Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Kesabaran Teruji
Beberapa hari setelah kepergian Ranti, kedua orang itu bertindak semakin seenaknya sendiri. Arsatya yang gila kerja bahkan tidak pernah dilihat oleh orang rumah kapan dia pulang dan kapan dia pergi ke tempat kerja karena dia akan pergi di waktu pagi buta dan kembali pada saat tengah malam tiba.
Sedangkan Anindya, wanita itu lebih banyak menghabiskan waktu di kamar bersama si kembar. Anindya sama sekali tidak keluar jika tidak ada kepentingan yang mendesak. Semua aktivitas yang bisa dilakukan dengan mudah, dia bawa ke kamar si kembar.
Kali ini dia keluar karena ada kepentingan untuk meminta izin melakukan bimbingan minggu depan, harusnya itu bukan waktu yang mendadak untuk pergi. Satu minggu dari sekarang, berarti masih ada tujuh hari sebelumnya sehingga tidak ada alasan bagi seorang Arsatya melarangnya pergi.
“Bibi, Mas Satya ada di rumah?” tanya Anindya pada pembantu rumah itu.
Mungkin terdengar aneh. Mereka sepasang suami istri yang berada di bawah atap yang sama, tapi untuk mengetahui keberadaan satu sama lain, mereka bertanya pada orang lain.
“Nanti kabarkan jika sudah pulang ya, Bi,” pinta Anindya yang diiyakan oleh wanita yang sudah cukup tua itu.
Waktu menunjukkan lewat tengah malam, tetapi Anindya belum juga mendapatkan kabar apapun dari bibi. Entah bibi yang lupa atau sudah tertidur atau memang pria itu belum pulang, pikir Anindya.
Dia memutuskan untuk mengeceknya sendiri keluar dari kamarnya. Namun, saat engsel pintu berhasil di buka dari dalam, di depan pintu sudah berdiri seorang pria yang tidak lain Arsatya yang masih berpakaian rapi dengan tas dan jas putihnya yang tersampir di pergelangan tangannya.
Keduanya sama-sama terkejut, “Mas baru pulang?” tanya Anindya mengenyahkan ekspresi kagetnya.
“Bagaimana anak-anak?” bukan jawaban yang didapat, melainkan pertanyaan balik yang Arsatya berikan.
“Mereka baik-baik saja, sudah tertidur,” jawab Anindya yang dibalas dengan anggukan sekali.
Lalu, apa yang terjadi? Pria itu tidak lantas masuk ke dalam atau melihat si kembar. Dia langsung memutar tubuhnya dan berjalan menjauh. Langkahnya sama sekali tidak bergairah.
“Mas Satya,” panggil Anindya yang mengejarnya dan meraih tangah pria itu.
Namun, Arsatya menghempaskan tangan Anindya dengan kasar dan cepat membuat wanita itu terkejut.
“Lepas, jangan sembarangan sentuh!” sentak Arsatya saat tanpa aba-aba Anindya meraih tangannya.
Tatapan wajah Anindya mengiba, heran, dan matanya mengerjap-erjap karena terkesiap dengan apa yang dilakukan Arsatya pada dirinya. Ini yang kedua kalinya dia terkejut dengan sikap Arsatya.
Tidak mau wanita di depannya berpikir macam-macam tentangnya, Arsatya berucap, “Maksudku, aku masih kotor,” kata Arsatya menjelaskan apa arti hempasan tangan itu.
Anindya tidak memperpanjang masalah,fakusnya hanya pada sebuah tujuan yang harus segera terselesaikan saat bertemu dengan Arsatya, “Bisa kita bicara?” tanya Anindya mengungkapkan tujuannya.
"Sebentar," imbuhnya untuk meyakinkan bahwa ini bukan perbincangan berat.
Seakan bukan pembahasan yang penting. Tentu, ajakan Anindya mendapat penolakan, “Sudah malam, besok saja,” ucap Arsatya dengan suara lirih karena harinya sudah membuatnya letih.
Pria itu tidak mengindahkan wanita yang tidak percaya pada penolakakan yang dia dapat, "Hanya berbicara sebentar apa tidak bisa?" tanya Anindya dalam hati melihat pemlik punggung tegap itu berlalu pergi.
“Besok kapan? Kalau Mas saja pergi pagi dan pulang malam seperti ini terus-menerus, kapan kita bisa bicara?” Anindya berbicara kenyataan. Sulit sekali bertemu dengan orang itu di waktu yang sewajarnya orang-orang bisa berbincang selain sudah melewati tengah malam.
“Mas sengaja pulang larut dan pergi pagi supaya kita tidak pernah bisa bertemu, kan?” tanya Anindya menduga.
Embusan napas terdengar dari Arsatya.
Tidak peduli ucapannya tidak digubris, tidak peduli kesekian kalinya dia merasa diabaikan, tidak peduli jika saat ini Arsatya akan masuk ke dalam kamarnya. Anindya tetap mengikuti langkahnya.
“Aku mau tidur, lelah,” ujarnya saat Anindya menerobos langkah dan berdiri menghalangi pintu masuk kamarnya.
“Aku juga lelah menghadapi sikap Mas Satya yang selalu seperti ini. Kamu pikir, aku tidak lelah hanya sorang diri mengurus kedua bayi? Terlebih saat Mas mengusir mama Ranti dari sini, aku semakin kesepian!” ujar Anindya di depan pintu kamar suaminya.
“Tidurlah, Nin,” ujarnya dengan suara lemah dan berusaha tidak terbawa emosi dengan kalimat bernada tinggi yang Anindya ucapkan di hadapan. Arsatya hanya mendengus, ia terlalu tidak berenergi untuk mengurusi ocehan wanita yang menurutnya sangat cerewet itu. Ia mencoba menyingkirkan sedikit tubuh Anindya supaya ia bisa meraih gagang pintu kamarnya.
“Nggak, aku ingin bicara dulu sama kamu!” tegas wanita itu menatap tanpa takut pria yang selama ini jarang sekali ditatap wajahnya sedekat itu.
“Apa? Katakan sekarang saja,” ucap Arsatya mengalah.
Merasa diberi kesempatan waktu untuk mulai berbincang, Anindya melemahkan tubuhnya yang semuala membusung siap melawan, “Aku akan pergi bimbingan,” cicit Anindya merendahkan nada bicaranya.
“Kapan?”
“Minggu depan,” jawab Anindya. Lagi-lagi tidak ada respons apapun selain dirinya yang yang kemudian meninggalkan Anindya begitu saja di depan pintu kamarnya, sedangkan dia masuk dan mengunci pintu itu dari dalam.
Merasa ada yang aneh, lantas Anidnya berdiri kebingungan setelah ditinggalkan tanpa kata. “Jadi, kesimpulannya, aku ini diizinkan pergi atau tidak?” monolognya mencari jawaban dari sikap Arsatya yang tidak memberikan kepastian. Sikapnya yang terlalu rumit ditebak, dan tidak mudah dipahami.
Ingin dia menggedor pintu itu dan bertanya sekali lagi apa inti dari perbincangan tadi, boleh pergi atau tidak? Jangan sampai tiba-tiba ada yang mereog dan mengatakan kalau perginya mendadak.
Namun, sekali ini ia merasa kasihan pada diri sendiri. Tubuhnya sudah sangat lelah untuk kemudian bersikap sabar pada pria yang selalu menguji kesabarannya.
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano