Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: Terjebak di Kegelapan
Aroma tajam kloroform menusuk hidung Risa, memaksa setiap sel dalam tubuhnya untuk menyerah. Jeritan yang tertahan di tenggorokan lenyap, digantikan oleh dengungan memekakkan di telinga. Bayangan hitam yang menjulang di atasnya, dengan dua titik merah menyala yang terasa seperti lubang neraka, kini berputar-putar, semakin kabur, semakin jauh. Kesadarannya ditarik paksa, seolah ada tangan tak kasat mata yang menjambak otaknya ke dalam jurang kegelapan tanpa dasar. Namun, ada satu hal yang menolak untuk pergi—wajah pucat ibunya, transparan seperti kabut, mata kosong yang menyimpan duka tak terhingga, dan bisikan terakhirnya yang seolah berusaha menembus tirai kegelapan, “Jangan… Jangan ke sana…”
Lalu, hening. Gelap. Dingin. Risa tidak tahu berapa lama ia terperangkap dalam ketiadaan. Waktu kehilangan maknanya. Ia hanya melayang, kadang seperti jatuh, kadang seperti ditarik. Otaknya berjuang keras, mencoba meraih kembali sepotong memori, sepotong cahaya. Ia merasa ada sesuatu yang berbisik, memanggil namanya, tapi suaranya terlalu jauh, terlalu samar, seperti bergema dari dunia lain.
Perlahan, sangat perlahan, indranya mulai kembali. Pertama, rasa dingin yang menusuk tulang, diikuti oleh bau tanah lembap bercampur lumut dan karat. Lalu, suara. Suara tetesan air yang jatuh secara ritmis, menciptakan melodi aneh di tengah keheningan yang menyesakkan. Kemudian, sentuhan. Permukaan kasar dan dingin di bawah tubuhnya, seolah ia terbaring di atas batu yang telah lama ditinggalkan. Dan akhirnya, penglihatan.
Kelopak matanya terasa sangat berat, seperti digantungi beban timah. Risa mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha membiasakan diri dengan kegelapan pekat yang menyelimutinya. Hanya ada satu sumber cahaya, sangat redup, berasal dari celah kecil di atas kepalanya, memancarkan seberkas benang perak yang nyaris tidak terlihat. Cukup untuk memberinya gambaran samar tentang di mana ia berada. Dinding-dinding batu yang menjulang tinggi, lumut tebal yang tumbuh di celah-celahnya, dan bau apek yang menusuk. Ia berada di sebuah lubang. Atau lebih tepatnya, sebuah sumur.
Sumur tua yang selalu ia hindari. Sumur yang bisikan ibunya melarangnya untuk mendekat.
Risa mencoba bergerak, tapi rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya langsung menghentikannya. Pergelangan kakinya berdenyut-denyut nyeri, kemungkinan terkilir atau bahkan patah saat ia jatuh. Lengannya terasa perih, bekas cakaran duri di semak-semak tadi masih terasa jelas. Tapi yang terburuk adalah kepalanya. Berdenyut hebat, seolah ada palu godam yang memukul-mukul dari dalam. Napasnya tersengal, panik mulai merayap naik ke kerongkongannya. Ia sendirian. Terjebak.
“Bibi… Bibi Lastri…” Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia mencoba memanggil, berharap ada jawaban. Tapi yang ia dengar hanyalah gema lemah suaranya sendiri, menari-nari di dinding sumur yang lembap.
Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang terasa berat, seperti beban yang menghimpit dada. Air matanya menetes, hangat membasahi pipi dinginnya. Ia benci ini. Benci rasa tak berdaya ini. Benci Bibi Lastri. Semua kemarahan, ketakutan, dan keputusasaan bercampur aduk menjadi satu gumpalan pahit di ulu hatinya.
Risa menggeser tubuhnya sedikit, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. Punggungnya menempel ke dinding sumur yang dingin dan licin. Matanya menyapu sekeliling, berharap menemukan sesuatu, apa pun, yang bisa membantunya. Tapi yang ada hanyalah kegelapan dan dinding batu yang tak berujung.
