NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bagian 9

Flashback — 20 Tahun Lalu

Langit sore itu berwarna jingga pucat. Angin berhembus pelan, menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah besar keluarga Hendrawan Pangestu. Di balik pagar besi putih yang tingginya hampir menyamai tubuhnya, seorang anak perempuan kecil berdiri sambil memeluk boneka beruang cokelat yang sudah sedikit usang.

Namanya Bianca Kartika.

Usianya baru lima tahun.

Rambutnya dikuncir dua dengan pita merah muda, pipinya chubby, dan matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Sejak pagi, ia bolak-balik berdiri di depan pagar itu menunggu sesuatu yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya.

Rumah di seberang jalan.

Rumah besar bercat krem dengan halaman luas yang sudah lama kosong. Bertahun-tahun tak berpenghuni. Tidak ada suara. Tidak ada lampu. Tidak ada anak-anak. Bagi Bianca kecil, rumah itu seperti tempat misterius yang selalu membuatnya penasaran.

Hari itu, untuk pertama kalinya, gerbang rumah itu terbuka.

Truk besar berhenti di depan rumah. Kardus-kardus diturunkan. Beberapa orang dewasa berlalu-lalang. Suara-suara asing memenuhi udara sore.

Bianca menoleh cepat ke arah ibunya yang sedang duduk di teras, menyesap teh hangat.

“Ma!” serunya nyaring sambil menunjuk ke depan. “Rumah depan rame!”

Lestari Fatmala menoleh, tersenyum lembut. “Iya, Sayang. Kayaknya ada yang mau tinggal di sana.”

Mata Bianca membesar. “Jadi… kita punya tetangga?”

“Iya,” jawab Lestari sambil bangkit berdiri. “Kita kedatangan keluarga baru.”

Bianca melompat kecil di tempat. Boneka beruangnya hampir terjatuh.

“Keluarga baru?” ulangnya riang. “Ada anaknya, Ma? Ada anaknya, kan?”

Lestari terkekeh melihat antusiasme putrinya. “Mama juga belum tahu.”

Bianca memeluk bonekanya lebih erat, lalu berdiri lebih dekat ke pagar. Matanya tak berkedip, memperhatikan setiap gerak di rumah seberang.

Tak lama kemudian, seorang wanita dewasa keluar dari rumah itu. Wajahnya terlihat lelah, matanya sembab, tapi senyumnya tetap hangat saat berbicara dengan seseorang di sampingnya. Di belakang wanita itu, muncul seorang pria dewasa dengan postur tinggi dan wajah tegas.

Lalu—

Seorang anak laki-laki.

Usianya sekitar tujuh tahun. Lebih tinggi dari Bianca. Rambutnya hitam, rapi. Wajahnya tampan bahkan untuk ukuran anak kecil tapi tidak ada senyum di sana. Matanya kosong. Tatapannya jauh, seolah tidak benar-benar berada di tempat itu.

Ia berdiri diam di halaman rumahnya, tangan di saku, menatap tanah.

Bianca terdiam sesaat.

Lalu—

“MAAAA!” Bianca berteriak kegirangan. “AKU PUNYA KAKAK!”

Lestari terkejut. “Bianca!”

Namun Bianca sudah terlalu bersemangat untuk peduli. Ia melompat-lompat sambil menunjuk ke arah anak laki-laki itu.

“Lihat, Ma! Kakak itu! Dia kakakku!” katanya dengan penuh keyakinan, meski mereka bahkan belum saling menatap.

Lestari menutup mulutnya menahan tawa. “Sayang, itu belum tentu kakakmu.”

“Tapi dia lebih gede dari aku,” bantah Bianca polos. “Berarti kakak!”

Lestari tertawa kecil, mendekat, lalu mengelus kepala putrinya. “Kamu belum kenal namanya.”

“Nanti juga kenal,” jawab Bianca santai. “Yang penting aku punya teman.”

Ia berdiri berjinjit, melambaikan tangan ke arah rumah seberang, meski jaraknya cukup jauh.

“HAAAAAIII!” teriaknya sekeras mungkin.

Anak laki-laki itu menoleh.

Untuk pertama kalinya, mata mereka bertemu.

Bianca tersenyum lebar senyum anak kecil yang tulus, tanpa beban. Senyum yang seolah berkata aku senang kamu ada di sini.

Namun anak laki-laki itu tidak membalas.

Wajahnya tetap datar. Ia menatap Bianca beberapa detik, lalu mengalihkan pandangannya kembali. Tidak melambaikan tangan. Tidak tersenyum.

Bianca tidak kecewa.

Sebaliknya, ia justru tersenyum lebih lebar.

“Ma,” katanya dengan suara penuh keyakinan, “kakakku malu.”

Lestari tertawa lepas. “Kamu lucu sekali, sih.”

Bianca mengangguk mantap. “Iya. Nanti juga dia mau main sama aku.”

Ia kembali berdiri di pagar, memeluk bonekanya sambil mengamati anak laki-laki itu. Tak ada rasa takut. Tak ada ragu. Hanya rasa penasaran dan bahagia yang meluap-luap.

Sementara itu, di halaman seberang

Anak laki-laki itu berdiri kaku. Ia mendengar teriakan Bianca tadi. Ia melihat lambaian tangan itu. Namun di dadanya, tidak ada ruang untuk membalas.

Hatinya masih berat.

Beberapa hari sebelumnya, ia kehilangan sesuatu yang sangat besar. Adik perempuannya. Dunia yang ia kenal runtuh begitu saja. Rumah baru ini bukan awal yang menyenangkan melainkan pelarian dari kenangan yang menyakitkan.

Namanya Sadewa Putra Yudistira.

Ia tidak mengerti kenapa anak perempuan kecil itu bisa tertawa sebahagia itu. Kenapa dunia terlihat begitu ringan baginya.

Ia hanya tahu satu hal ia tidak ingin dekat dengan siapa pun.

Namun dari balik pagar putih itu, ada sepasang mata kecil yang terus memperhatikannya tanpa menuntut apa pun.

Hari mulai gelap. Lestari mengajak Bianca masuk ke rumah.

“Ayo, sudah sore.”

Bianca menurut, tapi sebelum masuk, ia menoleh lagi ke rumah seberang.

“Kakak!” teriaknya sekali lagi. “Besok aku main lagi, ya!”

Tidak ada jawaban.

Namun Bianca tersenyum puas, seolah sudah mendapat persetujuan.

Saat pintu rumah ditutup, Lestari menggeleng sambil tersenyum. “Anak Mama ini aneh.”

Bianca memeluk boneka beruangnya, matanya berbinar. “Ma, aku senang banget hari ini.”

“Kenapa?”

“Karena aku punya tetangga,” jawabnya ceria. “Dan aku punya kakak.”

Lestari tertawa, mengusap pipi putrinya. Ia tidak tahu tidak satu pun dari mereka tahu bahwa teriakan polos itu akan menjadi awal dari ikatan yang tak pernah benar-benar putus, bahkan dua puluh tahun kemudian.

Sore itu, di antara pagar putih dan rumah yang baru dihuni,

kebahagiaan kecil Bianca bertemu dengan luka besar Sadewa tanpa mereka sadari, takdir sedang mulai menenun kisahnya.

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!