NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 : Kerusakan mental Yumi.

Langit malam Tokyo membentang luas, gelapnya dihiasi gemerlap lampu-lampu kota yang bagai bintang-bintang jatuh. Angin malam berhembus dingin, menerpa wajah keenam sosok yang berkumpul di sebuah kafe kecil terpencil. Udara dipenuhi aroma kopi yang hangat dan harum, kontras dengan ketegangan yang terpancar dari mereka. Reina, dengan wajahnya yang masih basah sisa air mata, duduk di antara Jimmy, Mike, Alisia, Helena, dan Alice. Cahaya lampu kafe jatuh lembut di wajahnya, menerangi mata yang masih berkaca-kaca, namun kini menunjukkan tekad yang mulai membara.

Jimmy, dengan raut wajah serius, memecah kesunyian. "Reina," suaranya berat, dipadukan dengan tatapan yang penuh pengertian, "Kau sudah mendengar perkataan Kei dan Kenzi?" Ia mengaduk kopinya perlahan, tatapannya tak lepas dari wajah Reina. Jari-jarinya gemetar sedikit, menunjukkan kegugupannya meskipun berusaha terlihat tenang.

Reina mengangguk pelan, menghapus sisa air matanya dengan punggung tangan. Gerakannya lembut, namun terlihat ada getaran halus yang masih mengguncang tubuhnya. "Iya, Jimmy... aku mendengarnya..." suaranya serak, terbata-bata. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Seutas senyum tipis, namun dipaksakan, tersungging di bibirnya. Senyum yang terlihat lebih seperti sebuah topeng yang berusaha menutupi kesedihan yang mendalam.

Jimmy menatap Reina dengan penuh empati. Ia meraih cangkir kopinya, menghirup udara hangat dari minuman tersebut sebelum berbicara lagi. "Reina... kita harus menyelesaikan misi ini," suaranya tegas, namun dipenuhi dengan kelembutan dan pengertian. "Kau akan bertemu dengannya lagi. Berjanji lah pada dirimu sendiri." Ia menatap Reina dengan tatapan yang penuh harapan, tangannya terulur sedikit, seakan ingin memberikan dukungan yang lebih nyata.

Reina, matanya berkaca-kaca kembali, namun kali ini ada secercah cahaya yang muncul di dalamnya. Ia mengangguk mantap, sebuah senyum tulus, kali ini, muncul di bibirnya. "Makasih, Jimmy," bisiknya, suaranya masih bergetar, namun terdengar lebih kuat dari sebelumnya. Ia menggenggam tangan Jimmy sebentar, lalu melepaskannya dengan lembut. Gerakannya menunjukkan rasa syukur dan tekad yang baru saja tumbuh.

Alice, dengan ekspresi wajah yang tetap tenang dan penuh perhitungan, bersuara. "Dan saatnya aku menemui Andras dan Yumi." Ia mengambil tas kecil dari sampingnya, jari-jarinya cekatan memeriksa isinya, memastikan semuanya sudah siap. Ekspresi wajahnya menunjukkan kesiapan dan fokus yang luar biasa. Ada sedikit kecemasan tersirat di balik ketenangannya.

Helena, dengan tatapan tajam dan penuh kewaspadaan, langsung menyahut. "Aku akan ikut." Ia berdiri tegak, menunjukkan sikap yang tegas dan siap menghadapi apapun. Tangannya terarah ke pistol di pinggangnya, meskipun ia tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Ia memancarkan aura yang dingin dan penuh kewaspadaan, memberikan sebuah rasa keamanan bagi yang melihatnya.

Alice mengangguk, menilai situasi. "Baiklah," jawabnya, suaranya datar, menunjukkan sikap profesional. Ia berdiri, siap menjalankan misinya. Langkahnya mantap, menunjukkan keyakinannya. Namun, sebuah lenguhan kecil terdengar dari bibirnya— sebuah uapan kelelahan tersembunyi di balik sikap tegarnya. "Huaahh... iya... Semoga berhasil," gumamnya pelan, sebelum matanya kembali menatap Helena, menunjukkan kerja sama yang terjalin erat.

Alisia, dengan ekspresi yang sedikit khawatir, mendekati Alice. "Alice... semoga... semoga kau bisa berbicara dengan mereka berdua dengan baik," ucap Alisia dengan lembut, suaranya dipenuhi dengan harapan dan kekhawatiran. Ia mengusap bahu Alice, memberikan dukungan dalam bentuk sentuhan fisik yang hangat. Raut wajahnya menunjukkan kepedulian dan harapan yang mendalam akan keberhasilan Alice.

Alice mengangguk, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Tentu," jawabnya, suaranya lembut, namun tetap berwibawa. Ia merasakan dukungan Alisia dan itu memberinya sedikit ketenangan di tengah kegugupannya.

Mike, yang diam selama ini, menatap mereka semua dengan pandangan yang penuh perhatian. Ia tidak banyak bicara, tetapi kehadirannya di sana adalah sebuah dukungan yang nyata. Ia mengangguk pelan kepada Reina, memberikan isyarat dukungan tanpa kata-kata. Tatapannya mengandung banyak hal, kekhawatiran, harapan, dan rasa hormat.

Suasana di kafe seketika menjadi tegang, diselingi oleh hiruk pikuk kota Tokyo di luar. Namun di antara keenam sosok tersebut, terjalin ikatan yang kuat, persahabatan dan tekad yang membara untuk menyelesaikan misi mereka dan menyatukan kembali Kei dan Reina. Malam itu, di bawah langit gelap Tokyo, petualangan baru akan dimulai. Kegelapan menyelimuti mereka, tetapi tekad mereka membakar kegelapan itu dengan cahaya harapan yang kuat. Mereka siap menghadapi apapun yang akan terjadi.

Udara dingin malam Tokyo mencengkeram Alice dan Helena saat mereka menyusuri jalan setapak di bawah Jembatan Rainbow. Cahaya lampu kota memantul di permukaan Sungai Sumida yang gelap, menciptakan efek kilauan yang surealistis. Alice, jam tangan futuristiknya menampilkan hologram peta hijau yang berkedip-kedip, berhenti di sebuah sudut yang tersembunyi. Bukan peta biasa, hologram itu menampilkan data vital Andras dan Yumi: denyut jantung yang tak beraturan, tingkat stres yang mengkhawatirkan, dan koordinat lokasi mereka yang terus berubah. Titik merah kecil yang menandai Yumi berkedip-kedip di dekat tepi sungai, menunjukkan betapa dekatnya ia dengan jurang maut.

"Helena," bisik Alice, suaranya nyaris tak terdengar di antara raungan kendaraan di atas jembatan dan desiran angin malam. Jari-jarinya, meskipun terbalut sarung tangan, tampak sedikit gemetar— bukan karena rasa takut, melainkan karena campuran simpati dan tekad yang membara. "Kita sudah sampai." Ekspresi wajahnya serius, menunjukkan konsentrasi yang tinggi.

Helena, dengan rambut hitam panjangnya yang diikat rapi, mengamati sekeliling dengan mata elang. Ia bukan hanya melihat, tetapi juga merasakan— getaran emosi yang mencekam, campuran keputusasaan, kesedihan, dan ketakutan yang terpancar dari lokasi tersebut. Di kejauhan, di bawah cahaya remang-remang lampu jalan, mereka melihat Andras yang berjuang menahan Yumi yang hendak terjun ke sungai.

Yumi, saudara perempuan Reina, tampak seperti bayangan dirinya sendiri— pakaiannya kusut, rambutnya acak-acakan, matanya kosong seperti tanpa jiwa. Ia bernyanyi— bukan lagu riang, melainkan nyanyian kematian yang pilu dan menyeramkan. Suaranya lirih, namun setiap kata dipenuhi dengan rasa sakit yang tak tertahankan: "Kematian... Reina... adikku... humm... Reina... kita akan bertemu... aku akan menyusulmu..." Air matanya mengalir tanpa henti, mengalir deras di pipinya yang pucat.

