"𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘪𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘬𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮, 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘱𝘢𝘮 𝘤𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.
𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵,
𝘑𝘢𝘷𝘢𝘴—𝘬𝘶𝘳𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢!"
Bagi Javas, seorang kurir dengan sejuta cara untuk mencuri perhatian, mengantarkan paket hanyalah alasan untuk bertemu dengannya: seorang janda anak satu yang menjadi langganan tetapnya. Dengan senyum menawan dan tekad sekuat baja, Javas bertekad untuk memenangkan hatinya. Tapi, masa lalu yang kelam dan tembok pertahanan yang tinggi membuat misinya terasa mustahil. Mampukah Javas menaklukkan hati sang janda, ataukah ia hanya akan menjadi kurir pengantar paket biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Resti_sR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Maminya nggak benar!
Pagi itu, udaranya tampak sejuk. Langit sudah terang, tapi suasana jalan raya masih tenang. Beberapa motor lewat dengan kecepatan sedang, kendaraan lain tidak banyak, hanya suara mesin yang terdengar sayup di kejauhan. Angin pagi yang bersih bergerak mengikuti laju motor Javas, cukup menyejukkan tapi tidak terlalu dingin.
Sapuan angin menerpa dua wajah yang berbinar bahagia. Di atas jok motor, Lala tidak berhenti bercerita tentang kesehariannya di sekolah, tentang teman-teman dan juga tentang anak yang suka mengejeknya. Dan Javas, dengan semangat menimpali setiap obrolan itu.
"Siapa nama anak nakal yang suka ejek Lala itu?" tanya Javas dengan tangan yang masih fokus pada motornya, tetapi pandangannya sesekali melirik Lala lewat kaca spion. laju motornya sangat hati-hati, apalagi jalanan yang masih lengang membuat perjalanan terasa lebih santai.
"Keano, Pi. Masa dia bilang Papi Lala pergi karena Lala nakal, padahal Lala selama ini tidak pernah nakal kok," tutur Lala mengadu. Javas menarik sudut bibirnya, wajah Lala yang terlihat menggemaskan di balik kaca spion saat gadis itu manyun.
"Sudah, nanti juga dia malu sendiri. Apalagi saat tau Papi baru Lala yang sangat tampan paripurna ini, pasti dia menyesal telah ngejek Lala." Jawab Javas masih menyelipkan pujian terhadap dirinya sendiri.
Lala mengangguk semangat, wajahnya cerah kembali. Dia bahkan sudah membayangkan bagaimana akan membungkam teman nakalnya itu nanti.
...----------------...
Motor Javas kini berhenti di depan gerbang sekolah dasar yang sudah mulai ramai dengan murid-murid lain. Suasana paginya lebih hidup, beberapa anak berlarian kecil menuju pintu kelas, sementara orang tua dan pengantar saling bergantian menurunkan anak mereka. Mayoritas mobil berjejer rapi di bahu jalan, membuat motor Javas tampak paling sederhana di sana.
Beberapa orang melirik ke arah mereka, tatapan singkat yang terasa seperti menilai. Mungkin karena motor Javas yang tidak terlalu cocok berada di lingkungan sekolah yang terkenal menampung anak-anak dari keluarga lumayan mampu. Selama ini, Lala selalu diantar Selena dengan mobil—tidak mewah, tapi cukup untuk dipandang. Berbeda dengan pagi ini, ketika gadis kecil itu turun dari motor yang terlihat biasa saja.
Tapi baik Lala dan Javas tidak peduli dengan tatapan itu. Javas hanya fokus untuk segera menurunkan Lala dari jok belakang, dan juga memberi tas warna pink itu kepada putrinya.
"Makasih, Papi." ujar Lala tersenyum bahagia.
Javas menunduk, mensejajarkan tingginya dengan Lala. Dia memegang bahu gadis kecil itu, merapikan anak rambut Lala yang tampak sedikit berantakan. Hal kecil itu seperti benar-benar keahliannya, padahal sebelum-sebelumnya pun Javas tidak kepikiran akan seperti ini, namun perlakuan kecil yang secara sadar itu menyisakan rasa hangat yang menjalar di dadanya.
"Cantik anak Papi," ujarnya penuh kelembutan.
"Nanti siang, kamu mau dijemput sama Papi atau Mami?" tanya Javas lagi.
"Dua-duanya boleh," jawab Lala polos. Javas tersenyum tipis mendengarnya.
"Baiklah, dicatat."
Lala mencium pipi pria itu dengan cepat, dan Javas membalasnya dengan kecupan halus di kening.
"Lala masuk gih," ujarnya pelan.
Lala mengangguk. Namun baru beberapa langkah, sebuah klakson panjang dari mobil yang melaju pelan di samping mereka membuat langkahnya terhenti. Gadis itu spontan berdiri lebih dekat ke sisi Javas, wajahnya langsung masam.
...----------------...
Seorang wanita muda turun dari mobil mewah itu. Penampilannya sangat cantik dan rapi, lengkap dengan aroma wangi yang terhembus setiap kali dia melangkah. Ia membuka pintu belakang, membantu seorang bocah laki-laki turun dari kursi mobilnya.
Setelah turun, anak laki-laki itu langsung berlari kecil mendekati Lala. Senyum mengejek sudah terpampang jelas di bibirnya.
