Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gangguan Statis Di Frekuensi Istriku
Suara decitan kapur di papan tulis terdengar seperti paku yang digoreskan pada kaca.
Bagi Sato Renjiro, suara itu adalah lonceng penanda akhir dunia—atau setidaknya, akhir dari kesabarannya. Ia menahan napas, menenggelamkan dagunya lebih dalam ke lipatan lengan seragam gakuran-nya yang kusut. Pelajaran Matematika di jam terakhir pada hari Jumat adalah bentuk siksaan modern yang paling kejam.
Di luar jendela, di posisi bangku favoritnya (pojok belakang), langit musim gugur mulai berubah warna dari biru pucat menjadi oranye kusam. Daun-daun ginkgo di halaman sekolah berguguran, menari-nari dalam diam, seolah mengejeknya yang terjebak di dalam ruangan pengap ini. Ren hanya ingin satu hal: pulang, berbaring di kasur, dan menghilang ke dalam dunia game online-nya.
"Sato Renjiro!"
Suara tajam itu menembus lamunannya.
Ren tersentak kaget. Refleks, lututnya menghantam bagian bawah meja kayu dengan bunyi DUK yang keras dan memalukan. Seluruh perhatian kelas 2-B langsung terpusat padanya. Beberapa gadis di barisan tengah terkikik pelan, menutupi mulut mereka.
Di depan kelas, Tanaka-sensei, guru Matematika yang terkenal kaku, melotot dari balik kacamatanya. Namun, bukan tatapan sensei yang membuat keringat dingin membasahi pelipis Ren. Itu adalah gadis yang berdiri tegak lurus di samping meja guru, memegang buku catatan OSIS seperti seorang hakim memegang palu vonis.
Tsukishima Marika.
Ketua kelas 2-B. Kuncir kuda hitamnya yang panjang terikat sempurna, tanpa satu helai rambut pun berani keluar jalur. Seragamnya licin sempurna, seolah baru disetrika lima menit lalu. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Ren, tanpa emosi, setenang dan sedingin es.
"Tugas kelompok minggu lalu, Sato-kun," kata Tanaka-sensei, nadanya lelah.
"Kamu satu-satunya anggota kelompokmu yang belum menyerahkan bagian laporanmu kepada Tsukishima-san."
Ren menelan ludah. Mulutnya terasa kering. "A-anu, Sensei... Itu... laptop saya tiba-tiba rusak. File-nya... filenya korup. Saya..."
Itu bukan kebohongan total. Laptop tuanya memang sering bermasalah. Tapi dia juga tahu dia mengerjakannya di menit-menit terakhir.
"Alasan klasik."
Suara yang memotong ucapan Ren bukanlah milik Tanaka-sensei. Itu suara Marika. Tenang, datar, dan menusuk.
"Saya sudah mengingatkanmu tiga kali lewat pesan tadi malam, Sato-kun," lanjut Marika, matanya tidak berkedip.
"Balasan terakhirmu hanya stiker kucing menangis pada pukul dua pagi."
Tawa yang tadinya ditahan-tahan kini meledak di seluruh penjuru kelas. Wajah Ren terasa panas. Dia bisa merasakan darahnya mengalir naik, membanjiri telinganya dengan rasa malu yang membakar. Dia benci ini. Dia benci jadi pusat perhatian. Dan dia benci fakta bahwa Tsukishima Marika selalu, selalu benar.
Bel pulang sekolah berbunyi lima belas menit kemudian, terdengar seperti dentang lonceng kebebasan. Ren bergerak secepat kilat. Buku-buku dan kotak pensilnya ia lempar asal ke dalam tas ranselnya yang sudah usang. Ia tidak peduli lagi soal kerapian. Tujuannya hanya satu: keluar dari pintu geser kelas itu sebelum Marika sempat mencegatnya lagi.
"Sato-kun."
Langkah Ren terhenti tepat di ambang pintu. Terlambat.