Helena mencengkeram pistol di pinggangnya— bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai jaminan keamanan. Ia mengamati Andras dan Yumi dengan tatapan penuh belas kasih, wajahnya berubah dari kewaspadaan menjadi simpati, kemudian berganti menjadi tekad yang membara. "Gawat, Alice!" suaranya dipenuhi keprihatinan. "Amane Yumi sangat terpukul dengan kematian Reina."

Alice menguap kecil, sebuah gerakan yang tak terduga, menunjukkan kelelahan yang disembunyikannya dengan baik di balik sikap tenang. "Huaah... memangnya siapa lagi yang akan menghentikan rencana Danton dan Alexander jika bukan kita?" gumamnya, namun matanya tetap tajam, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan. Ia mengatur napas, mempersiapkan diri menghadapi situasi yang penuh tantangan.

Mereka bergerak perlahan, seperti kucing hitam yang menyelinap di tengah malam. Sepatu khusus mereka meredam suara langkah kaki, membuat pergerakan mereka senyap dan tak terdeteksi. Mereka mendekati Andras dan Yumi dengan hati-hati, memperhatikan setiap detail— ekspresi wajah mereka, gerakan tubuh mereka, bahkan nafas mereka yang tersengal-sengal.

Andras tampak putus asa, seakan tulang punggungnya nyaris patah. Suaranya parau, hampir tak terdengar, "Yumi!! Hentikan!!" Ia menarik Yumi dengan sisa tenaga, tangannya gemetar hebat.

Yumi tak bereaksi, terus bernyanyi, matanya kosong menatap ke dalam jurang. "Kematian... menjemputku... menjemput kita semua..." Suaranya seperti mantra yang mengerikan.

Andras, rambutnya menutupi sebagian wajahnya yang basah oleh air mata, tampak lelah dan putus asa. "Yumi... adikmu... Reina... dia menunggu di sisi lain..." Suaranya bergetar, menunjukkan kesedihan yang amat dalam. Ia menarik Yumi erat-erat, menunjukkan betapa ia ingin menyelamatkan Yumi dari keputusasaan.

Alice dan Helena muncul dari balik bayangan, menampakkan diri secara tiba-tiba. Alice, dengan suara tenang dan tegas, berkata, "Andras..."

Andras tersentak kaget, matanya melebar tak percaya. Ia mengenali Alice dan Helena— teman masa SMP-nya di Rusia. Kenangan masa lalu dan kenyataan pahit saat ini bercampur aduk dalam benaknya. Tangannya gemetar, pegangannya pada Yumi semakin longgar.

"Kalian..." Andras tergagap, suaranya penuh keterkejutan. "Alice... Helena..." Kenangan masa muda mereka bersama di Rusia, saat mereka masih ceria dan penuh harapan, kembali menghantuinya.

Helena mendekat, ekspresinya tenang tetapi matanya tajam dan waspada. "Sudah lama, Andras," ujarnya, suaranya lembut namun penuh arti. "Aku kira kau sudah melupakan kita." Ia mengamati Andras dengan tatapan yang penuh empati dan kewaspadaan.

Andras menunduk, kepala tertunduk lesu. "Maafkan aku," bisiknya, suaranya patah dan penuh penyesalan. "Aku meninggalkan kalian... Bagaimana keadaan kalian?" Air matanya mengalir deras, menunjukkan keruntuhan mental yang sangat dalam.

Alice mengeluarkan kartu identitasnya, lambang agen rahasia itu berkilauan di bawah cahaya remang. "Sekarang kami bekerja untuk Ketua Craig, Profesor Reiz, dan Profesor Tia. Kami agen rahasia." Suaranya tegas, menunjukkan profesionalitas dan kekuatan yang telah mereka raih.

"Reiz... tahu?" Andras bertanya, suaranya tersedak oleh emosi.

Helena mengangguk, "Ya, dan tujuan kami ke sini... untuk membantumu membalas dendam. Untuk Reina... dan untuk Yumi." Suaranya tenang namun penuh tekad, meyakinkan Andras bahwa mereka ada di sisinya.

