NovelToon NovelToon
Gadis Magang Milik Presdir

Gadis Magang Milik Presdir

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Black moonlight

Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kekacauan

Pagi itu kantor masih terasa dingin oleh AC yang terlalu kuat, tetapi suasana di ruang presdir malah lebih dingin lagi. Liam datang lebih awal dari biasanya, langkahnya berat, wajahnya tetap menampilkan garis tegang yang belum hilang sejak dua hari terakhir. Begitu duduk, ia menyalakan monitor dan langsung membuka puluhan surel yang masuk sepanjang malam.

Gema datang beberapa menit kemudian sambil membawa dua cangkir kopi panas. Ia menaruh satu di meja bosnya, dan meneguk punya sendiri sambil mengamati ekspresi Liam yang masih muram.

“Lo masih bad mood, bos?” tanyanya hati-hati.

Liam tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap layar dengan dahi mengernyit. “Karena?” Gema melanjutkan.

“Anna.”

“Ck. Remeh,” Gema menghela napas. “Kalau remeh—nggak seharusnya dong lo semarah ini sampai berhari-hari.”

Liam akhirnya menoleh. “Mungkin karena ekspektasi gue ke dia terlalu tinggi.”

“Gue rasa respon lo yang salah, bos. Lo berlebihan. Cuman teh, jadi ribut sekantor. Nggak kasihan lo? Dia anak magang. Kalau sampai di-bully gimana?”

“Peduli apa gue?” suara Liam datar, nyaris tajam.

“Ya lo harus peduli lah. Lo sendiri yang komit kantor ini anti-diskriminasi. Senioritas juga lo yang hapus.”

“Berisik lu, Gem.”

Gema mengangkat tangan seolah menyerah. “Oke. Minum kopi dulu, mood lo biar naik dikit.”

Liam hanya menarik napas panjang lalu kembali ke layar.

Hari itu seharusnya berjalan normal. Tapi begitu waktu menunjukkan pukul delapan, telepon kantor berdering. Gema mengangkat—karena biasanya sekretaris pribadi Liam yang melakukan itu.

Tak sampai satu menit kemudian, wajah Gema langsung berubah serius.

“Bos,” katanya pelan namun jelas, “Sekpri lo… Sasa… dia kecelakaan. Kakinya retak. Dia cuti minimal dua minggu.”

Liam terdiam sejenak. Berita itu menusuk kepalanya seperti beban baru yang dijatuhkan tepat di atas pundak yang sudah berat.

“Dua minggu?” ulangnya.

“Iya.”

“Ya ampun…” Liam merengut, mengusap pelipis.

Sasa adalah orang yang mengatur hampir semua alur administratif Liam: jadwal, email penting, penyaringan tamu, laporan mingguan, agenda rapat, hingga menyiapkan bahan presentasi—semua dipegang oleh satu orang itu. Sekarang, mendadak hilang.

Gema bisa menggantikan Liam secara struktural, tapi untuk pekerjaan detail administratif? Gema bukan tipenya. Ia lebih banyak bekerja di lapangan: mengurus klien, rapat darurat, memimpin ketika Liam berhalangan. Bukan mengecek dokumen.

“Gue coba atur ulang yang gue bisa dulu,” kata Gema, tetapi jelas dari nadanya bahwa hari ini akan kacau.

Dan benar saja.

Liam baru mulai mengecek email ketika notifikasi rapat masuk bertubi-tubi. Ada tiga rapat yang jadwalnya tumpang tindih karena Sasa belum sempat menyelaraskannya. Lalu bagian Legal mengirimkan revisi kontrak mendesak yang seharusnya dibahas dua hari lalu—tapi emailnya terkubur dan tidak pernah dibuka.

Liam mengetuk meja dengan gelisah. “Ini kenapa bisa lolos!? Kenapa Legal baru kirim hari ini!?”

Gema menelan ludah. “Bos… itu harusnya udah disaring Sasa dulu sebelum ke lo…”

“Ck!” Liam memijit pangkal hidung. “Oke. Oke. Gue kerjain sekarang. Lo tolong cek jadwal meeting hari ini, pindahin yang bisa dipindah.”

“Yang mana yang boleh?”

“Ya semuanya kacau, Gem! Terserah lo mau mulai dari mana!”

Gema langsung pergi. Liam menghembuskan napas panjang, memaksa dirinya fokus.

Setengah jam kemudian, ruangannya sudah seperti kapal yang mau karam. Dokumen menumpuk, telepon berdering tanpa henti, email masuk setiap menit.

Sekretaris general menelpon menanyakan bahan presentasi untuk meeting besar jam dua siang.

Padahal… bahan itu pun belum dibuat.

Liam menutup wajah dengan tangan. “Sasa biasanya nyiapin struktur slidenya…” gumamnya.

Ia membuka laptop, mencoba membuat dari nol. Tapi pikirannya berceceran—terganggu oleh tumpukan masalah lain yang datang berurutan.

Kemudian, Door—door—door.

Gema masuk terburu-buru.

“Bos, HR minta tanda tangan mendesak. Terus Finance cari laporan anggaran Q3. Marketing nunggu persetujuan desain kampanye. Terus… eee… Pak Bima mau ketemu lo lima menit katanya penting.”

Liam menatapnya kosong. “Gue bukan dewa, Gem.”

“Gue tau…” Gema mengangkat berkas-berkas itu. “Tapi semua nyari lo karena lo presdir. Mau gimana lagi.”

Liam menutup laptop, berdiri, lalu berjalan mondar-mandir.

Mood buruknya sejak insiden itu membuat emosinya mudah naik, dan sekarang kekacauan administrasi menambah bensin ke dalam api.

“Gue bahkan belum sarapan,” gumamnya.