Marika sudah berdiri di sana, bersedekap, menghalangi satu-satunya jalan keluar menuju koridor. Di belakangnya, murid-murid lain mengalir keluar seperti air, melirik mereka berdua dengan penuh rasa ingin tahu.
"File laporannya," kata Marika, masih dengan nada datarnya yang khas.
"Saya tunggu sampai jam 5 sore ini. Kalau masih tidak ada, nama kamu akan saya coret dari laporan kelompok. Saya tidak peduli kamu harus mengetik ulang di perpustakaan sekolah atau warnet."
Ren mengepalkan tangannya di dalam saku celana.
"Ta-tapi, Tsukishima-san... laptopku benar-benar tidak bisa menyala. Aku tidak bohong!"
"Itu bukan masalah saya," jawab Marika dingin. "Jam 5 sore. Di email saya."
Tanpa menunggu jawaban lagi, Marika berbalik. Rambut kuncir kudanya berayun tegas seiring langkah kakinya yang cepat dan berwibawa menyusuri lorong sekolah. Ren hanya bisa menatap punggungnya yang tegak itu dengan perasaan campur aduk antara frustrasi, kagum, dan... takut.
"Sialan..." gerutu Ren pelan, akhirnya melangkah keluar dari kelas.
"Kenapa dia harus jadi robot begitu, sih? Kejam sekali."
Ren berjalan gontai menuju stasiun kereta. Langit sore yang mendung sempurna mencerminkan nasib buruknya. Jam 5 sore? Tidak mungkin. Uang sakunya pas-pasan untuk ongkos kereta pulang, tidak cukup untuk mampir ke warnet.
Sambil menghela napas pasrah, Ren merogoh saku gakuran-nya, mencari smartphone-nya. Baterainya pasti masih cukup untuk mendengarkan musik, setidaknya untuk meredam kekesalannya. Layar ponselnya tetap hitam. Mati total.
"Ah, sempurna," gumamnya sarkastis. Dia pasti lupa mengisi dayanya tadi malam karena panik mengerjakan tugas Marika.
Dengan enggan, ia merogoh saku bagian dalam tasnya, menarik keluar sebuah benda peninggalan zaman batu: MP3 player tua berbentuk persegi panjang kecil, warnanya perak kusam dengan goresan di mana-mana. Benda itu warisan dari kakaknya, dan entah kenapa masih berfungsi—atau setidaknya, kadang-kadang berfungsi.
Di peron stasiun yang mulai ramai oleh pekerja kantoran dan siswa sekolah lain, Ren memasang earphone putih yang kabelnya sudah agak menguning. Ia menekan tombol play.
Hening.
Tidak ada lagu J-Rock favoritnya yang berputar. Yang terdengar hanyalah suara kresek-kresek statis yang menusuk telinga.
Ren mengetuk-ngetuk benda itu pelan ke telapak tangannya. "Yah... rusak lagi? Benar-benar hari sial."
Tiba-tiba, suara statis itu mereda. Hening sejenak. Lalu...
Terdengar suara helaan napas seseorang. Sangat jelas. Seorang wanita.
"...Moshi-moshi? Tes, satu dua. Haaah, aku terlihat bodoh sekali bicara pada MP3 rusak ini."
Ren membeku. Dia hampir menjatuhkan MP3 player itu saking kagetnya. Ia mencabut earphone dan menoleh ke kanan dan kiri. Peron ramai, tapi tidak ada wanita yang berbicara di dekatnya. Suara itu... benar-benar berasal dari earphone-nya.
Dengan tangan sedikit gemetar, Ren memasang earphone itu lagi.
Suara wanita itu terdengar lagi. Dewasa, lembut, dan ada nada lelah yang sangat kental di dalamnya.
"Ren-kun? Kamu dengar ini tidak ya? Kalau kamu dengar... artinya keajaiban bodoh yang kubaca di forum internet itu benar-benar terjadi."
Jantung Ren berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Wanita itu tahu nama kecilnya! Siapa ini? Apa ini stasiun radio yang salah frekuensi? Tapi MP3 player ini tidak punya radio!
