Waktu memberi batasan pada dunia yang tidak sempurna. Dan waktulah yang terkadang menjawab setelah keegoisan seseorang mengecohkan sebuah kenyataan yang sebenarnya.
Ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan membuat Gendis Ayunda menerima keputusan untuk menikahi Bramasta Dewangga.
Pernikahan mereka yang terjalin tanpa rasa cinta itu harus terkoyak dengan kedatangan wanita yang ternyata sudah menempati hati Bram sejak lama. Seruni adalah sosok yang dicintai Bram sejak dulu. Bahkan wanita itulah yang membuatnya bersemangat untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Pilihan antara hubungan pernikahan atau cinta itu menjadi pertarungan hebat bagi Bram.
Memilih cinta yang terus berkobar dalam hatinya atau memilih sebuah hubungan yang harus dia pertanggung jawabkan pada Tuhan yang akan menjadi pilihannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Re_Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Om dan Cabe
Bram membukakan pintu mobil untuk Gendis, saat mereka sudah ada di basemant apartemen. Ini cara Bram untuk bisa berdamai dengan gadis yang masih enggan untuk bicara. Bahkan, beberapa kali Bram mendapat sikap acuh dari Gendis.
Saat mereka berjalan menuju loby, Bram meraih tangan Gendis, tapi secepatnya gadis yang sedang merasa kecewa itu menolak genggaman tangan Bram.
Bram sudah tidak peduli. Dia langsung menggenggam erat tangan Gendis sambil melirik tajam gadis di sebelahnya. Dia tidak peduli jika Gendis memberontak bahkan saat ini masih marah padanya.
"Diamlah, Ndis." lirih Bram hampir berbisik, saat beberapa orang di dalam lift memperhatikan mereka.
Gendis bertambah kesal, dia hanya bisa mengerucutkan bibir dengan memalingkan wajahnya dari Bram. Tangannya yang kecil tak mampu melawan tenaganya Bram.
Lantai 37, Bram membawa Gendis keluar dari lift dan berjalan masuk ke dalam ruangan apartemennya.
"Sementara, kita akan tinggal disini sampai kita mendapatkan rumah baru." ucap Bram saat masuk ke dalam apartemen dan membawa serta belanjaannya ke dapur.
Gendis masih mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan yang asing untuknya. Gadis itu memperhatikan satu persatu bagian-bagian dari ruangan apartemen yang selama ini ditinggali Bram.
"Satu kamar?" tanya Gendis hampir tak percaya. Ekspresi gadis itu terlihat mencemooh lelaki di depannya. Bagi Gendis sangat konyol jika mereka kembali lagi satu kamar.
"Sementara. " balas Bram.
"Bagaimana bisa?" protes Gendis. Rasa kesalnya pada Bram membuat gadis itu terlihat sifat aslinya.
"Kenapa tidak, kita suami istri?" Bram kembali memperjelas status mereka membuat Gendis hanya tersenyum mengejek. Dia tahu jika ini bukanlah yang sebenarnya.
"Palsu." gumam Gendis yang masih terdengar oleh Bram. Gadis itu langsung mendudukkam bobotnya di sofa.
"Apa, Ndis?"
"Mas Bram terkesan seperti om-om yang modus sama cabe-cabean." jelas Gendis membuat mata Bram melotot. Dia tidak menyangka jika Gendis akan membalasnya seperti ini.
Bram menatap Gendis yang terus memalingkan muka darinya. ternyata segitunya wanita jika sudah marah. Ah. rasanya dia sudah tidak sabar lagi jika harus membujuk gadis di depannya itu.
"Udah ya marahnya. Mas, udah capek dan lapar." bujuk Bram dengan mengambil duduk mendekati Gendis meskipun pada akhirnya gadis itu masih menggesar posisinya untuk menjauh.
"Ndis..." Gendis langsung berdiri saat Bram akan kembali membujuk Gendis. Entah kenapa saat melihat Gendis yang diam seperti itu, ada yang terasa berbeda.
Bram membuang nafas dan meluruhkan kedua bahunya, kemudian dia hanya menatap Gendis yang berjalan mendekat ke arah dapur.
Bram terus saja mengamati gerak istrinya yang sedang mengeluarkan beberapa kotak makanan yang dibawakan ibunya. Dia sudah tidak tahu lagi cara membujuk Gendis. Gadis itu jika sudah merajuk membuat dirinya kehabisan akal.
Bram pun beranjak dari tempat duduknya. Lelaki yang kini sudah membuka kemejanya itu kembali melangkah menghampiri istrinya yang masih terlihat muram.
"Ndis... " panggil Bram dengan lirih saat berada di samping Gendis.
"Sayang..." panggil Bram sekali lagi dengan lirih. Tapi, seketika malah mendapati Gendis melirik tajam ke arahnya. Panggilan 'sayang' itu seperti candaan bagi Bram.
