Di suatu hari paling terpuruk di hidup Dinda, dia bertemu dengan seorang wanita paruh baya. Wanita tua yang menawarkan banyak bantuan hanya dengan satu syarat.
"Jadilah wanita bayaran."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WB&CEO BAB 16 - Sandiwara Atau Bukan?
Sudah kepalang basah mengikuti wanita bayaran itu, jadi Alden putuskan untuk masuk ke dalam rumah sakit setelah memarkirkan motornya.
Dia yang sudah tahu di mana ruangan ibu Dinda, jadi bisa berjalan dengan cepat tanpa merasa kesulitan sedikitpun.
Dari tempatnya kini melangkah, dia bahkan bisa melihat Dinda di ujung sana. Gadis itu terlalu mencolok dengan koper di tangannya, mudah untuk dia temukan.
Alden semakin mempercepat langkah, sebelum Dinda berhasil masuk ke ruangan sang ibu dia sudah lebih dulu mencekal tangan Dinda.
Gadis ini sontak saja terkejut, dengan kuat dia tepis tangan Alden itu.
"Astaga, kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Dinda dengan kedua matanya yang mendelik, dia bicara pelan namun penuh dengan penekanan. Dari nada bicaranya itu jelas sekali jika Dinda tengah merasa geram.
Sementara Alden langsung bingung harus menjawab apa, pasalnya dia pun seperti tak sadar mengikuti kemanapun wanita ini pergi.
Mungkin karena sudah tahu jika Dinda hanya diperdaya oleh Gaida, karena itulah dia merasa peduli.
"Entahlah, sepertinya banyak sekali yang ingin aku katakan pada mu," jawab Alden asal, tapi memang itulah yang ada di benaknya. Terlalu banyak praduga yang membuatnya terus bertanya-tanya, membuatnya tidak tenang dan ingin memastikannya semua pada Dinda. Terutama tentang meminta Dinda untuk menyudahi kerjasamanya dengan Gaida.
Alden tahu bahwa Gaida adalah orang yang licik.
"Dasar aneh, aku tidak punya waktu untuk meladeni keanehanmu," balas Dinda pula, masih bicara dengan suaranya yang sengit.
"Kita temui ibumu dulu, setelah itu kita bicara."
"Ini sudah larut malam Al, aku tidak mau bicara denganmu."
"Sebentar saja." Alden bahkan lebih dulu membuka pintu ruangan itu. Lalu merebut koper di tangan Dinda dan di bawanya masuk begitu saja.
Namun langkah Kaki Alden seketika terhenti saat dia lihat ibu Dinda sudah tertidur pulas.
Bahkan tidak menyadari kedatangan mereka berdua.
Melihat sang ibu yang sudah terlelap, Dinda lantas semakin menatap tajam Alden. Bisa saja karena ulah pria ini ibunya jadi terbangun.
Dinda dengan cepat kembali merebut koper miliknya, dia angkat koper itu dan diletakkannya di pinggir. Dinda terlihat begitu kuat saat mengangkat koper yang cukup berat itu, namun dia terlihat tidak kesulitan sedikitpun.
Setelahnya Dinda langsung menarik Alden untuk keluar dari ruangan ini. Kembali memberikan tatapannya yang paling tajam pada pria aneh ini.
"Pergilah! orang bertamu juga harus tau aturannya, sekarang sudah jam 12 malam!" kesal Dinda, seidkit melebih-lebihkan jam nya.
"Kamu akan pergi? kenapa membawa koper seberat itu?" tanya Alden, bukannya menanggapi ucapan Dinda, dia malah bertanya hal lain. Salah satu pertanyaan yang sedari tadi tersimpan di dalam benaknya.
"Bukan urusan mu."
"Jadi urusanku, karena aku tau siapa yang membayar mu untuk merusak hubungan ku dengan Liora. Nenek Gaida kan?"
Dinda terpaku, sesaat dia bingung bagaimana Alden bisa tahu. Dinda diam saja, sampai akhirnya Alden kembali buka suara.
"Akhiri lah kerja sama kalian, nenek Gaida memang tidak merestui hubungan kami. Tapi aku akan terus berusaha untuk meyakinkan dia," terang Alden pula.
Sementara Dinda masih tergugu, masih memikirkan bagaimana caranya untuk berkilah. Tentang Alden kini pun jadi mencurigakan baginya, pria yang harusnya tak tahu apa-apa, kini entah kenapa bisa mengetahui semuanya dengan mudah.
Dia sangat mencurigakan. Batin Dinda.
"Aku tidak mengenal siapa nenek yang kamu sebutkan itu, bahkan yang menelpon ku bukanlah seorang wanita, melainkan pria," kilah Dinda. Pura-pura tidak tahu adalah pilihannya.
