Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
☀️☀️☀️
Cahaya sore menerobos dari celah-celah jendela tinggi pabrik, mengguratkan bayang-bayang panjang di lantai beton yang dingin. Di dalam sebuah ruangan pribadi yang terletak di sisi timur bangunan, Bastian berdiri mematung. Pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding. Foto itu sudah ada di sana sejak bertahun-tahun lalu, bahkan sebelum ruangan itu direnovasi menjadi ruang istirahat khusus karyawan senior.
Foto Niken.
Dengan senyum yang tak berubah, rambut hitam panjang tergerai, dan tatapan lembut yang selalu berhasil mengaduk hatinya. Niken di foto itu masih seperti gadis remaja yang dia kenal sejak bangku SMP. Sejak pertama kali melihatnya di koridor sekolah dengan seragam putih biru, hatinya telah tertambat. Dan perasaan itu... tak pernah berubah, bahkan setelah tujuh belas tahun berlalu.
“Masih menatap foto itu, ya?” suara lembut Fayola memecah keheningan. Wanita itu melangkah masuk sambil membawa dua gelas kopi. Senyum khasnya yang penuh percaya diri selalu menyiratkan ketegasan sekaligus kehangatan.
Bastian tersenyum kecil, agak kikuk. “Cuma... iseng saja.”
“Iseng yang keseringan bisa jadi bukti cinta terpendam,” ujar Fayola sambil menyodorkan secangkir kopi padanya. “Duduklah. Aku ada kabar soal pekerjaan.”
Mereka duduk di sofa kulit yang menghadap ke jendela. Fayola menyesap kopinya sebentar sebelum mulai bicara. “Hasil iklan dan promosi produk kita meningkat tajam. Foto-fotomu saat test ride dan sesi promosi kemarin jadi sorotan. Produk kita laris manis di pasaran.”
Bastian mengangkat alis. “Serius?”
Fayola mengangguk. “Dan yang paling senang, tentu saja, Niken. Dia mintaku, sebagai orang kepercayaannya, untuk memberikan sesuatu padamu sebagai ucapan terima kasih.”
“Ucapan terima kasih?”
“Motor trail baru. Sesuai hobimu.”
Bastian terdiam beberapa detik, menatap gelas kopinya. “Kenapa tidak dia sendiri yang memberikannya padaku?”
Fayola mengangkat bahu, senyum nakal menghias wajahnya. “Mungkin dia malu.”
“Malu? Kenapa malu?”
“Mungkin karena dia mulai menyadari sesuatu.” Fayola menatap mata Bastian dalam-dalam. “Kalau mantan adik kelasnya diam-diam punya perasaan padanya. Mungkin sejak lama.”
Bastian terbatuk pelan, kaget sekaligus panik. “Bagaimana dia bisa tahu...? Aku menyembunyikannya dengan sangat rapi...”
Fayola tertawa kecil, suaranya lembut. “Dari semua orang, mungkin. Tapi tidak dariku, Bastian. Aku seorang ahli membaca perasaan. Dan kau... kau terlalu kentara kalau sudah menatapnya seperti itu.”
Bastian menunduk, wajahnya sedikit memerah.
Fayola menepuk pundaknya pelan. “Kalau kau memang suka padanya, kejar dia. Tunjukkan kesungguhanmu. Jangan sampai dia diambil orang lebih dulu.”
Bastian menatap lagi foto di dinding. Senyum Niken seolah hidup, menembus waktu dan kenangan. Kali ini, hatinya bergemuruh. Mungkin, waktunya sudah tiba.
***
Keringat masih membasahi pelipis dan leher Niken saat ia menyelesaikan sesi olahraga ringannya di ruang tengah. Dengan t-shirt abu-abu longgar dan legging hitam, rambutnya diikat seadanya di belakang kepala, Niken tampak segar dan bersemangat. Di antara kesibukannya mengurus pabrik dan berbagai urusan bisnis, olahraga adalah satu-satunya waktu pribadinya yang benar-benar ia nikmati.
Baru saja ia hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, seorang asisten rumah tangganya muncul dari balik pintu.
“Bu Niken, ada tamu datang,” katanya sopan.
Niken mengerutkan kening, sedikit heran. “Siapa?”
“Katanya namanya Bastian, Bu. Dia di depan.”
Jantung Niken berdegup sedikit lebih cepat. Bastian? Tanpa sempat berpikir panjang, ia segera berjalan menuju pintu depan, langkahnya cepat dan ringan. Saat membuka pintu, matanya langsung menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
Bastian berdiri di sana, mengenakan jaket kulit hitam dan jeans gelap, dengan sebuah buket bunga mawar merah di tangannya.
“Hai,” sapa Bastian, senyum malu-malu tergambar di wajahnya. “Ini... untukmu.”
Niken menatap bunga itu, lalu menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia tak bisa menahan senyum.
“Bunga?” tanyanya sambil menerima buket itu. “Apa ini sebagai balasan dari hadiahku?”
Bastian mengangguk, suaranya rendah. “Terima kasih untuk motor trail nya. Aku... tersanjung sekali. Rasanya seperti... dapat perhatian istimewa dari seseorang yang spesial.”
Niken tertawa kecil, nada tawanya ringan dan penuh geli. “Astaga, kau membuatku aku merasa seperti sugar aunty yang sedang dimanja brondongnya.”
Bastian ikut tertawa, walau matanya tetap menatap Niken dengan serius. Lalu, mendadak ia berkata, “Sedang tidak sibuk kan? Keluar yuk,"
Niken mengangkat alis. “Mau ke mana?”
“Makan dan nonton film. Aku traktir,” jawab Bastian cepat, matanya berbinar penuh semangat.
“Traktir?” Niken menyilangkan tangan di depan dada, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu. “Apa kau sedang mengajakku berkencan?”
Bastian menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Sepertinya begitu.”
Untuk beberapa detik, Niken hanya diam menatapnya. Lalu senyum muncul lagi di bibirnya. Ada sesuatu dalam ekspresi Bastian yang membuatnya sulit menolak. Kejujuran yang polos, keberanian yang canggung, dan… perasaan yang tulus.
“Baiklah,” katanya sambil mundur perlahan. “Tapi tunggu setengah jam, ya. Aku mau mandi dan ganti baju dulu.”
“Siap,” jawab Bastian mantap.
Niken menoleh sekali lagi sebelum menutup pintu, masih dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Di balik pintu yang tertutup, hatinya berdebar. Bastian bukan lagi bocah SMP yang dulu sering diam-diam menatapnya. Kini dia adalah pria yang datang membawa keberanian — dan mungkin... sebuah harapan baru.
Bersambung....
Nb : Mohon untuk memberikan like selesai membaca sebagai bentuk dukungan untuk author. Trim's🙏