NovelToon NovelToon
Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mafia / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: Anayaputriiii

"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 Seatap

"Untuk sementara kam tinggal saja di sini, Ar. Kasihan Lisna kalau harus wara wiri," tutur Pak Herman pada putranya.

"Iya, Pa. Besok aku langsung kekantor naik taksi saja. Mobilnya kalian pakek saja itu," jawab Arya.

"Iya. Ya udah, jaga dirimu dan Lisna," pesan Pak Herman. Lantas,ia mengajak Bu Lila masuk kedalam mobil.

"Aku mau istirahat, Lis. Capek baru pulang kerja langsung ke sini." Arya menatap Lisna yang tersenyum. Wanita yang kini telah menjadi istrinya itu mengaitkan tangannya di lengan Arya.

"Ayo, aku antar." Arya dan Lisna berjalan memasuki rumah, melewati Pak Abdul dan Bu Daning yang masih merasa terkejut. Apalagi dengan Bu Daning yang masih belu menerima kenyataan bahwa putrinya menikah tanpa resepsi. Bahkan, pernikahan putrinya hanya sah secara agama.

"Pak, alku malu sama tetangga kalau keluar rumah," bisik Bu Daning pada suaminya.

"Malu kenapa, Bu?"

"Ibu sudah bilang sama para tetangga kalau kita bakalan ngadain resepsi besar- besaran kalau Lisna dan Arya menikah.Tapi, kenapa malah berakhir seperti ini, Pak?" Bu Daning rasanya ingin menangis saja.

"Oalah, Bu, Bu. Tidak usah mikirin omongan orang lain lah.Bikin capek sendiri nanti." Pak Abdul mengusap- tangan sang istri untuk menenangkannya.

Bu Daning menghela napas. la beranjak dari ruang tamu menuju kamarnya. Kepalanya terasa pening. Sehingga membuat raganya terasa lelah. la menangis pilu di ranjang kamarnya. Putri yang ia bangga-banggakan malah menyiram kotoran ke wajahnya. Ia malu, sangat malu jika harus keluar dan berhadapan dengan orang- orang.Bisa jadi semua orang kini tertawa bahagia melihat kehancurannya.

Sementara itu, Pak Abdul merenung. la sebenarnya sudah mendapat teguran beberapa kalidari Bu Widya, bidan senior dipuskesmas tempat Lisna bekerja. Bu Widya berkata bahwa pekerjaan Lisna sering kali salah. Lisna sering ceroboh dan puncaknya dua hari yang lalu, Bu Widya mengatakanbahwa Lisna kemungkinan hamil.

Flashback..

Pak Abdul yang baru selesai menggarap sawah kebetulan berpapasan dengan Bu Widya. la mengangguk hormat dan tersenyum ramah pada wanita yang disegani itu.

"Pak Abdul, baru selesai kerja, ya?" tanya Bu Widya.

"Iya ini, Bu." Pak Abdul terkekeh pelan.

"Maaf sebelumnya, Pak. Ada yang ingin saya sampaikan."

Ekspresi wajah Bu Widya berubah serius.

Mendadak hati Pak Abdul gelisah.

"Iya, silakan. Apa ini tentang putri saya?"

Bu Widya mengangguk. tuturnya. mohon maaf yang sebesar-besarnya, Pak Abdul. Lisna sering sekali membuat kesalahan. Satu dua kali saya maklumi. Tapi,kalau keseringan bagaimana diabisa jadi bidan sesungguhnya?Apalagi pekerjaan yang dipilih Lisna adalah menjadi bidan, dimana ada nyawa manusia yang dipertaruhkan di dalamnya,"

Pak Abdul terdiam. Lantas, menghela napas panjang.

"Saya minta maaf, Bu Widya. Nanti saya akan menasehati Lisna agar lebih serius saat bekerja."

Bu Widya menghela napas."Jika saya mendapati kelalaian Lisna lagi, tolong maafkan saya jika Lisna harus saya pecat dari puskesmas. Dia harus banyak belajar dulu," ucapnya pelan, tapi terdengar tegas.

Pak Abdul menunduk. "Saya mengerti, Bu."

