Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Kena Razia
Anna sedang mengendarai mobil namun, Ia dihentikan polisi yang sedang patroli. Ia bingung karena dompet dan tasnya ketinggalan di rumah Juna.
“Aduh… aku gak bawa SIM lagi. Kenapa di saat genting gini malah tasku ketinggalan sih, ini gara-gara papa hubungi aku tiba-tiba, jadi tasku ketinggalan dirumah Juna. Untung hapeku selalu aku ganteng di leher,” cicit Anna sambil menepikan mobilnya.
Anna membuka kaca pintu mobilnya lalu tersenyum. Pak polisi itu pun memberi hormat lalu menunduk melihat Anna.“Selamat pagi, Adek,” sapa pak polisi.
Dara bingung kenapa pak polisi itu memanggil adik, padahal di dalam mobilnya tidak ada anak kecil. Anna melihat sekeliling mobilnya lalu melihat pak polisi lagi.
“Pagi,Pak. Tapi dimobil tidak ada anak kecil,saya tidak bawa adek. Saya anak bungsu,” jawab Anna polos, ia tidak paham yang dimaksud adek adalah dirinya sendiri.
“Maksud saya kamu, Dek. Kami sedang operasi patroli rutin, adek mau berangkat sekolah, bisa tunjukan kartu siswanya. Atau sudah punya SIM?”
Anna baru sadar jika saat ini ia sedang menggunakan baju anak sekolah SMA, karena sudah jadwal kantor mereka cosplay.
“Aduh,” desis Anna.
“Pak, saya bukan anak SMA, saya sudah kerja dikantor. Kebetulan hari ini ada cosplay jadi saya memilih jadi anak SMA, begitu.”
“Oh… begitu? Kalau begitu tolong tunjukkan kartu SIM-nya, atau id card kantornya?”
“Aduh, pak. Tas saya ketinggalan di rumah teman saya, Pak.”
Anna menarik nafas panjang dan berusaha tetap tenang. Mata polisi itu menatap tajam, seolah menunggu jawaban lebih lanjut. Suasana pagi yang cerah tiba-tiba berubah menjadi tegang di pinggir jalan yang lengang.
Pak Polisi mengerutkan kening, lalu bertanya kembali, "Kalau begitu, bagaimana saya bisa memastikan identitasmu, Dek? Operasi hari ini cukup ketat, terutama karena beberapa waktu lalu ada laporan kendaraan mencurigakan di daerah ini."
Anna mengusap rambutnya yang sedikit berantakan dan mencoba memberikan senyuman yang meyakinkan, "Kalau begitu, Pak, boleh saya telepon teman saya. Siapa tahu dia mau mengantarkan tas saya."
“Ya silahkan, tapi kalau kamu bohong dan terlalu lama kami akan membawa kamu ke kantor polisi.”
Anna semakin panik. Telepon di lehernya berdering sebuah panggilan masuk dari Juna,“Kamu sampai mana?"
“Aku ditilang polisi, Jun. Tasku kemarin, ketinggalan di rumah kamu. Tolong jemput aku,” rengek Anna.
“Astaga…,kirim alamat posisi kamu sekarang, aku kesana, kebetulan tas kamu juga aku bawa.” Juna menutup sambungan ponselnya.
"Demi keselamatan dan kelancaran," pak polisi mulai berkata sambil sedikit menunduk, "Kalau tidak ada identitas, saya harus menilang dan mungkin kamu harus ikut ke kantor untuk pemeriksaan lebih lanjut."
Anna menelan ludah. "Pak, saya jujur lupa bawa tas dan SIM saya. Tapi saya bisa buktikan kalau teman saya datang,” balaa Anna.
“Maaf, Dek. Kamu tidak bisa menunggu. Mari ikut kami ke kantor polisi. Pekerjaan kami juga banyak, tidak hanya menunggu teman kamu itu. Entah benar atau tidak alasan kamu itu. Kamu tetap salah, tidak bawa kartu siswa, tidak punya SIM tidak punya id card kantor, jangan kamu menipu kami, sudah ayo ikut ke kantor.”
