NovelToon NovelToon
Promise: Menafsir Kamu

Promise: Menafsir Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Kisah cinta masa kecil / Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama / Cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: Iyikadin

Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15 - Rindu Itu

Telah kubakar serpih harap di tungku waktu, namun abunya kembali menari di setiap lengkung ruang yang kutinggali.

Telah kutenggelamkan namamu dalam palung yang paling sunyi, tapi arus kenang justru menyeretnya kembali tanpa lelah, tanpa usai.

...***...

Di sekolah, Rayna berusaha keras menghindari Ben. Saat mata mereka hampir bertemu, ia langsung memalingkan wajah. Saat jam istirahat, Rayna menghampiri Ben yang sedang duduk sendirian.

"Ben," Rayna memulai, "gue gak mau ketemu lo dulu beberapa hari ini."

Ben mengerutkan kening. "Maksud lo?"

"Ya gue gak mau ketemu lo dulu, Ben," ulang Rayna.

"Mana mungkin bisa, Rayna. Kita sekelas."

"Maksud gue, ketemu di kelas doang sebagai teman sekelas. Selebihnya, gue gak mau pulang pergi bareng lo, atau ngobrol sama lo."

Ben menatap Rayna tajam. "Lo kenapa sih? Masih marah soal semalem?"

Rayna mendesis, merasa risih dengan tatapan orang-orang sekitar. "Ben, bukan soal semalem. Gue cuma lagi gak mau berhubungan sama lo." Rayna berbalik dan pergi.

Rayna berbalik, hendak pergi, namun Ben meraih lengannya.

"Ya tapi kenapa sih, Rayna? Alasannya apa?" tanya Ben, nada suaranya penuh dengan kebingungan dan sedikit frustrasi.

Rayna menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia menatap mata Ben, mencoba menyampaikan perasaannya tanpa harus menjelaskan terlalu banyak.

"Pokoknya gue lagi pengen sendirian," jawab Rayna, suaranya lirih namun tegas. "Gue harap lo ngerti," tambahnya, lalu melepaskan diri dari genggaman Ben dan bergegas pergi, meninggalkan Ben yang terpaku dengan tatapan kosong.

Ben hanya terdiam, terpaku di tempatnya, melihat Rayna pergi menjauh. Pundaknya terasa berat, dan ada sesuatu yang mencelos di dalam dadanya.

"Wey bro, ngelamun aja," sebuah suara membuyarkan lamunannya. David, sahabatnya, menepuk pundaknya. "Kenapa sih?"

"Ngelamun apaan? Perasaan gue biasa aja," elak Ben, berusaha menyembunyikan perasaannya.

David menyeringai. "Itu lo keliatan banget ngelamunnya. Putus ya lo sama si calon istri itu?" godanya.

"Yeehh, apaan sih lo," balas Ben, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Udah ah, gue laper. Lo mau ngantin bareng gak?" ajaknya sambil berjalan keluar kelas, diikuti oleh David yang masih terkekeh.

...***...

Singkat cerita, Rayna pulang sendiri, diantar ojek online. Mamanya sedang asyik merapikan tanaman di halaman depan, langsung menghampirinya saat ia melihat Rayna datang sendirian.

"Lho, kok kamu gak sama Ben?" Mama nanya, sambil ngelap tangannya ke apron.

"Gapapa, Ma. Ben lagi ada ekskul di sekolah," jawab Rayna, berusaha senormal mungkin.

Mama ngangkat alis, "Oh, Mama kira kalian berantem."

Rayna mendengus pelan. "Ma, kita kan gak harus nempel terus kayak perangko."

Mama ketawa kecil. "Iya, iya, Mama ngerti. Yaudah, sana ganti baju, terus makan ya."

"Iya, Ma," sahut Rayna sambil masuk rumah.

Selesai bersantap dan membantu Mama membereskan dapur, Rayna mengurung diri di kamar. Ia terduduk di depan meja belajarnya, meraih buku diary usang yang selalu menjadi saksi bisu segala gundahnya. Hatinya mencelos begitu mengingat Vando, kekasihnya di Praha.

Sudah berbulan-bulan lamanya ia tak menerima kabar, pesan-pesan yang dikirimkannya seolah tak sampai, dan media sosial Vando pun membisu.

"Sebenarnya, di mana kamu sekarang, Van?" batin Rayna bertanya, hatinya diliputi kecemasan.

Kerinduan itu kembali menyeruak, menyesakkan dadanya hingga sulit bernapas. Dibukanya lembaran diary, dan matanya terpaku pada selembar foto polaroid yang terselip di sana.