Yumi masih bernyanyi, suaranya semakin lemah, nyaris tak terdengar. Ia seperti jiwa yang melayang-layang di tepi jurang, hancur lebur oleh tragedi kematian Reina. Alice dan Helena saling bertukar pandang, mengetahui bahwa misi mereka jauh lebih kompleks dari sekadar membalas dendam. Mereka harus menyelamatkan Yumi, menariknya kembali dari jurang keputusasaan. Malam itu, di bawah Jembatan Rainbow, pertempuran baru dimulai— pertempuran bukan hanya melawan Danton dan Alexander, tetapi juga melawan keputusasaan dan kematian. Pertempuran untuk keadilan, dan juga untuk penyelamatan.

Embusan angin malam yang dingin menyapu rambut Helena, membawa aroma air sungai dan asap kendaraan yang membaur menjadi satu. Di bawah Jembatan Rainbow yang megah, bayangan mereka memanjang di atas beton dingin. Helena merasakan aura keputusasaan yang begitu kuat mengelilingi Yumi, seakan-akan badai emosi siap menerjang. Dengan langkah pasti, ia mendekati Yumi yang duduk terduduk di tepi sungai, tubuhnya bergetar hebat. Ia berhenti di hadapan Yumi, menatap wajahnya yang pucat, mata yang kosong, dan bibir yang bergetar saat melantunkan nyanyian pilu.

Helena merasakan simpati yang mendalam, namun juga tekad yang kuat. Dengan hati-hati, ia meletakkan tangannya di pundak Yumi. Sentuhannya lembut, namun kokoh, menunjukkan empati dan kekuatan yang seimbang. Ia menatap Yumi dalam-dalam, mencoba menembus dinding kesedihan yang begitu tebal.

"Amane Yumi?" suara Helena mengalun lembut, namun tegas, seperti suara angin yang membawa harapan di tengah badai. "Kakak perempuan Reina?" Ia menunggu respon, namun hanya keheningan yang menjawab, diselingi oleh nyanyian duka Yumi yang semakin lirih.

Yumi tak merespon. Ia terus bernyanyi, suaranya nyaris seperti bisikan, namun dipenuhi kepedihan yang menusuk kalbu. "Kakak tak berguna... hmmm... adikku... mati..." Kata-katanya sederhana, namun setiap kata sarat dengan penyesalan dan rasa bersalah. Tubuhnya bergetar hebat, bahunya terangkat-turun, menunjukkan beban emosi yang amat sangat berat. Rambutnya yang hitam panjang seperti air terjun yang jatuh, menutupi sebagian wajahnya, seakan ingin menyembunyikan kesedihan yang begitu mendalam.

Helena mengamati Yumi dengan seksama. Ia bukan hanya melihat, tetapi juga merasakan— kehilangan, kesedihan, dan keputusasaan yang begitu kuat. Dengan gerakan cepat dan terlatih, ia mengaktifkan fungsi diagnostik canggih pada jam tangan futuristiknya. Sebuah hologram biru muda muncul di depannya, menampilkan data vital Yumi dengan detail yang mengkhawatirkan: denyut jantung yang tak beraturan, tekanan darah yang sangat rendah, dan aktivitas otak yang nyaris tak terdeteksi.

Helena mengerutkan kening, wajahnya berubah dari simpati menjadi keprihatinan yang amat dalam. Ia menelusuri data di layar hologram, jari-jarinya bergerak cepat, mencari petunjuk lebih lanjut. Setelah beberapa saat, ia mengangkat kepalanya, tatapannya tajam dan penuh arti.

"Andras, Alice," suaranya serius, dipenuhi empati dan juga tekad yang kuat. "Keadaan Yumi jauh lebih buruk daripada yang kita duga. Data ini menunjukkan bahwa trauma yang dialaminya telah melampaui batas normal. Mentalnya telah hancur." Helena menjeda sejenak, mencoba mengatur kata-kata untuk menjelaskan kompleksitas kondisi Yumi.