“Pak, ih… saya tidak berbohong, tunggu teman saya sebentar.”
Polisi itu menggeleng dan tidak percaya begitu saja. Anna didorong polisi wanita masuk ke mobil patroli, sedangkan polisi satunya membawa mobilnya ke kantor polisi.
Mau tidak mau, Anna ikut sambil menahan kesal pada diri sendiri mengapa dirinya selalu ceroboh. Walau begitu ia tetap menikmati menaiki mobil patroli dan justru sedang bercanda dengan polisinya.
Sesampainya di kantor polisi, Anna diinterogasi seperti tersangka. Ia kesal dan menjawab apa adanya.
“Beneran, Pak. Saya sudah dua puluh tiga tahun. Saya juga sudah kerja. Kenapa Bapak dan ibu polisi gak percaya sih,” rengek Anna dengan gaya khasnya.
“Harus ada bukti,Dek.”
Anna cemberut lalu duduk di kursi pos polisi. Ia juga menghubungi papanya lewat video call.
“Papa, papa belum berangkat ke kantor, kan?” tanya Anna dengan gaya cerianya.
“Belum, kamu sudah sampai kantor?” tanya pak Reza balik.
“Sudah…, kantor polisi,” cicit Anna membuat pak Reza membelalakkan mata tak percaya
“Kok bisa?” Pak Reza bangkit dari duduknya seperti ia bergegas ingin menyusul putri kesayangannya itu.
“Aku gak bawa SIM, tasku kemarin ketinggalan di rumah Juna. Jadi kena tilang, mana itu mobilnya Juna lagi.”
“Terus?”
“Ya… Juna udah mau kesini sih. Tapi gak tau ini kayaknya lama padahal dekat sini.”
“Kantor polisi mana?” tanya pak Reza.
“Dekat kantorku.”
Pak Reza memutuskan sambungan ponselnya dan bergegas menyusul putrinya itu, ia takut putrinya itu membuat heboh dan rusuh dikantor polisi seperti yang sudah-sudah.
Melihat suaminya berlari terburu-buru, bu Bianca tanda tanya.“Mau kemana pagi-pagi gini. Katanya mau agak siangan ke kantor?” tanya bu Bianca sambil membawa kangkung hasil dari kebun samping rumah.
“Kantor polisi, anakmu itu ditilang polisi dan gak bawa SIM,” jawab pak Reza sambil menyalakan motornya.
“Anakmu,anakmu, anakmu juga! Wis… sana urusi,” kesal bu Bianca dengan logat jawanya, tetapi pak Reza hanya tertawa melihat istri kesal.
“Jaman sekolah sampai kerja, ono ae masalahe nyang kantor polisi, Anna, Anna,” gerutu bu Bianca kesal.
Sementara itu Juna bersama Aldo bergegas menuju kantor polisi membawa tas milik Anna. Namun, tiba-tiba mobil mereka mogok dijalan.
“Hehh, kok ngadat,” ucap Aldo heran, mengapa mobilnya tiba-tiba mati di jalan. Ia pun segera menepikan mobilnya.
“Ais… kenapa bisa sih. Perasaan bensin udah full,” cicitnya lagi.
Juna dengan pembawaan yang dingin, ia turun begitu mobil menepi.“Aku naik ojek aja,” ucap Juna datar.
“Heh, kalau nunggu ojek yang lama,” jawab Aldo juga keluar dari mobil.
“Terus?” Juna menatap tajam Aldo.
Aldo tidak berani menjawab lagi.“Ya sudah, aku order ojeknya deh.” Aldo mengambil ponselnya dan memesan ojek online untuk Juna.
Dikantor polisi Anna justru membelikan jajan dan bercanda dengan beberapa pelajar yang juga terkena razia. Ia bercanda dengan polisi seperti tidak ada rasa takut. Pembawaannya yang ceria dan memecah suasana ada kesan tersendiri bagi yang mengenal dirinya.