Potret dirinya dan Vando saat pemuda itu menyatakan cinta. Vando berlutut di hadapannya, mempersembahkan seikat mawar merah dan putih, serta sekotak beludru berisi rangkaian mawar merah yang membentuk hati. "Aku jatuh cinta padamu," ucap Vando kala itu, dengan sorot mata yang berbinar penuh cinta.

Rayna tersenyum getir, air mata mulai menggenang, mengaburkan kenangan indah tersebut.

Setetes, dua tetes air mata jatuh membasahi permukaan foto, seolah ikut merasakan kerinduan yang mendalam.

Rayna meraih pena dan membuka halaman baru diary-nya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mulai menorehkan kata demi kata, mencurahkan segala perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya:

Ia adalah lukisan yang tak pernah selesai,

tapi setiap malam, aku menatapnya dalam diam,

mencari warna-warna yang dulu sempat hidup di matanya.

Bukan karena aku pelukisnya,

tapi karena aku masih percaya,

setiap gurat lembut di wajahnya menyimpan rinduku yang tak sempat pulang.

Ia indah, terlalu indah untuk disentuh,

seperti kanvas yang dijaga waktu agar tak ternoda oleh kenyataan.

Dan aku hanyalah penatap dari jauh,

mengagumi setiap goresan yang bukan untukku,

terjebak di antara bayangan dan cahaya yang tak pernah bertemu.

Kadang aku ingin menjangkau,

menyentuh sedikit saja biru di matanya,

tapi aku tahu...

ada jarak yang harus tetap diam agar keindahan itu tetap hidup.

Maka aku biarkan ia di sana,

abadi dalam warna yang tak pernah pudar,

sementara aku, di sini,

menjadi rindu yang terus menatapnya

tanpa pernah bisa berhenti.

Usai menumpahkan segala kerinduan dalam tulisan, Rayna terisak hebat. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang menghimpitnya. Jemarinya gemetar menyentuh lehernya, menggenggam erat sebuah kalung. Perlahan, dengan gerakan yang nyaris tanpa tenaga, ia melepaskan rantai kalung itu dari lehernya.

Di telapak tangannya kini tergeletak sebuah liontin berbentuk hati. Hati itu bisa dibuka, dan dengan jemari yang bergetar hebat, Rayna membukanya. Di dalamnya, tersimpan sebuah foto dirinya dan Vando.

Mereka tampak bahagia, tertawa lepas dalam sebuah pelukan erat. Seketika, air mata Rayna kembali tumpah, membasahi foto kecil itu dengan pedih. Setiap tetesnya seolah mewakili luka yang menganga di hatinya.

Rayna menatap foto di dalam liontin itu, air matanya tak berhenti mengalir, membasahi pipi dan dagunya. Isak tangisnya menggema di dalam kamar yang sunyi, memecah keheningan malam.

"Vando..." bisiknya lirih, suaranya bergetar oleh kesedihan yang mendalam. "Kamu kemana? Kenapa semua ini terjadi? Kenapa takdir memisahkan kita secepat ini?"

Kenangan tentang Vando menyeruak dalam benaknya, bagai kaset rusak yang terus berputar tanpa henti. Senyum Vando, tatapan hangatnya, suara lembutnya... semuanya masih terpatri jelas dalam ingatannya. Terutama, saat-saat terakhir mereka bersama, sebelum Rayna harus pindah ke Indonesia. Janji untuk tetap bersama, untuk menjaga cinta mereka, kini terasa bagai mimpi belaka.

"Dulu, kita berjanji akan selalu bersama, melewati segala rintangan," lanjut Rayna, suaranya semakin lirih, nyaris tak terdengar. "Tapi sekarang... jarak membentang begitu jauh, seolah tak ada lagi jembatan yang bisa menghubungkan kita."

Rayna menggenggam erat liontin itu, seolah berharap bisa merasakan kehadiran Vando di dekatnya. Namun, yang ia rasakan hanyalah dinginnya logam yang menusuk telapak tangannya. Rasa bersalah tiba-tiba menghantamnya, bagai ombak besar yang menghancurkan pertahanan dirinya.

"Apa kamu tahu betapa sakitnya terpisah tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal yang sebenarnya, Vando?" tanyanya, air matanya semakin deras mengalir. "Setiap hari aku bertanya-tanya, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu merindukanku seperti aku merindukanmu? Atau kamu sudah menemukan kebahagiaanmu di sana, tanpa diriku?"