“Minum kopi dulu kek.”

“Gue nggak butuh kopi sekarang. Gue butuh… dua kloningan Sasa.”

Gema ngakak kecil, tapi langsung berhenti ketika melihat tatapan Liam yang benar-benar serius.

“Gue cari staf admin buat sementara ya? Gue broadcast ke beberapa divisi—siapa tau bisa pinjem orang sehari dua hari.”

Liam mengangguk. “Apa pun. Asal ada yang ngebantu ngurusi file.”

Gema pun pergi.

Sejak itu, waktu berjalan seperti serangan beruntun.

Jam sembilan, rapat awal minggu molor tiga puluh menit karena sebagian dokumen belum dicetak. Biasanya Sasa sudah menyiapkan semuanya di meja rapat. Tanpa itu… rapat jadi berantakan.

Jam sepuluh, dua klien tiba-tiba datang tanpa janji—Sasa lah yang biasa menyaring tamu.

Liam terpaksa menemui mereka dengan kepala penuh hal lain.

Jam sebelas, email penting dari partner luar negeri hilang entah ke mana, tidak ada siapa pun yang memindahkannya ke folder urgent.

Jam dua belas, Liam makan siang sambil berdiri karena rapat berikutnya sudah menunggu.

Sepanjang hari, wajahnya tidak pernah melunak. Gema yang biasanya suka bercanda pun memilih diam karena tahu bosnya sedang nyaris meledak.

Menjelang sore, suasana makin memanas.

Di ruang rapat besar, Liam memimpin meeting strategis bulanan. Semua pimpinan divisi hadir, tapi sejak awal mereka semua tampak tegang. Tidak ada satu pun yang berani bercanda seperti biasa karena ekspresi Liam benar-benar gelap.

Setiap presentasi yang tidak lengkap, setiap angka yang tidak sinkron, setiap penjelasan yang bertele-tele—semua langsung kena tegur.

“Tolong jelasin ke saya,” kata Liam sambil menatap salah satu manajer operasional, “kenapa grafik cost projection bisa beda sama laporan Finance?”

“Ma-maaf Pak, saya pikir—”

“Masalahnya bukan lmikir apa. Masalahnya data ini kacau. Kalau kayak gini, gimana saya mau ambil keputusan?”

Ruangan membeku. Tidak ada yang berani memotong. Bahkan Gema yang duduk di ujung tampak menelan ludah.

Beberapa manajer saling lirik—semua sadar mood Liam sedang tidak stabil, tetapi tidak ada yang berani menyentuh topik itu.

Mereka hanya bisa berusaha menyelesaikan meeting tanpa memperparah keadaan.

Setengah jam berlalu dengan ketegangan yang konstan.

Dan ketika satu manajer lagi salah menyebut angka, Liam menutup file dengan keras.

“Udah! Stop. Saya kasih waktu dua jam. Perbaiki semua. Kita ulang rapat jam lima.”

Para pimpinan berdiri dengan gugup. Suara kursi geser terdengar seperti sesuatu yang menakutkan.

Ketika satu per satu keluar, Gema hanya menatap Liam dengan prihatin.

“Lo… bakal bikin satu kantor stres, bos.”

“Biarin.”

“Lo begini tuh bukan karena data mereka kacau, tapi karena lo sendiri lagi kacau.”

Liam menatapnya tajam. “Gue baik-baik aja.”

“Tampang lo nggak bilang gitu.”

“Sudah, Gem. Gue nggak mau bahas.”

Gema menghela napas. Ia tahu sumber kekacauan hari ini bukan hanya soal administrasi atau Sasa yang cuti. Kemarahan Liam—yang tak kunjung padam—seolah membuat segalanya jadi dua kali lebih buruk.

Dan tanpa ada yang mengatakannya dengan lantang…

semua orang tahu:

Mood buruk Liam dimulai sejak insiden teh panas itu.

Sejak Anna.

Namun tidak ada yang berani menyebut nama itu di hadapan Liam.

Tidak kecuali Gema.

Dan bahkan dia pun memilih diam hari ini.

Sore itu, Liam kembali duduk, mengatur napas, menatap laptop yang penuh notifikasi tak terjawab.

Hari itu belum selesai.

Tapi energi Liam seolah sudah habis jauh sebelum jam makan siang.

Dan kantor pun mengikuti moodnya—sunyi, tegang, dan berjalan di atas pecahan kaca.

1
Noer Edha
karya ini membuat kita masuk dalm arus ceritqnya...setiap kalimatx tersusun..dan memuaskan bagi sqya yang membacanya..
Evi Lusiana
sial bner nasib ana thor punya boss ky gk puny hati
Evi Lusiana
dasar boss aneh,msih mencari² titik lemah ny seseorang yg bnr² cerdas
Evi Lusiana
kesempatan datang bwt ana
Drezzlle
udah jatuh tertimpa tangga ya rasanya pasti
Evi Lusiana
betul kt lusi,ceo kok gk profesional
Evi Lusiana
egois gk sih si liam,jd bos besar hrsny profesional kko pun mo memberi hukuman sm ana y gpp tp jgn smp smua org jd mengucilkany krn kmarahan liam sm smuany
Evi Lusiana
bagus critany thor,perusahaan yg tdk hny mnilai fisik lbih k kmampuan calon karyawan ny
Evi Lusiana
percayalah ana tiada perjuangan gg sia2
Evi Lusiana
mewek bacany thor,bayangin hdp merantau sndr menanggung beban sndri
Evi Lusiana
semangat ana kebahagiaan menantimu
Valen Angelina
makanya Liam jgn jahat2 ..nnti jatuh cinta gmn wkwkwkw🤣
Valen Angelina
bagus ceritanya...moga lancar ya 💪💪💪
Valen Angelina
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!