Bu Widya tersenyum. "Maafkan saya, Pak. Bukan maksud saya tidak mau menjaga Lisna. Tapi, saya juga ingin agar Lisna menjadi bidan yang bertanggung jawab nantinya."

Pak Abdul mendongak. Seulas senyum ia suguhkan untuk Bu Widya. "Saya paham, Bu. Jika saya menjadi Anda, saya juga akan melakukan hal yang sama."

Bu Widya mengangguk. Beberapa detik berikutnya keduanya hening. Sampai Bu Widya menyampaikan kegelisahannya.

"Pak, mohon maaf lagi. Apa Lisna masih belum ada kepastian menikah?" tanya Bu Widya dengan penuh kehati- hatian.

"Belum. Memang kenapa, Bu?"

Wanita paruh baya itu menarik napas panjang dan membuangnya."Segera nikahkan Lisna, Pak. Ada kemungkinan kalau Lisna sedang hamil."

Pak Abdul membelalak kaget.

"Ha- hamil?"

Bu Widya mengangguk. "Mohon maaf, Pak. Saya tidak bermakSud memfitnah. Tapi, saya bicara begini untuk kebaikan Lisna sendiri. Saya bisa melihat tanda-tanda kehamilan itu di tubuh Lisna" jelasnya.

Pak Abdul bergeming. Otaknya masih sibuk mencerna.

"'Sekali lagi saya mohon maaf.Bukan bermaksud lancang. Pihak puskesmas tentu tidak akan diam saja kalau tahu Lisna hamil sebelum menikah. Saya permisi, Pak." Bu Widya mengangguk, lalu berjalan meninggalkan Pak Abdul yang masih syok.

Flasback off ...

...****************...

Malam harinya, Arya terbangun dan ingin ke kamarmandi. Ia tak sengaja berpapasan dengan Hanin yang terlihat habis membasuh muka. Terlihat dari wajah Hanin yang basah.

Arya menyeringai saat berhadapan dengan Hanin. "Kita sudah jadi keluarga. Kamu sudah jadi kakak iparku," tukasnya.

"Ya." Hanin membalas singkat.

Saat ia hendak pergi, Arya mencekal tangannya.

"Lepas!" teriak Hanin. Kejadian dimana Arya pernah hendak mengintipnya, membuatnya waspada.

"Kamu lancang. Kalau Mas Raffa tahu, dia akan marah padamu!"

Arya tertawa mengejek. "Dia itu hanya OB. Dia marah padaku, bisa kubuat dia kehilangan pekerjaannya!" Lantas, ia berjalan masuk ke kamar mandi.

Hanin berdiri kaku di dapur, menggenggam tangannya yang masih terasa sakit karena cekalan Arya tadi. Ia mencoba mengatur napasnya, tetapi dada yang berdegup kencang membuatnya sulit berpikir jernih. Kata- kata Arya terus terngiang di telinganya.

"Dia hanya OB. Dia marah, bisa aku buat dia kehilangan pekerjaannya!"

Hanin menggigit bibir, menahan amarah yang membuncah. la tahu Arya selalu punya sisi yang sombong dan suka meremehkan orang lain. Tapi kini,setelah Arya resmi menikahi adiknya dan tinggal serumah, Hanin merasa seperti tinggal dengan ancaman yang selalu mengitarinya.

Langkah kaki terdengar mendekat, membuat Hanin refleks menoleh ke pintu dapur. Arya muncul dengan senyum menyeringai, kali ini tanpa ragu memperlihatkan sikap angkuhnya.

"Masih di sini? Apa kamu mau cerita ke Lisna soal ini?" Arya bertanya sambil melipat tangan di dada.

Hanin menegakkan tubuh, mencoba menunjukkan bahwa ia tidak talkut. "Aku nggak akan diam kalau kamu terus bersikap seperti ini, Arya. Lisna berhak tahu siapa kamu sebenarnya."

Arya mendekat, membuat Hanin mundur hingga punggungnya hampir menyentuh meja dapur. "Oh, ya? Dan apa yang bakal kamu bilang? Bahwa suaminya ini berani mencolek kakaknya sendiri? Siapa yang bakal percaya? Lisna terlalu sibuk percaya kalau aku ini pria sempurna."

"Jangan kira aku takut sama kamu," kata Hanin tegas, meskia suaranya sedikit gemetar.

