NovelToon NovelToon
Senandung Hening Di Lembah Bintang

Senandung Hening Di Lembah Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romansa Fantasi
Popularitas:321
Nilai: 5
Nama Author:

Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.

15

Kania tiba di rumah Dini, keesokan harinya. Kania tidak berpakaian untuk lari pagi, melainkan mengenakan pakaian yang lebih rapi, pakaian yang biasa ia pakai di kota. Wajahnya terlihat pucat karena kurang tidur.

Dini terkejut dan khawatir melihat keadaan Kania. “Mbak! Kamu di sini! Kukira mbak Kania masih mau menyendiri. Kamu baik baik saja kan, mbak? Aku…”

Kania memotong. “Aku baik baik saja, Din. Kemarin aku sudah bertemu mas Bara. Tapi…” Kania duduk, lalu memijit pelipisnya. “Aku butuh saranmu. Aku berpikir untuk kembali ke kota sebentar.”

Dini sontak berhenti merapikan barang tenun nya. Dini menatap Kania dengan serius.

‘’Kembali? Kenapa? Aku kira kesalahpahaman kalian sudah terselesaikan.”

‘’Bara sudah menjelaskan. Tapi tidak tentang diriku sendiri. Aku melihat mbak Laras, Din. Aku melihat bagaimana dia adalah bagian terpenting di desa ini. Aku merasa..aku hanya singgah sebentar bagi Bara maupun desa ini.”

Dini menggeleng. Dengan bicara dengan nada keras. ‘’Mbak jangan bohong! Kamu ingin kembali ke sana karena kamu takut melihat mas Bara dan mbak Laras bekerja sama lagi atau kembali berdekatan karena suatu urusan desa. Kalau mbak Kania kembali ke kota sekarang, apa bedanya kamu dengan orang yang hanya singgah.”

Dini meraih tangan Kania, memaksa Kania untuk melihatnya. ‘’Mas Bara sudah memilihmu, mbak. Buktikan komitmen-mu pada mas Bara, pada desa ini. Buktikan keberanianmu untuk tetap di sini dan belajar, meskipun kamu merasa canggung. Itu yang mas Bara sukai dari dirimu.!”

Kania terdiam, air mata perlahan mengalir di pipinya. “Aku takut, Dini. Aku takut menghancurkan hidupnya karena aku tidak sekuat mbak Laras..”

‘’Kamu lebih kuat mbak Kania. Kamu berani memulai dari awal. Sekarang, hapus air mata mbak Kania. Sekarang temui mas Bara, bukankah mbak Kania berjanji mau menemuinya.”

Kania memeluk Dini erat erat. Dini berhasil menenangkan Kania. Ia tahu harus menemui Bara dengan keberanian yang ia punya.

Kania tiba di depan kedai. Langkahnya pasti dan penuh harapan. Ia tidak akan melarikan diri lagi, ia akan menghadapi Bara dan membuktikan keseriusannya. Aku akan berusaha percaya pada Bara.

Kania melihat Bara sedang tidak ada di kedai. Namun, di teras kedai, di meja kayu besar yang biasa dipakai rapat, duduk Ibu Wati dan Laras. Laras sedang menuangkan kopi hangat ke cangkir Ibu Wati, sambil memeriksa sebuah buku besar pembukuan desa. Mereka terlihat seperti ibu dan anak sedang mengurus bisnis keluarga.

Kania melangkah mendekat. Kania menyapa dengan senyum tipis. “Selamat siang, Ibu, mbak Laras.”

Ibu Wati mendongak dan tersenyum hangat. “Kania. Sini, Nak, duduk.”

Sedangkan Laras hanya mengangkat alisnya sedikit, tetapi langsung mengambil cangkir kopi kosong yang ada di atas meja.

Laras bicara dengan Ibu Wati, mengabaikan Kania. “Bu, saya kedalam sebentar. Ini cangkir Bara, saya mau memberinya kopi sekarang. Bara pasti sedang stres memikirkan laporan keuangan Panen Raya. Hanya kopi yang bisa menenangkan pikirannya.”

Kania melihat Laras masuk ke dalam. Ia merasa jantungnya mencelos. Kania sudah berjanji untuk tidak cemburu, tetapi perkataan Laras serasa menusuk hati.

Kania duduk di hadapan Ibu Wati.

“Duduk, Nak. Jangan dipikirkan dan di bawa ke hati. Laras memang begitu.”

Tepat saat itu, Laras kembali. Ia meletakkan cangkir berisi kopi Bara di meja. Laras juga menaruh kunci kecil di samping cangkir. “Ini, Bu. Tadi saya sekalian ambil di gantungan kunci di kamar Bara. Ini kunci gudang tempat kita menyimpan bibit kopi baru. Bara bilang, dia akan memberikan kuncinya pada saya untuk diserahkan ke Pak RT.”

