Ia melangkah ke sana. Sambil mengumpulkan niat untuk berbicara.

“Gimana, Fa? Kuliahnya.”

“Baik, Bu.”

“Nggak ada hambatan?”

Suara piring dan gelas beradu di wastafel. Juga suara air kerannya. Tangan Fly berbusa. Sudah lama sekali ia tidak mencuci piring sebanyak ini. Di kos, biasanya ia hanya mencuci satu piring, satu gelas dan satu panci, satu wajan dan lain-lain yang masing-masing satu. Itupun lebih sering Vio yang mengerjakan. Vio memang sangat rajin dan pembersih. Sehingga, kerap kali Fly tidak kebagian untuk mencuci bekas piringnya sendiri karena Vio dengan gerak cepat menyusun piring bersama piring Fly usai makan.

“Biasa. Hambatan pasti selalu ada. Namanya juga kuliah,” jawab Fly.

Ibu Fly mengangguk. Lanjut memotong jamur-jamur. Lagi-lagi Rizal menangis. Hanya menunggu waktu sampai si bungsu itu datang dan mengadu. Namun, terdengar suara pintu terbuka. Ayah Fly telah pulang dari masjid.

“Lalu bagaimana dengan semester kemarin?”

“Ujiannya?”

“Iya.”

“Alhamdulillah baik juga, Bu.”

“Alhamdulillah.”

Lengang sesaat. Hanya suara pisau yang memotong jamur serta peralatan makan yang saling beradu yang terdengar. Suara tangisan Rizal telah sirna. Tergantikan suara Alsa yang memanggil-manggil ayahnya. Sedangkan Fly tampak sibuk menata hati. Yang telah remuk oleh harapannya sendiri. Oleh khayalannya sendiri.

“Tapi, Bu!” Fly melepaskan piring-piring yang belum selesai dibilas itu. lantas mencuci tangannya dan berbalik hadap ke arah ibunya.

Ibunya turut menghentikan jemarinya untuk menoleh.

Nyatanya, Fly hanya bergeming. Menatap sekitar yang terakhir dilihatnya satu tahun yang lalu.

Satu menit berlalu sia-sia, “Kenapa, Fa?”

Fly mengeraskan rahang. Tangannya terkepal di belakang punggung. Jemari kakinya bergerak-gerak. Gundah bersanding resah.

“Maafin Fa, Bu. Selama ini Fa banyak bandelnya sama Ibu. Juga ayah. Fa tidak menuruti nasihat-nasihat itu. Fa merasa bersalah. Hingga mungkin Allah sedang menghukum Fa karena itu. Fa berjanji akan berusaha menjadi lebih baik lagi selama ini,” urai Fly dengan tatapan dalam kepada sang ibu.

“Ibu nggak ngerti. Maksudnya apa dulu ini?”

Tiba-tiba Fly mendekati wanita itu dan memeluknya erat-erat dengan wajah yang dibenamkan ke tubuh wanita itu. Air matanya mengalir.

Satu menit. Dua menit. Ibu Fly merasakan air yang hangat membasahi bajunya. Ia tidak bersuara dulu. Hanya membelai rambut hitam anak sulungnya. Membiarkan semuanya tenang dulu.

Ketenangan itu menjalar ke seluruh tubuh Fly. Hangat sekali. Menenangkan sekali.

“Bu, Fa sedang patah hati.”

___ ___ ___

Masa libur Fly diisi dengan memperbaiki keadaan hatinya yang dianggap patah itu. patah dalam airtian yang tidak tampak. Tidak dapat terdeteksi alat apapun. Hanya dapat diketahui melalui rasa.

Ayahnya yang senantiasa mengajaknya mengaji, serta ibunya yang senantiasa memberikan dekapan lembut. Sudah cukup bagi Fly untuk membenamkan luka. Sebuah luka yang disebabkan oleh harapannya sendiri. Oleh khayalannya sendiri.

“Ternyata selama ini Fa emang banyak lupanya sama Allah. Lebih banyak fokus pada kesenangan dunia. Pantas saja Fa masih aja suka sakit hati karena manusia. Juga tutur kata Fa yang kerap kali tidak tersaring. Hingga menyakiti orang lain juga. Seperti Cua,” terang di Fly di hari ke tiganya di rumah.

“Kita manusia, memang sudah fitrahnya pelupa, Fa. Itulah mengapa kita diperintahkan untuk berzikir, yang artinya mengingat. Karena kalau kita selalu mengingat pencipta kita, maka kita akan terhindar dari perilaku lalai. Lalai yang berakibat fatal, hingga kita terlampau jauh jatuh ke dalam kubangan kesedihan duniawi yang sebenarnya tidak ada apa-apanya.” Ibu Fly menjawab.

Kedua adik Fly sedang bermain kejar-kejaran bersama anak-anak tetangganya. Suara bising di mana-mana. Sebuah bising yang selalu dirindukan Fly di tanah rantaunya.

Fly dan ibunya duduk di teras dengan kursi rotan. Mirip dengan yang ada di posko KKN kala itu. Dengan posisi yang sama ketika ia masih sering mengobrol dengan Gen. sebenarnya, saat ini Fly sedang mengingat momen itu. hanya saja ia tidak memberi tahu ibunya.

“Apakah Fa salah menaruh rasa, Bu?”

“Tidak. Tentu saja tidak sama sekali. Mana mungkin ada yang salah menaruh rasa. Sebab rasa itu bukan kuasa kita. Memang berkemungkinan salah orang, dalam artian bukan orang yang merupakan jodoh kita. Jatuh cinta dengannya membuatmu mendapatkan banyak pelajaran berharga, bukan? Itu membuatmu sadar, betapa sakitnya membiarkan diri menjauhi Allah hanya karena mengejar makhluk-Nya. Namanya juga pencipta, jelas tidak ada bandingannya dengan yang diciptakan. Ibarat kata kamu suka dia karena dia terlalu sempurna di matamu. Sehingga kamu anggap dia lelaki langka dan sulit ditemukan. Tapi bagi Allah, Dia bisa menciptakan orang seperti itu sebanyak yang Dia mau.”

Debu-debu berterbangan. Suara dan lari adik-adik Fly beserta teman-temannya semakin lincah ke sana ke mari. Satu-dua warga komplek melintas. Menyapa Fly dan ibunya, lantas lanjut berjalan.

“Assalamu’aikum,” ucap seseorang, menjeda obrolan ibu dan anak itu.

Tampak seorang laki-laki mudah dengan baju kok berwarna hijau pudar. Fly melongo. Mengingat-ingat sesuatu.

“Hah?”

“Wa’alaikumussalam,” jawab ibu Fly. “Jawab, Fa. Bukannya, hah.”

“Wa’alaikumussalam. Bu, itu ustadz yang sering ceramah di masjid yang deket sama kos Fa.”

Ibu Fly ikut melongo. Sambil berjalan untuk membukakan orang itu gerbang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!