"Kalau kamu pikir bisa seenaknya karena sekarang tinggal di sini, kamu salah besar."

Arya tertawa pelan, suara yangmembuat Hanin semakin muak.

"Dengar, Hanin. Aku nggak punya masalah sama kamu, selama kamu tahu temnpatmu. Jangan ikut campur urusan rumah tangga kami, dan aku juga nggak akan ganggu kamu."

Hanin mendengus, matanya menyala penuh kemarahan."Urusan rumah tangga? Kalau kamu berani macam -macam sama aku lagi, aku pastikan Lisna tahu semuanya. Termasuk apa yang kamu coba lakukan malam ini."

Arya menatap Hanin beberapa detik, lalu tersenyum tipis. "Kamu berani sekali. Tapi hati- hati, Hanin. Aku bisa jauh lebih licik dari

yang kamu bayangkan."

Hanin menatap Arya tajam, lalu memutar tubuhnya dan berjalan cepat ke arah kamarnya. la tidak mau lagi memperpanjang percakapan yang hanya akanmembuatnya semakin emosi.

Di dalam kamar, Hanin mengunci pintu dengan rapat.Tangannya gemetar saat memegang ponsel. la berpikir untuk menghubungi suaminya, yang tadi pamit membeli nasi goreng tapi tak kunjung pulang. Namun, ia ragu.Jika ia cerita sekarang, apakah ituakan membantu, atau justru memperumit keadaan?

Raffa beakerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka, meskipun hanya sebagai OB di sebuah perusahaan besar. Hanin tidak ingin menambah bebannya.Tapi di sisi lain, ia tidak bisa membiarkan Arya terus bertingkah seperti tadi. Ini sangat berbahaya.

Hanin akhirnya menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk menunggu dan mencari cara terbaik untuk menghadapi situasi ini. Namun, satu hal yang ia tahu pasti. Ia tidak akan tinggal diam jika Arya mencoba mengganggunya lagi.

Rafa tiba di rumah pukul sebelas malam, wajahnya tampak lelah tapi tetap tampan. Di tangannya, ia membawa dua bungkus nasi goreng yang masih hangat. Ia mengetuk pintu kamar Hanin perlahan, lalu masuk setelah istrinya mempersilakan.

"Aku beli nasi goreng. Yuk, makan bareng," ajaknya sambil meletakkan bungkusan di meja kecil di sudut kamar.

Hanin mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski pikirannya masih kacau. Ia duduk di samping Raffa, membuka bungkusan nasi goreng yang beraroma sedap. Namun, nafsu makannya hilang begitu saja.

Raffa menatapnya dengan alis berkerut. "Kamu nggak apa- apa? Kelihatannya lesu."

Hanin menggeleng cepat, berusaha menutupi kegelisahannya. "Aku cuma capek, Mas. Banyak kerjaan rumah tadi."

Raffa menghela napas dan menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Setelah beberapa saat hening, ia bertanya,

"Apa terjadi sesuatu saat aku pergi?"

Hanin tersentak kecil, tapi segera menunduk, pura -pura sibuk dengan nasi gorengnya.

"Nggak,Mas. Semua baik- baik aja."

Raffa menatapnya lebih lama, seperti mencoba membaca sesuatu di balik jawaban singkat itu.

"Kamu yakin? Kalau ada apa- apa, bilang aja. Aku selalu ada buat kamu."

Hanin mengangkat pandangan dan tersenyum kecil, meski senyumnya tidak sampai ke mata.

"Nggak ada apa- apa, Mas. Aku cuma lelah. Terima kasih sudah bawain makan malam."

Raffa mengangguk, meski raut wajahnya masih menyimpan keraguan. Ia tahu Hanin bukan tipe orang yang mudah berbagi masalah, terutama jika ia merasa itu bisa membebani orang lain. Tapi malam itu, ia memutuskan untuk tidak mendesak.

Mereka makan dalam diam. Namun, di dalam hati Hanin, pergolakan terus terjadi. Ia ingin menceritakan apa yang terjadi dengan Arya, tapi bayangan ancaman pria itu terus menghantuinya.

"Dia hanya OB. Dia marah, bisa aku buat dia kehilangan pekerjaannya!"