Laras menoleh ke Kania, dan tersenyum tipis. “Maaf, Kania. Mungkin kamu belum tahu. Bara masih mempercayakan gudang penyimpanan padaku. Tidak apa-apa, kan?”

Kania menarik napas dalam-dalam, menatap Laras. Ia hampir menjawab..tiba-tiba, Bara terlihat keluar dari pintu, langsung menuju meja kayu luar. “Ah, terima kasih Laras. Aku benar benar butuh kopi ini. Kau tahu betul, kapan aku butuh ini.” Bara mengambil cangkirnya dan langsung meneguknya.

Bara kemudian baru sadar ada Kania. Ekspresinya langsung berubah. “Kani, kamu datang! Aku sudah menunggumu.” Bara meraih tangan Kania, mengabaikan Ibunya dan Laras, langsung menarik Kania ke samping, ke meja lain—meja kecil di sudut kedai.

‘’Aku tahu kamu kesal.” Kania menatap Bara. Bara memegang erat tangan Kania di atas meja.

Laras melihat itu dengan perasaan cemburu, bahkan Bara mengabaikan nya dan Ibu Wati. Bara langsung mengalihkan seluruh atensinya kepada Kania. Laras melihat Bara mencondongkan tubuh ke arah Kania, matanya berbinar-binar. Bara tampak lebih bersemangat bersama Kania sekarang, daripada saat membahas keberhasilan acara Panen Raya bersamanya.

“Lihatlah anak itu, Ras. Melihat Kania datang saja sudah seperti anak kecil yang baru mendapat mainan baru.”

Laras mencoba bersikap biasa, namun gagal, suaranya terasa kaku. “Ya, Bu..Saya bisa melihat itu..”

Laras merasakan pukulan telak. Laras bisa mengimbangi Bara, membereskan kekacauan, tetapi hanya Kania yang bisa menciptakan kegembiraan bagi Bara.

Di meja lain, Bara dan Kania mulai berdiskusi, volume suara mereka sengaja tidak direndahkan, seolah-olah Bara ingin semua orang mendengarnya.

“Menurutmu kita harus menggunakan foto pohon kopi tertua, atau siluet kamu di pagi hari di kebun?”

Kania tersenyum. “Tentu saja pohon kopi tertua, mas Bara! Itu adalah akar dari cerita kita! Ngapain pake foto aku.”

Bara tertawa, mengusap pipi Kania. “Menurutku pake foto kamu aja. Tapi, baiklah, pohon kopi.”

Bara menyentuh Kania, berbicara tentang ‘kita’ dan ‘cerita kita’ dengan antusias. Laras menyadari bahwa kedekatannya sejak kecil tidak mampu menandingi janji masa depan yang di ucapkan Bara.

Laras tahu ia kalah, dan ia tidak mau berlama-lama menyaksikan kebahagiaan itu. Ia harus pergi dengan harga diri yang tersisa.

Laras berdiri tiba-tiba. “Bu, saya permisi dulu. Saya harus mengajar kelompok sore di Balai Desa. Laporan tentang Panen Raya, saya titip di Bapak saja.”

“Loh, cepat sekali, Ras?”

“Iya Bu, nanti saya mampir lagi.”

Laras berjalan cepat. Saat melewati meja Bara dan Kania, ia tidak berhenti. Laras hanya memberikan anggukan kecil dan hormat kepada Bara, dan senyum tipis kepada Kania.

Ibu Wati menutup buku besar pembukuan desa yang ditinggalkan Laras. Ia melihat Bara dan Kania di sudut. Ia melihat kepala Bara dan Kania berdekatan. Mereka tidak hanya duduk berdampingan; mereka berbagi canda tawa yang intens. Bara menunjukkan sesuatu di ponsel pada Kania, dan Kania tertawa kecil, memukul lengan Bara. Ibu Wati tersenyum. Senyumnya penuh kehangatan.

Ibu Wati memikirkan Bara dan Laras. Ia tahu, Laras adalah ketenangan dan kepastian bagi Bara. Laras menjaga Bara dari kelelahan. “Laras tahu bagaimana menjaga anakku tetap tenang. Tapi Kania…Kania tahu bagaimana menjaga anakku tetap hidup…”

Ibu Wati menyadari bahwa sejak Kania datang, Bara tidak lagi hanya fokus pada pekerjaannya dan berbagi masalah desa. Sekarang, Bara mempunyai sesuatu yang diharapkan di masa depan, membangun masa depan bersama, Kania.

Ibu Wati bangkit dari tempat duduknya, berjalan perlahan ke meja mereka. Ia tidak ingin menganggu. Ibu Wati mendekat, dengan suara tenang bertanya. “Kalian tampak bahagia sekali, Nak. Apa yang seru dibicarakan?”

Bara dan Kania sontak mendongak, merasa sedikit malu karena terlalu larut dalam dunia mereka sendiri.

Bara tertawa canggung. “Ibu! Kami sedang mendiskusikan ‘Akar kencana’.”