"Hari ini tanggal 7 November, kan? Jumat?" lanjut suara itu. Ren mengangguk tanpa sadar. "Kamu pasti baru saja mengalami hari yang buruk. Dimarahi Tanaka-sensei, lalu dicegat... aku... di depan kelas."
"Eh?!" Ren bersuara tanpa sadar.
Seorang pria paruh baya di sebelahnya menoleh heran. Ren buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan tali sepatunya.
Bagaimana dia tahu? Bagaimana dia tahu detail spesifik seperti itu?
Wanita di seberang sana tertawa kecil. Tawa yang terdengar sangat hangat dan penuh nostalgia. Tawa yang... entah kenapa, terasa familiar namun sangat asing di saat bersamaan.
"Jangan terlalu marah padanya ya, Sayang," kata suara itu lembut. Panggilan 'Sayang' itu membuat Ren merinding disko.
"Dia hanya gengsi. Sebenarnya dia panik setengah mati karena takut nilai rata-rata kelas kita turun karenamu. Dia tidak benar-benar membencimu."
Ren masih tidak mengerti. "Dia? Siapa...?"
"Aku tahu ini akan terdengar gila. Sangat gila. Tapi... aku tahu semua itu karena... yah, aku Marika. Tsukishima Marika."
Rahang Ren jatuh terbuka. Tidak mungkin. Suara ini terlalu lembut, terlalu hangat untuk si robot ketua kelas itu.
"Lebih tepatnya," suara itu menghela napas lagi, "Aku adalah Marika, istrimu... sepuluh tahun dari sekarang."
BRAK.
Pintu kereta di depannya terbuka dan tertutup kembali. Kereta melaju pergi, meninggalkan Ren yang terpaku di peron. Angin kencang dari kereta yang lewat menerpa wajahnya yang pucat pasi.
Dia menatap horor MP3 player di tangannya.
Marika? Istri? GADIS ITU?!
Ren memberanikan diri memasang earphone itu lagi saat menunggu kereta berikutnya, duduk di bangku peron yang dingin.
"Ren-kun? Kamu masih di sana? Kamu pasti kaget sekali, ya. Maaf." Suara Marika dewasa itu terdengar lagi, kali ini nadanya cemas.
"Dengar, aku tidak tahu berapa lama koneksi aneh ini akan bertahan. Tapi ada hal penting yang harus kusampaikan."
Suara Marika dewasa berubah serius. Ren menelan ludah, seluruh tubuhnya tegang.
"Aku tidak tahu kenapa 'keajaiban' ini memberiku kesempatan bicara padamu. Mungkin... karena aku terlalu banyak berharap bisa mengulang waktu. Dengar baik-baik. Minggu depan, saat pemilihan panitia festival budaya, jangan menolak saat Tanaka-sensei menunjukmu jadi wakil seksi perlengkapan."
Alis Ren berkerut. Hah? Seksi perlengkapan? Pekerjaan kuli terberat di festival? Ia sudah berencana pura-pura sakit perut hari itu agar bisa pulang cepat dan main game.
"Aku tahu kamu mau pura-pura sakit perut," lanjut suara itu.
Ren tersentak kaget sampai berdiri dari bangku. Dia bisa membaca pikiranku?!
"Jangan lakukan itu. Kalau kamu kabur, kamu akan menyesal seumur hidup. Di gudang olahraga nanti, ada sesuatu yang akan mengubah nasibmu. Sesuatu yang akan memulai segalanya untuk kita."
Klik.
Suara rekaman terputus. Kembali hanya ada suara statis yang kosong.
Ren melepas earphone-nya dengan tangan gemetar. Kereta selanjutnya tiba. Ia melangkah masuk dengan pikiran kacau, menatap pantulan wajahnya yang bingung di kaca jendela kereta yang gelap
Istrinya? Tsukishima Marika? Yang benar saja.
Tapi wanita itu tahu segalanya. Tentang Matematika, tentang si ketua kelas galak, bahkan tentang rencana sakit perutnya. Ren menelan ludah.
Mungkin... dia harus mencobanya sekali ini saja.