Hanin tidak ingin risiko itu terjadi. Raffa sudah cukup bekerja keras untuk mereka berdua. Iatidak ingin menambah masalah di hidup suaminya.

Hanin menarik napas dalam, berusaha menenangkan pikirannya.

"Aku nggak boleh gegabah," pikirnya dalam hati. "Aku harus mencari cara sendiri untuk menyelesaikan ini tanpa melibatkan Mas Raffa."

Setelah makan, Raffa mencium kening Hanin sebelum tidur. "Kalau kamu butuh apa- apa, jangan ragu bilang, ya."

Hanin mengangguk pelan, lalu berbaring di tempat tidurnya. Tapia nalam itu, ia tahu bahwa tidurnya tidak akan nyenyak. Di benaknya, ancaman Arya terus bergema, seperti bayangan gelap yang tidakmau pergi.

...****************...

Pagi itu, suasana rumah Hanin terasa sedikit lebih tenang karena Bu Daning masih betah di kamar,beristirahat setelah mengeluhkan sakit kepala sejak semalam. Pak Abdul sudah pergi ke sawah seperti biasa, meninggalkan Hanin didapur untuk menyiapkan sarapan.

Hanin sedang sibuk menggoreng telur ketika Lisna muncul dari kamarnya. Wajah adiknya terlihat masam, seperti sedang tidak dalam mood yang baik. Tanpa basa-basi, Lisna langsung duduk di kursi dekat meja makan dan memandang Hanin dengan tatapan malas.

"Nin, buatin Mas Arya kopi, "katanya dengan nada memerintah. Hanin menghentikan gerakannya Lisna sambil mengangkat alis.

"Buat aja sendiri. Dia kan suamimu."

Lisna melotot, wajahnya merah karena kesal. "Aku gak bisa!"

"Ya kalau gak bisa, ya gak usah buat. Aku bukan babu kalian.Jangan nyuruh- nyuruh aku!"Hanin menjawab tegas tanpa menoleh lagi, sibuk menuangkan telur ke piring.

Lisna berdiri, menghentakkan kakinya dengan marah. "Kamu ini kenapa, sih? Dari dulu kamu selalu menyebalkan!"

Hanin menatap Lisna dengan dingin. "Aku menyebalkan? Aku cuma ngomong yang seharusnya. Kamu sekarang udah jadi istri, Lis. Kalau suamimu butuh sesuatu, kamu yang harus urus, bukan aku."

Lisna mendengkus, lalu pergi meninggalkan dapur dengan langkah berat. Namun, sebelum keluar, ia sempat menoleh dan berkata dengan suara yang sarat emosi, "Awas saja kamu. Kalai Ibu tahu, habis kamu!"

Hanin menghela napas panjang. la tidak ingin memperpanjang masalah pagi itu meski hatinya masih kesal dengan sikap Lisna yang selalu manja.

Setelah menyelesaikan sarapan, Hanin membawa secangkir teh ke ruang tamu. Saat ia duduk dan mulai menikmati waktu sendirinya, Arya tiba -tiba muncul dari kamar dengan wajah segar setelah mandi. Ia mengenakan kaos putih dan celana pendek, lalu tersenyum melihat Hanin.

"Pagi, Hanin," sapanya sambil berjalan mendekat.

Hanin hanya mengangguk singkat, berusaha menghindari kontak mata. la tahu lebih baik menjaga jarak dengan pria itu, apalagi setelah kejadian malam sebelumnya.

"Lisna bilang kamu nggak mau buatkan kopi untukku," ujar Arya santai, namun dengan nada yang sedikit mengejek.

Hanin menoleh tajam. "Aku bukan pelayan di rumah ini, Arya. Kalau butuh sesuatu, bilang keistrimu sendiri."

Arya tertawa kecil, lalu duduk di sofa di seberang Hanin. "Kamu ini keras kepala, ya. Pantas aja Raffa nggak banyak bicara. Mungkin dia tahu nggak bakal menang kalau berdebat sama kamu."

Hanin menegang, merasa darahnya naik mendengar nama suaminya disebut. la tidak suka cara Arya berbicara, seolah mengejek kehidupannya.

"Arya, kalau nggak ada hal penting, aku mau pergi," ujar Hanin tegas, lalu bangkit berdiri.