"Aktivitas otaknya menunjukkan tanda-tanda disosiatif fugue," jelasnya, suaranya tenang tetapi tegas. "Ia mengalami kehilangan ingatan sebagian, kehilangan kesadaran dirinya. Yumi terjebak dalam mekanisme pertahanan diri yang ekstrem. Kata-kata tak cukup. Ia butuh perawatan medis dan psikis segera."

Helena menatap Andras dan Alice, matanya penuh dengan keprihatinan, namun juga dengan tekad yang membara. "Kita harus membawanya ke rumah sakit jiwa yang memiliki spesialis penanganan trauma tingkat tinggi. Semakin cepat, semakin besar peluang untuk menyelamatkannya."

Dengan gerakan cepat namun lembut, Helena menidurkan Yumi di atas rumput yang lembut. Ia membaringkan Yumi dengan posisi yang nyaman, mencoba memberikan sedikit ketenangan di tengah keputusasaan yang begitu dalam. Helena menatap wajah Yumi sejenak, kemudian mengangkat lengan bajunya, memperlihatkan sarung tangan canggih yang terbuat dari bahan metalik dengan cahaya biru redup yang memancar dari permukaannya.

"Sistem," suara Helena tenang dan percaya diri. "Aktifkan protokol penyelamatan darurat— Protokol Chimera."

Sebuah cahaya biru keluar dari sarung tangannya, menciptakan sebuah lingkaran cahaya yang melayang di udara. Dari dalam lingkaran cahaya itu, muncul beberapa perangkat medis canggih yang melayang di udara: scanner otak portabel dengan teknologi AI canggih, perangkat stimulasi saraf non-invasif, dan alat penstabil kondisi emosional yang futuristik.

"Dengan peralatan ini," kata Helena, suaranya penuh keyakinan, "saya akan mencoba untuk mengembalikan kesadaran Yumi sepenuhnya. Prosesnya mungkin memakan waktu, tapi saya optimis." Ia menatap Andras dan Alice, matanya menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. "Kita harus menyelamatkannya."

Andras dan Alice mengangguk setuju, menunjukkan kepercayaan dan dukungan mereka kepada Helena. Mereka memahami sepenuhnya bahwa misi mereka telah berubah. Malam itu, di bawah Jembatan Rainbow, perjuangan mereka berlanjut— perjuangan melawan keputusasaan, perjuangan untuk keadilan, dan pertempuran untuk menyelamatkan Yumi dari jurang keputusasaan yang begitu dalam. Mereka bertiga berdiri di sana, di bawah langit malam Tokyo yang gelap, bersatu dalam tekad yang kuat untuk menyelamatkan Yumi.

Helena bergerak dengan kecepatan dan ketepatan seorang ahli bedah, jari-jarinya yang lincah mengatur posisi perangkat medis canggih di sekitar Yumi yang terbaring lemah. Scanner otak portabel, seukuran telapak tangan namun sarat teknologi mutakhir, diletakkannya dengan lembut di dekat pelipis Yumi. Perangkat stimulasi saraf non-invasif, berbentuk seperti gelang futuristik yang elegan, dipasang dengan hati-hati di pergelangan tangan Yumi. Alat penstabil kondisi emosional, sebuah perangkat kecil yang memancarkan cahaya biru redup, diletakkan di dekat jantung Yumi, berdenyut lemah. Semua perangkat terhubung secara nirkabel ke sarung tangan canggih di tangan Helena, membentuk sistem penyelamatan yang terintegrasi dan canggih.

"Sistem, jalankan Protokol Chimera," Helena menginstruksikan dengan suara tenang namun tegas, matanya terpaku pada hologram biru yang menampilkan data vital Yumi: denyut jantung yang tak beraturan, tekanan darah yang rendah, dan aktivitas otak yang hampir tak terdeteksi. Jari-jarinya bergerak cepat dan terampil di permukaan sarung tangannya, memantau setiap perubahan sekecil apa pun dengan cermat.