“Permisi,” salam seseorang.
Dara menoleh mendengar suara familiar itu.“ Papa?” Anna menghampiri pak Reza.
“Kok papa cepat banget sampai, Juna malah belum sampai,” ujar Anna membuat gemes papanya.
“Kamu ini, selalu bikin ulah. Papa naik motor.”
Komandan polisi keluar setelah mendengar suara pak Reza, suara itu sangat familiar.“Selamat pagi, Pak Reza. Ketemu lagi setelah sekian lama ya. Ada perlu apa ya, pagi-pagi mendatangi kantor kami?”
“Biasa, Pak. Anak saya kena tilang karena lupa bawa SIM dan identitas lainnya. Haduh… dia ini memang ceroboh.”
“Loh, Bapak masih punya anak sekolah? Bukannya sudah lulus beberapa tahun lalu ya? Terus ini siapa?”
“Ais… pak komandan, masak lupa sama saya. Ini saya Anna. Iya saya memang sudah lulus sekolah dan sudah kerja, Pak. Tapi hari ini saya apes kena razia, terus lupa bawa SIM, lupa bawa KTP, lupa semuanya. Mana itu mobilnya juga punya teman saya. Pa… tolong aku, aku gak mau dipenjara lagi,” rengek Anna seperti anak kecil tetapi dengan gaya lucunya. Anna bergelayut manja pada pak Reza.
“Anna!” seru Juna. Juna terkejut saat melihat Anna bergelayut manja pada Reza. Juna pun wajahnya berubah datar yang tadinya khawatir.
Anna mendorong pelan pak Reza lalu menghampiri Juna.“Mana tasku, oh iya STNK mobil kamu mana?” Dara seperti tidak paham jika Juna sedang cemburu.
Juna menarik Anna sedikit keluar kantor polisi.“Aku begitu khawatir denganmu tapi kamu malah mesra-mesraan sama pak Reza disini. Jangan-jangan, kamu ada hubungan khusus sama dia kan?”
“Ya… memang punya hubungan, kan. Kerjasama di kantor.”
Pak polisi dan beberapa murid yang terkena razia serta pak Reza melihat mereka sambil duduk santai seperti menonton drama Korea.
“Kamu suka sama pak Reza. Sudah berapa lama kalian berhubungan dibelakangku. Aku gak nyangka cewek polos kayak kamu ternyata doyan sama aki-aki.”
‘Bukk’ Anna menumpuk Juna dengan tasnya, ia sekarang paham maksud Juna. Ia tidak terima jika papanya dibilang aki-aki, walau nyatanya memang sudah kakek-kakek.
“Kamu bilang apa? Aki-aki? Yang kamu Katai aki-aki itu PAPAKU!! PAPAKU!” suara Anna begitu lantang membuat Juna terkejut tidak percaya.
“Apa?”
“Iya, Pak Reza itu papa kandungku.” sekali lagi Anna menumpuk wajah Juna bagian samping dengan tas.
Juna masih syok , ia diam terpaku sambil memegang pipinya. Sementara Anna menghampiri pak Reza.
“Papa, ayo pulang. Pak komandan, pak komandan sudah tahu saya ini siapa kan? Terus itu mobil punya dia. Biar dia sendiri yang urus. Kalau nanti saya harus kena denda, minta saja sama dia,” ucap Anna dengan ciri khasnya lalu menarik pak Reza.
Saat berpapasan dengan Juna, Anna mendorong Juna sampai Juna terhuyung sedangkan Aldo tertawa melihat adegan tersebut.
“Aku marah sama kamu, aku gak mau ke kantor,” ucap Anna sebelum naik ke motor papanya.
Juna terdiam melihat Anna yang saat ini masih sempat melempar kunci mobilnya. Kunci mobil itu jatuh tepat di kaki Juna.