Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Keluarga Angkat Serta Kekerasan (a)
"Gue heran. Kalau bukan karena abang lo, siapa yang bisa bikin lo semenderita ini, Sel?"
"Gue juga belum pernah liat lo sehancur sekarang. Gue yakin bukan karena Alvaro," tambah Bens meyakinkan asumsi Dewa sembari menilik wajah kacau Aksel.
Tiga pemuda baru saja sampai di rumah minimalis yang lokasinya cukup terpencil. Rumahnya terlihat terawat padahal tidak ada yang menetap di sana, melainkan hanya ketiga pemuda ini yang datang bila butuh ketenangan.
Seperti sekarang, ketika Aksel butuh pencerahan sebab tak lagi kuasa menampung beban pikiran sendirian. Selain keluarga, ia butuh teman untuk bercerita dan mencari jalan keluar. Dan ini saatnya, Aksel menceritakan kepada Dewa dan Bens apa yang membuatnya merasa sangat frustrasi.
Berawal dari ajakannya untuk berkencan bersama Meta, Aksel memulai kisahnya dari sana. Di ruang tamu rumah sederhana itu, Bens dan Dewa menyimak dengan saksama cerita yang keluar dari mulut sahabat mereka. Diakhiri dengan mengerasnya rahang cowok itu, bersamaan dengan memerahnya kedua netra Aksel. Meyakinkan Dewa serta Bens bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.
Napas Aksel memburu, hal yang menyakitinya adalah karena dirinya menjadi alasan, mengapa Meta sampai diperlakukan tidak manusiawi oleh ayah angkatnya sendiri. "Kalau bukan karena Meta sama ibunya nyuruh gue pergi, itu orang udah pasti mati di tangan gue. Belum lagi ada Putra di sana, gue yakin dia ngadu yang enggak-enggak ke bokapnya Meta," ungkapnya sambil mengepalkan tangan.
Bens mengerutkan dahi, sejenak berpikir ada yang tak ingin terlewat begitu saja.
"Meta anak angkat?" tanyanya yang langsung mendapat anggukan dari Aksel. "Selama ini gue pikir dia hidup enak sama orang tua kandungnya. Ya, secara mental dan fisik dia lebih kuat dari cewek-cewek pada umumnya. Bahkan mampu sekolah di SMA Gemilang dengan biaya yang lo tau nggak murah."
Aksel mengangguk setuju. "Jangan lupa kalau Meta banting tulang buat biaya sekolahnya."
"Dari dulu Putra udah deket banget sama Meta, nggak mungkin dia nggak tau soal ini. Menurut gue, lo cari pembenaran dulu sama Putra. Takutnya kalau salah bertindak, Meta sama ibunya dalam bahaya. Keluarga dia nggak normal, Sel."
"Lo ada benernya, Wa." Aksel membenarkan perkataan Dewa, ia juga mengamati ekspresi wajah Putra saat itu. Seolah bukanlah hal yang membuatnya terkejut saat Meta dipukuli oleh ayahnya sendiri. "Ketangguhan Meta ternyata bukan dari lingkungan luar, tapi ternyata dari keluarganya yang berantakan."
"Broken home emang sepelik itu untuk diartikan. Lo semua nggak bakalan nyangka, ada manusia sehina bapak angkatnya Meta."
Pengakuan Bens mendapat perhatian lebih dari kedua temannya, yang sedang berpikir akan kehidupan mengerikan Meta.
"Gue pikir bokap lo yang paling sadis, taunya masih ada lagi yang lebih ngeri. Kelakuan kayak setan, binatang aja mungkin lebih sayang sama anaknya daripada dia."
"Buset, pedes banget omongan lo, kuping gue jadi panas," balas Bens sembari mengusap kedua telinganya menghadap luapan amarah Dewa. "Jaman sekarang orang lupa punya akal, lebih sering bertindak pake nafsu, makanya kelakuannya kayak binatang!"
Aksel menghela napasnya, menyender pada punggung sofa berwarna abu-abu. "Terus aja lo ngoceh begitu, nggak akan ada yang berubah!"
"Terus rencana lo buat Meta apaan? Gue takut kejadian ini bakalan keulang lagi." Bens ingin tahu, tatapannya berubah penasaran.
"Gue ngomong dulu sama Putra, maksud dia apa ngumpet di balik tembok pas Meta dipukulin sama bokapnya."
Dewa geleng kepala sembari mengalihkan tatapan ke samping. "Gue denger cerita lo aja udah greget, apalagi elo yang langsung ada di lokasi. Pantes lo kacau banget, amarah lo nggak tersalurkan dengan baik," ujarnya.
"Besok jangan macam-macam sama murid berprestasi, bunda lo juga kasian!" peringat Bens, tidak ingin Aksel lupa jika ia juga punya tanggung jawab untuk tidak mengecewakan ibunya.
Mendengar itu, Dewa terkekeh. "Jangan karena mau nolongin orang, lo jadi lupa tanggung jawab. Yang utama tetep harus diutamain, Sel."
"Gaya lo berdua, kayak udah yang paling bener. Padahal faktanya yang paling waras di antara kita bertiga itu gue!"
"Maksud lo apa ngomong begitu? Duel?" balas Dewa tak terima. "Sama panglima badak berani bener ngerasa sok paling waras."
"Faktanya begitu kali, Bos. Kalau lo marah sama orang, lo kayak orang kesurupan, salah dikit mukul, berantem. Ada gitu orang waras kayak lo?" Pembelaan Aksel terhadap dirinya membuat Dewa kehabisan kata-kata. Sebab faktanya memang demikian, ia jadi tidak bisa menyanggah dan sok keren. "Dan lo, Bens. Kalau lo ada masalah, lo ngurung diri dan ngerokok sampe mampus! Yang paling baik emang cuma gue."