Andras dan Alice berdiri di samping, mengamati Helena dengan campuran kecemasan dan harapan yang tergambar jelas di wajah mereka. Andras terlihat gelisah, tangannya mengepal dan membuka kembali secara berulang, menunjukkan kecemasan yang menggerogoti hatinya. Alice, dengan sikap tenang dan terukur, mengamati setiap gerakan Helena dengan seksama, siap membantu kapan saja diperlukan. Ketegangan di udara terasa mencekam, hanya diselingi oleh suara bip pelan dari perangkat medis.

"Bagaimana keadaannya, Helena?" Andras bertanya, suaranya bergetar, menunjukkan kecemasan yang tak tertahankan.

Helena, tanpa mengalihkan pandangan dari hologram, menjawab dengan tenang, namun suaranya mengandung sebuah keyakinan. "Denyut jantungnya mulai stabil. Tekanan darahnya perlahan meningkat. Aktivitas otaknya masih minim, tetapi ada tanda-tanda peningkatan. Ini proses yang butuh kesabaran, Andras. Kita harus menunggu." Ia mengerutkan kening, fokus penuh pada tugasnya, jari-jarinya dengan sigap membuat penyesuaian kecil pada parameter stimulasi saraf.

Beberapa saat kemudian, suara bip dari scanner otak menjadi lebih teratur. Helena sedikit tersenyum, sebuah tanda harapan yang samar di tengah ketegangan. "Aktivitas otaknya meningkat signifikan. Stimulasi saraf tampaknya berhasil. Kita hampir sampai." Ia membuat penyesuaian kecil pada perangkat stimulasi saraf, mengoperasikannya dengan presisi dan kehati-hatian seorang ahli bedah.

Berjam-jam berlalu, tegangan di udara semakin terasa. Helena, dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipisnya, terus memantau data vital Yumi. Perubahan signifikan mulai terlihat: denyut jantung Yumi menjadi normal, tekanan darahnya stabil, dan aktivitas otaknya menunjukkan pola yang semakin teratur. Helena mengatur napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang dan fokus. Ia memahami betapa pentingnya setiap detik dalam proses ini.

Helena perlahan melepas perangkat stimulasi saraf dan scanner otak portabel dari Yumi. Ia mengamati Yumi dengan saksama, menunggu tanda-tanda kesadaran. Setelah beberapa saat, kelopak mata Yumi berkedip pelan. Lalu, Yumi membuka matanya, menatap ke sekeliling dengan tatapan yang masih sedikit kosong, seperti seorang yang baru terbangun dari mimpi panjang.

"Reina...?" Yumi bergumam pelan, suaranya lemah dan serak.

Helena tersenyum lega, sebuah senyum kelegaan yang tulus. "Kau sudah bangun, Yumi." Ia mengambil botol kecil yang berisi cairan bening yang telah ia siapkan— sebuah ramuan khusus yang dibuatnya di lab, berisi nutrisi dan zat-zat yang dapat membantu Yumi memulihkan kondisi fisik dan mentalnya secara bertahap.

"Minumlah ini," kata Helena, memberikan botol tersebut kepada Yumi dengan gerakan lembut. "Cairan ini akan membantumu pulih."

Yumi meraih botol tersebut dengan tangan gemetar, lalu meminum cairan tersebut perlahan-lahan. Setelah beberapa saat, Yumi terlihat lebih tenang dan segar. Ia masih terlihat lemah, namun kesadarannya telah sepenuhnya kembali. Sebuah cahaya harapan mulai muncul di matanya.

Andras dan Alice menghampiri Yumi, wajah mereka dipenuhi kelegaan dan sukacita. Mereka memeluk Yumi dengan erat, menunjukkan dukungan dan kasih sayang mereka. Di bawah Jembatan Rainbow, mereka telah memenangkan sebuah pertempuran yang berat— pertempuran untuk menyelamatkan jiwa Yumi. Namun, pertempuran yang sesungguhnya baru akan dimulai— pertempuran melawan Danton dan Alexander. Mereka siap untuk itu, bersama-sama, dengan tekad yang lebih kuat.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!