NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suamiku Yang Mulai Hadir Lebih Nyata

Sejak malam di klinik itu, ada sesuatu yang berubah bukan di sekelilingku, tapi di dalam diriku sendiri. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa berdiri sendirian di tengah kekacauan ini.

Dan perubahan itu bernama Ardi.

Pagi datang dengan langkah pelan. Raka masih terlelap dengan infus kecil di tangannya. Nafasnya lebih teratur dibanding semalam, meski wajahnya masih begitu pucat. Ibu tertidur di kursi samping ranjang, kepalanya bersandar ke dinding. Aku menyelimuti bahunya pelan sebelum keluar kamar.

Di dapur, Ardi sudah berdiri. Ia memakai kaus sederhana dan celana training, mengaduk air di panci.

“Kamu udah bangun dari tadi?” tanyaku.

“Iya. Mau bikinin Bubur buat Raka sama Ibu,” jawabnya tanpa menoleh.

Aku terdiam beberapa detik. Pemandangan itu terasa janggal, tapi sekaligus menghangatkan. Suamiku yang dulu terasa jauh dan datar kini berdiri di dapur rumah ibuku tanpa canggung.

“Biar aku bantu,” kataku.

“Kamu duduk aja. Semalam kamu kurang tidur.”

Aku ingin membantah, tapi tubuhku terlalu lelah untuk berdebat. Aku duduk di kursi makan, memandangi punggungnya. Gerakannya sederhana, tidak cekatan, tapi penuh niat.

Tak lama, aroma bubur hangat mengisi dapur. “Kamu berubah,” ucapku tiba-tiba.

Ardi berhenti mengaduk. “Berubah gimana?”

“Lebih… hadir.”

Ia menoleh, menatapku dalam. “Mungkin karena selama ini aku baru benar-benar melihat kamu.”

Aku tercekat. Kata-kata itu terdengar terlalu jujur.

 ~~~

Raka bangun menjelang siang. Ia tampak lebih baik, meski masih lemas. Ardi yang menggendongnya keluar kamar, bukan aku. Raka bahkan tidak menolak. Bocah itu bersandar di dada Ardi, seperti menemukan rasa aman yang baru.

“Kak Alya…” panggilnya lirih.

“Aku di sini,” jawabku sambil mendekat.

Ardi meletakkannya pelan di sofa. “Makan sedikit dulu ya, jagoan.”

Raka mengangguk kecil.

Ibu keluar dari kamar dengan mata sembab. Saat melihat Ardi menyuapi Raka pelan-pelan, langkahnya terhenti.

Ia menatap kami dengan wajah yang sulit kuartikan antara terharu dan tak percaya.

“Ardi… terima kasih,” ucap Ibu pelan.

Ardi menoleh dan tersenyum sopan. “Sudah kewajiban saya, Bu.”

Kata “kewajiban” itu terdengar begitu berbeda dari mulutnya kali ini tidak kaku, tidak terpaksa.

 ~~~

Siang itu, Dimas pulang lebih awal. Ia berdiri di ambang pintu, memandangi Ardi yang masih menemani Raka.

“Hyung rajin juga sekarang,” katanya setengah bercanda.

Ardi menoleh padanya. “Absen bengkel?”

“Libur paksa,” balas Dimas sambil nyengir tipis. “Mesin rusak semua.”

Aku melihat mata Dimas dan Ardi saling bertemu. Ada jarak di sana, tapi juga ada awal dari sesuatu yang baru: saling mengakui.

“Minum dulu, Mas,” tawarku.

Kami duduk bertiga di ruang tengah. Suasananya sedikit canggung, tapi tidak lagi tegang. Dimas menyesap tehnya dan melirik Ardi.

“Makasih sudah bantu Alya,” katanya akhirnya.

Ardi mengangguk kecil. “Kita satu keluarga sekarang.”

Kalimat itu membuat dadaku menghangat dan juga sedikit nyeri. Selama ini, aku belum pernah benar-benar merasakan arti “keluarga” dari pernikahan ini. Tapi hari ini… definisinya mulai mengambil bentuk.

Sore hari, Laras keluar dari kamar. Wajahnya masih muram, tapi ia duduk bersama kami di ruang tamu. Ardi yang lebih dulu membuka suara.

“Kamu nggak usah mikirin apa-apa dulu. Fokus aja sama kondisi kamu.”

Laras menatapnya ragu. “Mas nggak maksa aku buat ‘baik-baik aja’?”

Ardi menggeleng. “Nggak. Kadang, luka butuh waktu untuk sembuh. Dipaksa pun malah makin perih.”

Aku menoleh padanya. Kalimat itu bukan hanya untuk Laras, kurasa itu juga untukku.