Kania menunjuk ponsel. “Kami sedang mendiskusikannya, Bu.”

Ibu Wati tidak melihat ke ponsel itu. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Bara, dan kemudian menyentuh bahu Kania dengan lembut.

Ibu Wati menatap Kania dengan penuh kasih sayang. “Nak, Kania. Lepaskan semua rasa cemas dan kekhawatiranmu, percaya pada Bara. Tentang Laras, dia memang sudah bersama Bara sejak kecil, dia tahu segala sesuatu menyangkut desa, menyangkut Bara.” Menyentuh bahu Kania lagi. “Tapi, anak Ibu ini dia butuh sesuatu yang bisa membuatnya memikirkan masa depan, dan yang bisa membuatnya memiliki tujuan ke depannya, hanya kamu, Nak.”

Ibu Wati tersenyum, mengakhiri semua keraguan Kania. “Bara, jaga Kania. Jangan biarkan dia merasa tidak penting lagi.” Ibu Wati kemudian beranjak, kembali ke dalam tanpa menunggu jawaban. Ia telah mengatakan segalanya.

Bara menatap Kania. Ia tahu, kata-kata Ibu Wati adalah pembenaran atas pilihan Bara, sekaligus penegasan bahwa Kania tidak perlu merasa cemas dan merasa tersaingi lagi.

Bara menggenggam tangan Kania di bawah meja. “Dengar itu, Kani? Ibu melihatnya. Berulang kali aku bilang, aku memilihmu karena kamu membawaku ke masa depan.”

Kania menghela napas, menempelkan kepalanya ke bahu Bara. “Aku percaya. Aku tidak akan merasa cemburu lagi pada mbak Laras.”

Bara dan Kania sedang meninjau ulang desain warna kemasan untuk kemasan kopi edisi terbatas. Bara menunjuk ke tablet Kania.

‘’Aku suka warna terra cotta ini, mas. Ini melambangkan desa ini, tapi dengan sentuhan modern.”

Bara melihat Kania. “Aku suka warna itu karena kamu yang memilihnya.”

Bara mengulurkan tangan dan membelai rambut Kania yang tergerai. Wajahnya di penuhi kelembutan. Bara mendekatkan wajahnya.

“Aku janji, setelah ini, aku akan meluangkan waktuku untukmu.”

‘’Aku pegang janjimu.”

Bara mencondongkan tubuhnya dan mencium Kania dengan lembut. Ini adalah ciuman yang lambat, penuh janji dan kepastian, mengikat perasaan mereka. Saat momen romantis itu mencapai puncaknya, terdengar suara batuk yang sengaja dikeraskan dari belakang mereka.

‘’EHEM! EHEEM! EHEEM! Sial. Ternyata di sudut kedai ini ada larangan zona mesum. Aku kira hanya ada zona larangan merokok saja.” Radit dengan suara keras dan blak-blakan.

Bara dan Kania sontak kaget dan menjauh. Wajah Kania langsung memerah. Bara mendesah frustasi. Kania langsung menunduk, tangannya refleks menutupi wajahnya. Ia tidak berani menatap Radit. “Radit! Kenapa kamu datang di waktu yang tidak tepat?”

Radit berjalan mendekat dengan senyum lebar, menikmati kegugupan pasangan itu, terutama Kania.

“Aku datang tepat waktu, Bar. Kalian harus ingat, kalian di tempat umum.” Radit melirik Kania yang tertunduk malu. “Hei, Kania. Jangan malu begitu. Justru bagus. Kamu sudah di stempel basah oleh Bara.’’ Radit tertawa mengejek.

Kania memaksa dirinya mengangkat kepala, tetapi ia tidak berani menatap Radit, hanya menatap bahu Bara.

Radit kembali meledek. “Aku akan sering datang. Siapa tahu ada ciuman lain di setiap kedatanganku.”

Bara memeluk bahu Kania. “Cukup, Dit. Jangan buat Kania makin malu. Ada apa kamu kesini? Jangan bilang kau hanya mau menganggu.”

“Hanya membutuhkan kopi jujur untuk hari yang melelahkan.” Terang Radit.

‘’Tunggu’’ Bara melangkah menuju dapur kecilnya.

‘’Jadi, gimana progres ‘Akar Kencana’ kalian?” Tanya Radit,

‘’Masih membuat desain.’’ Radit mengangguk kembali.

Bara datang dengan membawa secangkir kopi dan klepon yang di buat Ibu Wati. Hari ini di awali dengan hati Kania yang gundah, bertemu ‘saingan’ nya sampai penegasan Bara tentang perasaannya. Semoga tidak ada hari hari cemburu ke depannya? Semoga…

1
Yuri/Yuriko
Aku merasa terseret ke dalam cerita ini, tak bisa berhenti membaca.
My little Kibo: Terima kasih kak sudah menikmati cerita ini 🙏
total 1 replies
Starling04
Membuatku terhanyut.
My little Kibo: Terima kasih kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!