“Nggak… gue nggak bisa menyerah di sini,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya sedikit lebih kuat. Ia memejamkan mata, berusaha mengumpulkan kekuatan. Ingatan akan wajah Kevin terlintas di benaknya. Mata tajamnya, senyum tipisnya, dan caranya selalu mencoba melindunginya. Kevin pasti mencarinya. Dia pasti.
Ingatan itu memberinya sedikit dorongan. Risa mencoba menggerakkan kakinya lagi. Nyeri itu masih ada, menusuk, tapi kali ini ia tidak menyerah. Ia menggunakan lengannya untuk menyeret tubuhnya sedikit lebih jauh, hingga ia bisa bersandar sepenuhnya di dinding sumur. Tangannya meraba-raba permukaan kasar, mencoba mencari pegangan. Tidak ada.
Di dasar sumur itu, ia melihat genangan air yang sangat dangkal, keruh, dan menghitam. Aroma busuk tercium samar-samar, membuat perutnya mual. Pasti ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membusuk. Ia tidak berani membayangkan apa. Atau siapa.
Ketakutan kembali mencengkeram. Risa ingat bisikan ibunya. “Jangan ke sana.” Sekarang ia mengerti. Bukan hanya sumur itu yang berbahaya, tapi apa yang ada di dalamnya. Apa yang disembunyikan di sini.
Tiba-tiba, sebuah suara gemerisik halus terdengar dari sudut gelap sumur. Risa menahan napas. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri. Apa itu? Seekor hewan? Atau… sesuatu yang lain?
Ia memusatkan pandangannya ke arah suara. Kegelapan di sana terlalu pekat untuk ditembus matanya. Risa menunggu, setiap otot di tubuhnya menegang. Gemerisik itu berhenti. Hening kembali. Mungkin hanya imajinasinya.
Namun, beberapa detik kemudian, gemerisik itu muncul lagi, kali ini lebih dekat. Disertai dengan suara gesekan pelan, seperti sesuatu yang diseret di atas batu. Dingin menjalari punggung Risa. Ia bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Ini bukan hewan. Ini… sesuatu yang besar. Sesuatu yang bergerak di kegelapan.
Matanya membelalak, ia mencoba menarik tubuhnya lebih dekat ke dinding, berusaha mengecilkan dirinya. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Tenggorokannya terasa kering dan sakit.
Sebuah bayangan hitam, lebih pekat dari kegelapan di sekitarnya, perlahan muncul dari sudut. Bentuknya tidak jelas, seperti gumpalan asap yang bergerak. Tapi Risa bisa merasakan kehadirannya. Rasa dingin yang menusuk tulang, tekanan berat di udara, dan aroma busuk yang kini semakin kuat, bercampur bau anyir yang membuat darahnya berdesir.
“I-ibu…?” bisiknya, nyaris tanpa suara. Ia berharap itu adalah arwah ibunya, datang untuk menyelamatkannya. Tapi aura yang dipancarkan oleh bayangan ini berbeda. Ini bukan duka. Ini… kebencian. Amarah.
Bayangan itu melayang mendekat, semakin besar, semakin jelas. Dan Risa akhirnya melihatnya. Bukan gumpalan asap. Tapi sesosok tubuh. Bentuk manusia, terdistorsi, dengan rambut panjang acak-acakan yang menutupi wajahnya yang hancur. Pakaiannya compang-camping, basah, dan lengket.
Dan dari tengah kekacauan itu, sepasang mata merah menyala menatap Risa. Sama persis dengan dua titik merah yang ia lihat sebelum kesadarannya menghilang. Bukan mata Bibi Lastri. Ini mata Sosok itu. Sosok yang selalu menghantuinya.
Sosok itu… adalah wanita. Wanita yang hancur. Hantu.
Hantu itu tidak mengeluarkan suara, tapi Risa bisa merasakan amarahnya, rasa sakitnya, dan keinginannya. Keinginan untuk… menarik Risa ke dalam kegelapan yang sama. Hantu itu perlahan mengangkat tangannya yang pucat, jari-jemarinya yang panjang dan kurus tampak seperti cakar, mengulur ke arah Risa.