"Heh, belalang. Ini siapa yang kamu bawa ke sekolah?" tanya anak itu sambil menyenggol baju Lala cukup kasar. Lala sedikit oleng dan nyaris jatuh, beruntung Javas sigap memegang bahunya.
"Haissss, piano rusak! Kamu apa-apaan sih!" Lala yang tidak terima didorong langsung membalas, mendorong bocah itu hingga ia terjatuh ke belakang.
Wajah anak itu memerah menahan malu dan amarah. Dia berdiri lagi, mendengus ke arah Lala.
"Ini tuh Papi Lala, Keano! Tampan kan?" kata Lala lantang sambil menepuk dada kecilnya bangga. "Pasti kamu iri karena kamu nggak punya Papi setampan papinya Lala."
Javas tersenyum tipis mendengar perkenalan tak terduga itu. Jadi ini bocah yang tadi diceritakan Lala—yang suka mengejeknya. Wujudnya ternyata jauh lebih kecil daripada kelakuannya.
"Huh, tampan-tampan. Masih tampan aku pun!" ujar Keano tak terima. Matanya menatap Javas dari ujung kaki sampai kepala, seolah mencari celah untuk meremehkan.
"Lagian, orang ini bukan Papi Lala. Masa beda sama yang dulu? Atau..."
Bocah itu berhenti sebentar, lalu wajahnya berubah seolah baru teringat sesuatu.
"Ah, aku ingat. Kata Tante aku, kalau Papi orang ganti-ganti itu berarti Maminya nggak benar. Pantas saja Papi Lala yang dulu ninggalin kalian. Iya kan, Tante?" lanjut Keano lantang, mulutnya benar-benar pedas. Dia menatap ke arah mobil, tempat wanita cantik yang dipanggilnya tante itu sedang sibuk menerima telepon dan tidak menyadari apa yang keponakannya ucapkan.
“Sialan, mulut anak ini lemas banget!” batin Javas. Tangannya mengepal kuat, buku-bukunya memutih. Dia benar-benar menahan diri agar tidak menyentuh bocah itu, apalagi setelah mendengar Keano berani mengatakan kalau wanitanya nggak benar.
Tatapan Javas bergerak ke Lala. Wajah gadis kecil itu sendu, matanya berkaca-kaca. Javas merendahkan tubuhnya sedikit, mencoba menangkap pandangan Lala.
“Lala, jangan dengerin omong kosong bocah ini,” ucapnya lembut. “Dia cuma nggak terima Lala bilang Papi tampan, makanya marah-marah.”
Baru setelah memastikan Lala sedikit tenang, Javas menoleh kembali ke Keano. Tatapannya berubah—dingin, tajam, kontras sekali dengan cara dia memandang Lala.
“Hei, anak kecil,” ucap Javas pelan tapi berat. “Siapa yang ngajarin kamu ngomong nggak sopan kayak tadi? Orang tua kamu nggak pernah ngajarin sopan santun, hah?”
Nada suaranya tidak tinggi, tapi tekanan setiap kata membuat bocah sekecil Keano terlihat kecil sekali. Bahunya tersentak, tubuhnya mundur selangkah.
“Ma… maaf,” gumam Keano lirih, suaranya pecah menahan tangis. Dia berlari tergesa ke arah tantenya. “Tante…” lanjutnya terisak, memeluk tangan wanita itu.
Javas menghela napas kasar untuk menurunkan emosinya. Dia kembali menatap Lala, suaranya kembali hangat.
“Sayang, kamu masuk gih. Nanti cerita ke Papi kalau anak itu apa-apain kamu di sekolah.”
Lala mengangguk paham, kemudian masuk ke area sekolah dengan langkah kecil yang kembali bersemangat.
Sementara itu, wanita cantik tadi akhirnya menutup telepon saat mendengar isakan sang keponakan.
“Ken, kenapa nangis sayang?” tanyanya lembut, meski sudah terdengar nada khawatir.
“Om itu… dia bentak Keano, Tante…” Keano menunjuk ke arah Javas dengan suara bergetar, matanya masih basah. Javas terlihat sudah memasang helm dan bersiap memutar gas motornya.
“Apa?” alis wanita itu terangkat tinggi. “Cowok miskin itu membentak kamu? Atas dasar apa? Berani-beraninya dia!” Nada suaranya berubah, emosi naik seketika. Dia menggenggam tangan Keano, lalu berjalan tegas mendekati motor Javas.
“Dia Papi barunya Lala, Tante,” ujar Keano lagi, jelas-jelas menambah bensin ke api.
Wajah wanita itu mengeras. Tangannya mengepal. Langkahnya makin cepat.
“Heh, mas!!” pekiknya lantang.
Tas branded yang digenggamnya langsung menghantam bagian depan motor Javas. Pria itu terperanjat, refleks menahan motor agar tidak oleng.
“Pria miskin! Beraninya kamu bikin keponakan saya nangis! Turun! Lepas helm kamu!” bentaknya nyalang.
Dari balik helm full-face, mata Javas langsung membola. Dia mengenali suara itu. Tanpa pikir panjang, Javas membuka helmnya cepat-cepat, rambutnya sedikit berantakan dan otomatis dia kibaskan ke belakang seperti slow motion yang tidak dia rencanakan.
Dan wanita itu spontan ternganga.
“Ja… JAVAS?!”
TBC...
hayoo, itu siapa??
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...