"Iya, Gendis sayang... "
"Mas Braaammm..." teriak Gendis rasa marahnya kini berganti Kesal dengan sikap Bram yang dibuat -buat.
"Iya, sayang... " goda Bram dengan kedipan sebelah mata.
"Menjijikkan..." gumam Gendis saat akan beranjak mengambil piring dan sendok untuk Bram.
"Benar-benar mirip dengan om-om genit." gerutu Gendis membuat Bram terkekeh dan menyusul Gendis.
Lelaki itu kemudian menghadang langkah Gendis yang akan berbalik menuju meja makan untuk melettakkan piring dan sendok.
"Sekali lagi, Mas, minta maaf, Ndis. Sumpah. demi Allah Mas tidak bermaksud mengataimu seperti itu." ucap Bram dengan menggenggam kedua bahu istrinya. Wajahnya kali ini terlihat serius.
Gendis menatap kedua mata Bram dengan begitu intens. Dia hanya tidak tahu apa yang meski dia lakukan. Mau lepas atau bertahan dengan Bram memang sama saja. Dirinya tak pernah mendapat kesempatan memilih.
"Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku hanya punya harga diri. Jika seseorang menginjak harga diriku lalu apa gunanya aku hidup." jawab Gendis dengan tatapan mengiba. Sungguh Bram, paling tidak bisa jika melihat tatapan mata Gendis seperti itu meskipun dia tidak mencintai Gendis.
"Oh sayang..." Bram langsung merengkuh Gendis dalam pelukannya, membuat Gendis yang berusaha menolak pun harus menyerah.
"Maafin, Mas, ya!" lirih Bram dengan mengusap bahu Gendis. Seketika Gendis langsung menangis.
Perasaannya terhadap Bram. campur aduk tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa marah dan kesal membuat Gendis ingin meluapkannya saat ini.
"Loh... loh... kenapa malah kenceng, Ndis?Mas sudah minta maaf, Sayang." lanjut Bram. dengan menggoda Gendis.
Gadis itu pun meregangkan pelukan Bram. Kemudian mencubit kecil perut Bram berkali-kali hingga membuat Bram terkekeh dan mengaduh.
"Sumpah, Mas Bram mirip om-om girang." ujar Gendis seraya meninggalkan Bram untuk meletakkan piring di meja makan.
"Nggak Om girang kayaknya, adanya Tante girang. "
"Sama aja..." sungut Gendis kemudian melangkah pergi. Tapi Bram tetap mengejarnya membuat Gendis pun akhirnya menyerah.
Bel yang berbunyi membuat Bram melangkah untuk membuka pintu apartemenya, dia sudah tahu jika yang datang adalah Deska. Lelaki itu sudah memberi tahu sejak awal jika akan datang ketika Bram sudah sampai rumah.
"Sebentar, aku ambilkan bukunya." ucap Bram kemudian meninggalkan Deska yang masih mengedarkan pandangan dan menemukan sosok Gendis di dapur.
Deska sudah tahu cerita semuanya dari Bram. Dia terus saja menatap Gendis yang sedang membuat minum, secara tidak langsung Deska membandingkan Gendis dengan seruni.
"Ehm... Istriku itu, Desk. Jangan macam-macam!" ancam Bram dengan membawa sebuah buku untuk sahabatnya itu.
Deska pun tersenyum remeh. Banyak pikiran yang hinggap tentang Bram ketika melihat Gendis.
"Cantik Bram meskipun masih terlihat sangat muda sekali." komentar Deska membuat Bram menatap tajam ke arah lelaki yang tersenyum mengejek.
Bram pun tidak langsung menanggapi, saat Bram melihat Gendis datang membawa minuman dingin.
"Terima kasih. " ucap Deska saat Gendis meletakkan segelas minuman di depannya.
"Aku bisa khilaf, Bram. jika selalu bersama gadis secantik istrimu." celetuk Deska.
"Nggaklah dia masih kecil. Lagian aku sudah ada Seruni." jawab Bram singkat.
"Kecil tapi sudah baligh, Kan? Yakin, kamu tidak tertarik? " Deska kembali meyakinkan Bram. Dia sendiri merasa tertarik dengan Gendis saat pertama melihat gadis berwajah cantik dan manis itu.
"Aku hanya menganggapnya adik. Aku sudah berjanji akan melindunginya sampai dia bisa sendiri."
"Jadi tidak mungkin ada perasaan lain, seperti perasaanku pada Seruni." jelas Bram. Dia merasa perasaannya dengan Gendis hanya rasa sayang seorang Abang terhadap adiknya.
Gendis yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka dengan merapikan barang yang dia beli dari mall pun mengerti. Ada wanita lain dalam hati Bram, namanya seruni. Itu artinya dia harus punya batasan untuk perasaanya agar tidak berkembang lebih jauh.