Arya hanya tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku cuma ngobrol. Jangan terlalu sensitif, Hanin."

Hanin tidak menjawab, memilih pergi ke dapur untuk menghindari percakapan lebih jauh. Namun, hatinya semakin gelisah. Kehadiran Arya di rumah itu membuatnya merasa tidak nyaman setiap saat.

"Mas sudah mau berangkat?"

Hanin melihat suaminya sudah rapi dengan seragam OBnya.

"Iya. Kamu libur, kan?"

Hanin mengangguk. Keluarga Ko Yusuf sedang ada acara keluargadi luar kota, sehingga semua karyawan libur karena toko tutup.

"Ya sudah, aku berangkat dulu. Jaga dirimu, Nin. Aku tidak akan tinggal diam kalau ada orang yang

mengganggumu," ujar Raffa dengan tegas.

"Iya, Mas." Hanin tersenyum.

Siang itu, Bu Daning akhirnya keluar dari kamar setelah merasa tubuhnya lebih baik. la duduk di ruang tengah sambil menikmati teh hangat yang dibuat Hanin. Suasana rumah kembali tenang, hingga Lisna tiba- tiba muncul dengan wajah muram, duduk di samping ibunya.

"Bu, Hanin itu keterlaluan, "keluh Lisna tanpa basa- basi. la seolah melupakan bahwa ia yang telah membuat ibunya sedih.

Bu Daning menoleh dengan alis berkerut. "Keterlaluan gimana?"

"Dia nggak mau bantuin aku bikin kopi untuk Mas Arya. Malah ngomong kalau aku ini nyuruh-nyuruh dia!"

Bu Daning memandang Hanin yang baru saja masuk dari dapur.

"Benar begitu, Hanin?"

Hanin menghela napas, mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bu, Lisna itu udah jadi istri. Wajar kalau dia sendiri yang melayani suaminya. Lagi pula, aku sibuk di dapur tadi, jadi nggak bisa bantu."

Lisna mendengkus, merasa tidak puas dengan jawaban Hanin."Itu bukan alasan! Kita ini keluarga, harus saling bantu. Kamu nggak bisa terus -menerus bersikap kayak gitu ke aku!"

Hanin tersenyum sinis.

"Keluarga? Kalau memang keluarga, kamu juga harus belajar mandiri, Lis. Aku nggak akan selalu ada buat nurutin kemauan kamu."

Bu Daning mencoba menengahi. "Sudahlah, jangan bertengkar. Hanin, kamu kan lebih tua. Cobalah bersikap lebih sabar keadikmu."

"Bu, aku sudah sabar selama ini," balas Hanin. "Tapi Lisna juga harus belajar tanggung jawab. Dia yang memutuskan menikah muda apalagi hamil duluan, jadi dia harus terima konsekuensinya."

Lisna berdiri, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kamu selalu merasa lebih baik dari aku, ya Selalu merasa paling benar!"

Setelah berkata demikian, ia berlari ke kamarnya dan membanting pintu. amarah yang sudah di ujung Hanin hanya diam, menahan tenggorokan. Bu Daning menatapnya dengan tatapan kecewa.

"Hanin, kamu harus lebih bijak. Kalian tinggal serumah sekarang. Kalau terus begini, rumah ini nggak akan tenang," ucap Bu Daning pelan, lalu kembali menyeruput tehnya. Ia tetap membela Lisna meski Lisna telah berbuat kesalahan besar.

Hanin tertawa, miris. "Padahal Lisna sudah membuat Ibu malu. Tapi, tetap saja dia anak yang selalu tak punya salah di mata Ibu," ucapnya pelan, lalu beranjak pergi.

1
Rubi Yana
bagus ceritanya semangat😍😍
Rubi Yana
semangat di tunggu lanjutannya.
Yaneee: Makasih sudah mampir dinovelku🙏,,Yupss bentar lagi rilis next episodenya
total 1 replies
Nurae
Ini cerita nya sedih... ☹️
viddd
Greget bangett sama kelakuan lisna dan ibunya,, cepet rilis episode selanjutnya dong
viddd
Good ceritanya
viddd
Kasian lisna, baru episode 1 aja sedih ceritanya 🥲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!