"Nggak ngotak! Tadi lo ngamuk-ngamuk di warmam itu apa? Lagi bikin pertunjukan seni? Kocak."
Bens tertawa ngakak mendengar tanggapan Dewa, jelas cowok itu juga tidak waras seperti mereka ketika ada masalah.
"Biasanya yang ngadepin masalah kayak elo gini cepet mati, Sel."
"Anjir!" Dewa bersorak. "Bisa gitu, ya, Bens? Dapat pencerahan dari mana lo?"
"Omongan lo, Bens!" tegur Aksel cepat disertai melebarnya kedua pupil matanya. "Amit-amit gue matinya cepet. Yang bener itu elo duluan yang mati karena ngerokok!"
"Kenapa jadi gue? Yang ada mah lo, nyakitin diri lo sendiri pas lagi ada masalah. Sama aja kayak gue sama Dewa, kita bertiga sama-sama nggak waras."
Aksel berdecak lelah. "Ya ... iya, sih. Tapi gue masih bisa mengendalikan diri gue sendiri," belanya.
"Bulshit! Omongan lo kosong kayak otak lo!" Dewa menyeru nyelekit, Bens sontak tertawa kegirangan. "Jiwa kita sakit, gue nggak yakin kita bisa mengendalikan diri sendiri saat situasi bikin kita tertekan."
"Ah, bacot lo pada! Nistain gue mulu, mendingan lo naik ke atas istirahat!" jengah Aksel. "Gue mau telepon Meta dulu."
Dewa dan Bens melihat pergerakan cepat Aksel yang mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celananya. Memandangi benda itu sejenak sebelum akhirnya membuat panggilan untuk Meta. Sosok yang sedang ia khawatirkan melebihi dirinya sendiri.
Selagi sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, Dewa menatap tubuh Aksel yang tak kekurangan suatu apapun. Karena kalau dia sampai melukai dirinya sendiri, itu artinya ia gagal melindungi temannya. Seulas senyum pun terbit, Dewa merasa lega berhasil mempertahankan kewarasan Aksel.
Tiba-tiba tepukan di pundaknya membuat Bens terkejut, rasanya ia baru sampai ke alam mimpi. Tapi Dewa malah menarik paksanya keluar tanpa rasa bersalah.
Bens pun berdecak sambil menjauhkan pundaknya. "Apa, sih, lo?!" bentak Bens dengan kerutan di wajahnya. "Kalau omongan lo nggak penting, gue sumpahin besok Renata minta putus!"
"Bangke!" umpat Dewa keras, menarik perhatian Aksel untuk menyaksikan perdebatan seru tersebut. "Berani banget lo ngomong kayak gitu sama pimpinan Destroyer, udah bosen liat dunia?"
"Ya elah, becanda doang gue," sungut Bens kemudian, alhasil membuat Aksel menyemburkan tawa. Di antara mereka memang Dewa lah yang terkuat, Aksel bahkan masih ingat waktu kelas sepuluh, kejadian mengerikan itu.
"Hati-hati lo sekarat mampus kayak dulu, Bens! Ini udah jam dua malam, nggak ada Wulan di sini, dihabisin lo sama Bos Dewa!"
Mata Bens melirik tajam. "Seneng lo gue diancam begini? Emang temen nggak tau diri lo! Temennya susah bukannya dibantuin malah ketawa kegirangan. Nggak ada otak!" makinya kesal.
"Gue mau nanya, nih. Besok bakalan ada pertunjukan apa di sekolah? Gue yakin Meta belum mau masuk karena takut ketahuan."
Bens dan Aksel sontak bertatapan dalam senyap. Benar yang Dewa katakan, itu artinya Aksel punya kesempatan besar untuk melayangkan sebuah peringatan kepada Putra atas apa yang sudah ia lakukan. Dia juga mengira jika murid berprestasi seperti Putra punya jiwa seperti setan. Benar-benar minta dihabisi!
Sebuah senyum mengejek tercetak di wajah Bens. "Lo mengharapkan pertunjukan yang kayak gimana, Wa? Secara, kan, lo yang paling suka hal-hal brutal kayak gitu. Aksel nggak pernah lupa diri kayak kita, jadi lo nggak perlu berharap lebih," paparnya.
"Apapun pertunjukannya, gue pasti nikmatin. Asalkan jangan bawa-bawa nama geng, karena itu namanya pengecut! Masalah lo sama Putra itu pribadi, nggak ada kaitannya sama Destroyer."
"Iya, Wa, paham gue. Gue nggak akan libatin geng kita, kecuali kalau Putra mainnya licik. Jangan salahin gue kalau gue ajakin tim inti buat nyerang dia."
"Oke!" putus Dewa. "Lagian Putra nggak seburuk yang lo pikirin, lo cuma terlalu emosi aja sama dia. Makanya bisa mikir hal-hal yang belum tentu terjadi."
"Telepon lo diangkat Meta, Sel!" Ketika Aksel hendak menyanggah perkataan Dewa, Bens lebih dulu berseru dengan histeris. Menunjuk ponsel di genggaman Aksel, dimana panggilannya sudah tersambung selama lima menit.
"Bangsat! Kenapa nggak ngomong dari tadi?!" umpat Aksel tanpa suara, Dewa dan Bens terkekeh melihatnya. "Halo, Ta?"