Laras mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya setelah kehilangan itu, matanya tidak sepenuhnya kosong.

“Terima kasih, Mas.” Ardi tersenyum tipis.

Dan aku merasakan sesuatu yang menguat pelan-pelan dalam diriku:

Suamiku… tidak lagi hanya berdiri di sampingku sebagai status.

Ia mulai benar-benar berdiri di dalam hidupku.

 ~~~

Malam datang lagi. Setelah semua tertidur, aku duduk di teras kecil rumah. Udara dingin menusuk kulit. Aku menarik selimut lebih rapat ke tubuh.

Ardi keluar membawa dua cangkir teh hangat. Ia menyerahkan salah satunya padaku.

“Kamu kelihatan lebih diam dari biasanya malam ini.”

Aku tersenyum tipis. “Aku lagi belajar percaya.”

“Pada apa?”

“Pada pernikahan ini.”

Ia terdiam sesaat. “Aku juga.”

Aku menatap gelap di depan rumah. Untuk pertama kalinya, masa depan tidak terasa sepenuhnya menakutkan. Masih suram, masih penuh luka, tapi kini… ada dua pasang kaki yang berjalan di jalur yang sama.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya pula, aku tidak lagi hanya menjadi tempat bersandar, aku juga mulai belajar bersandar.

Malam semakin larut. Teh di cangkir kami sudah tinggal setengah, uapnya menipis pelan-pelan. Aku masih menatap kosong ke jalanan yang lengang ketika suara Ardi memecah kesunyian.

“Kamu capek.”

Bukan pertanyaan. Sebuah pernyataan.

“Aku selalu capek,” jawabku jujur tanpa menoleh. “Sejak Ayah dan Ibu berpisah, sejak bayi itu pergi, sejak keluarga ini seperti runtuh satu per satu.”

Ardi terdiam. Aku bisa merasakan tatapannya tertuju padaku.

“Dan kamu?” tanyaku akhirnya. “Kamu benar-benar siap ada di tengah semua ini?”

Pertanyaan itu keluar begitu saja. Bukan karena ingin menyerangnya, tapi karena aku sendiri takut pada jawabannya.

Ardi menghela napas panjang. “Aku juga takut, Alya. Aku menikah karena orang tua, iya. Tapi aku bertahan karena kamu.”

Aku menoleh cepat. “Sejak kapan?”

“Sejak aku lihat kamu berdiri sendirian di antara keluargamu yang retak. Sejak aku lihat kamu selalu kuat, padahal seharusnya kamu juga boleh rapuh.”

Dadaku bergetar. Aku menunduk, menahan air mata yang sejak tadi berusaha keluar.

“Selama ini kamu seperti tembok,” lanjutnya pelan. “Aku nggak tahu di balik tembok itu ada luka sedalam ini.”

“Aku nggak ingin orang lain terbebani oleh lukaku.”

“Termasuk suamimu sendiri?” Aku terdiam.

Kata itu suamimu kini terdengar jauh lebih berarti daripada sebelumnya.

 ~~~

Keesokan harinya, kabar buruk datang lagi.

Dokter menelepon. Kondisi jantung Raka butuh observasi lebih lanjut di rumah sakit kota. Klinik kecil ini tak punya alat lengkap. Ibu langsung panik, Dimas pucat, Laras menangis tanpa suara.

Dan kali ini, Ardi yang lebih dulu berdiri.

“Kita berangkat sekarang.”

“Biayanya…” Ibu ragu-ragu.

“Akan saya urus, Bu.”

Aku menatapnya kaget. “Ardi, ini bukan hal kecil!”

Ia menoleh padaku. “Alya… ini keluarga kamu. Sekarang juga keluargaku.”

Kami berangkat dengan satu mobil kecil yang terasa penuh oleh kecemasan. Raka terbaring di pangkuanku. Tangannya dingin, jemarinya genggam erat jari telunjukku.

“Kak… aku takut,” bisiknya.

Aku menahan gemetar di dadaku. “Kakak di sini, Nak.”

Ardi mengemudi dengan rahang mengeras. Tak banyak bicara, tapi aku tahu pikirannya sedang berlari ke mana-mana.

Di rumah sakit, suasana langsung berubah tegang. Raka dibawa ke ruang pemeriksaan. Kami menunggu di kursi lorong yang dingin dan panjang.

Ibu terus membaca doa dengan suara bergetar. Dimas mondar-mandir. Laras hanya menunduk, memeluk perutnya yang masih saja terasa kosong setelah kehilangan itu.

Aku duduk terpaku. Ardi tiba-tiba menggenggam tanganku. “Kamu nggak sendirian.”