"Baiklah, jika pria itu kembali menelpon mu. Katakan saja kamu ingin berhenti." Balas Alden, dia berpikir bahwa pria itu pun pastilah orang suruhan Gaida.
"Aku tidak akan bisa melakukan itu, kami sudah terikat dengan perjanjian."
"Bagaimana caranya agar perjanjian itu berakhir?"
"Perjanjian itu akan berakhir saat kamu dan Liora putus."
Alden terdiam, Dinda pun kini menatap lekat kedua mata bening milik Alden.
Tatapan wanita jalaang yang sedang coba merayu. Alden menyadari itu, sadar jika saat ini Dinda telah kembali memainkan perannya sebagai wanita penggoda.
Namun kemudian Dinda terkekeh pelan, membuat Alden jadi menatapnya bingung.
"Aku tahu kamu sangat mencintai Liora Al, tapi mengertilah juga bahwa pekerjaan ku adalah merusak hubungan kalian. Jika kamu dan Liora tetap menikah, mungkin aku juga akan datang di malam pertama kalian," ucap Dinda pula, setelahnya dia mengedipkan sebelah matanya genit dan segera masuk ke dalam ruangan sang ibu. Menutup pintunya rapat dan meninggalkan Alden di luar sana begitu saja.
Alden terpaku, Dinda adalah seorang wanita yang tidak bisa dia tebak bagaimana sifatnya.
Dia ingin iba dengan kehidupan yang dijalani oleh Dinda namun wanita itu pun tak segan pula untuk menunjukkan sisi liciknya.
Diantara perasaan bingung yang menguasai hati, Alden pun pergi dari rumah sakit itu. Berjalan pelan hingga sampai di parkiran.
Dia urung langsung naik ke atas motor saat merasakan ponselnya bergetar.
Matanya melebar saat melihat panggilan itu adalah dari Dinda.
Dia pun coba menjawabnya, meletakkan ponsel itu di telinga kiri.
"Al," panggil Dinda lirih, berbeda sekali dengan suara yang beberapa menit lalu dia dengar.
"Aku sungguh tidak tahu siapa itu nenek Gaida, tapi andai kamu mengenalnya, bisakah kamu yang memintanya untuk menghentikan perjanjian kami?" tanya Dinda, suaranya masih terdengar lirih.
Sesaat setelah Alden pergi, Dinda mulai sadar jika dia harus mengambil simpati Alden. Bukan marah-marah dan kesal karena Alden mengatainya wanita bayaran.
Karena itulah kini Dinda putuskan untuk langsung menghubungi pria itu.
Memanfaatkan kelembutan hati Alden.
Dinda kembali keluar dan melakukan panggilan telepon di kursi tunggu yang ada di depan ruangan sang ibu. Duduk disana dan bicara dengan suara lirih, seolah sedih dan sangat membutuhkan bantuan Alden.
Sementara di ujung sana Alden masih terdiam, terus mendengarkan ucapan Dinda.
"Kemarin aku bilang pada mu kan akan menceritakan ini semua pada Liora? entah bagaimana orang yang memerintah ku itu tahu, jadi dia marah dan memberikan tamparan keras di wajah ku malam ini," terang Dinda lagi.
Alden ingat jelas bekas tamparan itu di wajah Dinda.
"Aku ingin mengakhirinya, tapi aku tidak punya kekuatan untuk melakukan itu Al. Takut dia akan menyakiti mama juga karena itulah aku akan meminta mama untuk pergi dari kota ini, koper yang ku bawa tadi berisi semua baju mama." Dinda kini bingung juga, kini sedang bersandiwara atau benar menyampaikan kesedihannya. Karena tiba-tiba tanpa dia rencanakan ada air mata yang keluar dari kedua sudut matanya.
Tanpa Dinda sadari, pria ini telah jadi tempatnya untuk berbagi.
"Besok pagi aku akan mengantar mama pergi ..."
"Mungkin hari berikutnya, aku harus kembali menghancurkan hubungan mu dengan Liora ..."
"Maafkan aku Al, maafkan aku tentang itu. Aku hanya tidak berdaya, semua biaya rumah sakit Mama orang itu yang bayarkan, bahkan setelahnya dia masih memberi ku uang ..."
Dinda menunduk, menghapus air matanya sendiri yang sedari tadi keluar.
Lalu tanpa ada kata-kata lagi, Dinda langsung putuskan panggilan itu, Dia sudah terlalu banyak bicara.
Hatinya mulai tidak tenang, karena bingung ini masih sandiwara atau bukan.