Air mata Risa pecah. Ini bukan ibunya. Ini adalah mimpi buruk terburuknya yang menjadi kenyataan. Ini adalah… apa yang Bibi Lastri sembunyikan. Apa yang terkubur di dalam sumur ini. Bukan hanya air. Tapi juga… rahasia. Dan sebuah jiwa yang tersiksa.
“Tolong… jangan…” Risa merintih, mencoba bergerak mundur, tapi ia sudah menempel di dinding. Tidak ada tempat untuk lari. Ia terperangkap. Benar-benar terperangkap.
Telapak tangan dingin dan lembap menyentuh pipinya. Bukan sentuhan yang lembut. Tapi sentuhan yang terasa seperti membakar, menusuk hingga ke tulang. Risa merasakan energi negatif yang luar biasa mengalir masuk ke dalam dirinya, membanjiri indranya. Ia bisa mendengar bisikan-bisikan, suara-suara aneh yang tak ia mengerti, menjalar di benaknya seperti ribuan serangga.
Lalu, sebuah gambaran melintas di benaknya, begitu cepat, begitu jelas, seolah ia ada di sana. Seorang wanita. Teriakannya. Percikan air. Dan sebuah dorongan.
Dorongan.
Sebuah ingatan yang begitu nyata, namun kabur. Risa mencengkeram kepalanya, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Hantu itu semakin mendekat, wajahnya yang hancur kini hanya berjarak beberapa inci dari Risa. Mata merahnya menembus jiwanya, seolah ingin menyedot semua kehidupan darinya.
“Jangan…” Risa sekali lagi memohon, air mata mengalir deras. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak berdaya. Ia merasa jiwanya ditarik, ditarik ke dalam jurang yang sama dengan hantu itu. Ini adalah akhir.
Tiba-tiba, suara benturan keras menggema dari atas sumur. Disusul oleh suara desahan tertahan dan pekikan marah. Risa tersentak, mata merah di hadapannya berkedip, seolah terganggu. Hantu itu sedikit menjauh, tatapan kosongnya kini beralih ke atas.
“Risa! RISA!” Sebuah suara yang familiar, penuh kepanikan, memanggil namanya dari atas. Suara itu… Kevin.
Sebuah harapan sekecil bara api menyala di dada Risa. Kevin! Dia datang! Tapi apakah ia terlambat? Hantu itu kembali menatapnya, mata merahnya kini memancarkan kebencian yang lebih intens, seolah tidak ingin ada yang mengganggu ritualnya.
Hantu itu mengangkat kedua tangannya, bersiap untuk mencengkeram Risa. Namun, sebelum tangannya menyentuh kulit Risa, seberkas cahaya terang tiba-tiba menyinari dasar sumur, diikuti oleh suara derit tali yang dilemparkan ke bawah. Cahaya itu begitu kuat, begitu menyilaukan, membuat bayangan hantu itu memudar, seolah terbakar.
Hantu itu menjerit. Bukan jeritan suara, melainkan jeritan energi yang memekakkan telinga Risa, membuat kepalanya seolah ingin pecah. Ia mencengkeram kepalanya, meringkuk, mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Saat Risa membuka mata, hantu itu sudah menghilang, melebur kembali ke dalam kegelapan sudut sumur. Hanya menyisakan sisa-sisa aroma busuk dan rasa dingin yang mencekam.
Dari atas, sebuah tali tambang tebal terjulur ke bawah, ujungnya bergoyang-goyang di dekatnya. Dan di ujung tali itu, sepasang mata Kevin yang cemas menatapnya. "Risa! Pegang talinya! CEPAT!"
Kevin. Ia benar-benar datang. Air mata kelegaan membasahi pipi Risa. Namun, rasa sakit di kakinya, pusing di kepalanya, dan energi negatif yang masih mengalir di tubuhnya membuat tangannya gemetar. Apakah ia punya kekuatan untuk berpegangan? Apakah ia bisa diselamatkan?
Dan apa sebenarnya hantu itu? Kenapa ia ada di sumur ini? Apa yang ia coba tunjukkan padanya?
Bisikan ibunya kembali terngiang, “Jangan… Jangan ke sana…”
Tapi ia sudah di sini. Di dalam sumur ini. Dan ia tahu, rahasia kematian ibunya… tersembunyi di kedalaman gelap ini.