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokanku terkunci oleh rasa takut.

 ~~~

Dokter keluar setelah satu jam yang terasa seperti seabad.

“Kondisinya lemah, tapi masih stabil. Kita akan rawat inap dulu.”

Kami semua menghela napas lega, meski belum sepenuhnya aman.

Saat malam turun, hanya aku dan Ardi yang boleh menemani Raka. Ibu kami paksa pulang untuk beristirahat, meski ia menolak dengan mata berkaca-kaca.

Di ruang rawat, Raka terlelap dengan selang kecil di hidungnya. Aku duduk di samping ranjang, memandangi wajahnya yang begitu kecil dan rapuh.

“Kadang aku takut,” ucapku lirih pada Ardi.

“Takut kehilangan lagi?” Aku mengangguk.

Ardi duduk di kursi seberang. “Aku juga.”

Kami terdiam cukup lama. Hanya suara mesin medis yang terdengar pelan.

“Alya,” panggilnya akhirnya.

“Hm?”

“Kalau suatu hari nanti aku juga kehilangan kamu… aku nggak tahu apakah aku masih bisa berdiri seperti sekarang.”

Aku menoleh, menatap matanya. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar melihat ketakutan di sana.

“Kamu nggak akan kehilangan aku,” kataku spontan.

Ia tersenyum kecil. “Jawaban paling berani yang pernah kamu beri.”

 ~~~

Esoknya, sebuah kabar lain datang kabar yang bukan tentang sakit, tapi tentang jarak.

Ayah mengirim pesan singkat: Jaga adik-adikmu. Ayah belum bisa pulang.

Aku menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Kata-kata itu begitu pendek, tapi beratnya seolah menindih seluruh dadaku.

“Ayah nggak datang?” tanya Laras pelan saat aku membacakannya.

Aku menggeleng. Air mata Laras jatuh.

Dan lagi-lagi, Ardi yang lebih dulu merangkulnya sebelum aku sempat bergerak. Pelukan itu canggung, tapi penuh makna.

Ia benar-benar berada di tengah kami sekarang.

 ~~~

Malam berikutnya di rumah sakit, saat semua tidur, aku keluar ke lorong. Aku tak menyadari Ardi mengikutiku hingga ia berdiri di sampingku di depan jendela besar.

“Kamu ingin menangis?” tanyanya lembut.

Aku tersenyum pahit. “Aku lelah menyimpan.”

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Untuk pertama kalinya sejak semuanya runtuh, aku menangis tanpa menahan. Tangisku sunyi, tapi bahuku berguncang hebat.

Ardi memelukku. Bukan seperti suami yang kaku. Bukan sebagai pria asing. Tapi sebagai seseorang yang sungguh ingin menjadi tempat pulang.

Aku menangis di dadanya. Untuk Ayah dan Ibu. Untuk adikku. Untuk bayi yang tak sempat bernapas. Untuk semuanya yang kupikul sendirian selama ini.

“Aku di sini,” bisiknya. “Dan kali ini, aku nggak akan pergi lagi.”

 ~~~

Hari demi hari di rumah sakit berjalan pelan. Raka sedikit demi sedikit membaik. Nafsu makannya mulai kembali, meski cepat lelah.

Suatu sore, ia menarik lengan Ardi pelan.

“Mas… temani aku main sebentar?”

Ardi tersenyum kaku. “Mas nggak jago main.”

“Temani aja,” rengek Raka.

Dan Ardi pun duduk di lantai, memainkan mobil-mobilan kecil bersama Raka. Dimas memotret mereka diam-diam. Laras tersenyum samar untuk pertama kalinya sejak lama.

Aku berdiri di ambang pintu.

Melihat pemandangan itu, ada satu kesimpulan yang tumbuh perlahan di hatiku:

Suamiku mungkin tidak datang di awal kisah ini sebagai pahlawan.

Tapi sekarang, ia sedang belajar menjadi seseorang yang layak diperjuangkan.

 ~~~

Malam sebelum Raka dipulangkan, Ardi berkata padaku dengan suara pelan di balkon kecil rumah sakit.

“Setelah ini… kita pulang ke rumah kita.”

Aku terdiam. “Rumah kita yang mana?”

“Yang akan kita bangun ulang. Sama-sama.”

Aku menatapnya. “Kamu yakin ingin tetap tinggal di hidupku yang berantakan ini?”

Ia tersenyum kecil, tapi mantap. “Aku bukan datang untuk hidup yang sempurna. Aku datang untuk hidup yang nyata.”

Hatiku bergetar. Untuk pertama kalinya, aku tidak lagi hanya merasa sebagai istri karena terpaksa aku mulai merasa dipilih.

Dan itulah titik di mana suamiku… Mulai hadir bukan hanya sebagai status, tapi sebagai sandaran yang benar-benar nyata.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!