Rayna terisak semakin keras, dadanya terasa sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Ia merasa seperti terdampar di sebuah pulau terpencil, sendirian dan tanpa harapan. Namun, kali ini, rasa bersalah turut menghantuinya.

"Dan yang lebih buruknya lagi..." bisiknya, suaranya tercekat oleh rasa bersalah yang mendalam. "Aku... aku sudah bertunangan dengan orang lain. Aku menerima perjodohan ini, Vando. Maafkan aku..."

Air mata Rayna semakin deras mengalir, bercampur dengan rasa bersalah yang menyesakkan dadanya. Ia merasa telah mengkhianati cinta mereka, mengkhianati janji yang pernah mereka ucapkan.

"Aku mencoba untuk menerima kenyataan ini, Vando, sungguh," ucapnya, dengan suara yang tercekat. "Tapi semakin aku mencoba, semakin dalam luka ini menganga. Semakin aku berusaha melupakanmu, semakin jelas bayangmu hadir dalam setiap sudut ruang hatiku. Dan sekarang... aku harus hidup dengan rasa bersalah ini, selamanya."

Rayna memejamkan matanya, mencoba menghentikan air mata yang terus mengalir. Namun, air mata itu seolah memiliki kehendak sendiri, terus membasahi wajahnya tanpa henti.

"Aku merindukanmu..." bisiknya, dengan suara yang penuh kepedihan. "Merindukan senyummu, suaramu, pelukanmu. Aku merindukan segalanya tentangmu. Aku merindukan kita."

Rayna membuka matanya, menatap foto di dalam liontin itu. Air matanya terus mengalir, memburamkan wajah Vando dalam foto tersebut.

"Maafkan aku, Vando," pintanya, dengan suara yang penuh permohonan. "Maafkan aku karena telah mengkhianati cintamu. Maafkan aku karena tidak bisa menunggumu. Maafkan aku... karena aku tidak cukup kuat."

Rayna memeluk erat liontin itu, mendekatkannya ke dadanya. Ia berharap, dengan melakukan itu, ia bisa merasakan kehadiran Vando di dekatnya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan yang semakin menganga di dalam hatinya, serta rasa bersalah yang akan terus menghantuinya seumur hidup.

...***...

Terkadang, hidup memaksa kita untuk mengambil keputusan yang sulit, keputusan yang mungkin akan menghantui kita selamanya.

Namun, di tengah badai penyesalan dan rasa bersalah, semoga kita selalu bisa menemukan secercah harapan dan kekuatan untuk terus melangkah maju.

Karena, meskipun luka mungkin tak pernah benar-benar sembuh, kita tetap berhak untuk mencari kebahagiaan kita sendiri.

Bersambung...

1
⛧⃝ 𓂃Luo Yi⧗⃟
Suka banget ma karakter Rayna. Dia anak baik dan sangat sayang ibunya bahkan sampai rela di jodohkan walaupun di hatinya masih ada cinta lain. Semoga kamu dpt cinta yg bener tulus ya Ray
kim elly
kasihan ya ben😩
kim elly
kenapa semua pikiran anak kayak gini ya termasuk aku dulu
Arkan
Hayolohhh marah dia
🦋RosseRoo🦋
Bisa-bisa nya lu bikin sendiri Ben. Kalo suamiku mending beli mungkin. 😩😅
🦋RosseRoo🦋
mulai ada rasa rasa kannnn😅
mama Al
Hadeh masih kecil kalian
mama Al
Wah mantap Ben siapa tau rayna makin kagum sama kamu
⛧⃝ 𓂃Luo Yi⧗⃟
Lah Ben brni juga lu.. malah mau ngapain itu.
⛧⃝ 𓂃Luo Yi⧗⃟
Walah ngibulin orng tua ni mreka🤭
Mutia Kim🍑
Itu Vando kah?
Mutia Kim🍑
Mobil premium itu kayak gimana?😂
Nuri_cha
kamu sakit gara2 mikirin si vando. tapi Bennyg bikin tersenyum... ya udah sih ya Ama Ben aja
Nuri_cha
aiishhh... mimpi! kirain beneran!
Nuri_cha
iih .. kamu yg ke mana. kok malah marah sama Rayna? Bukannya kalian pernah berhubungan saat pertama kali Rayna pindah ke jakarta
Nuri_cha
Ya ampuuuun, Vandooo kamu ke manaaaaa ajaaa?
kim elly
horang kaya dia
kim elly
terus kalo jadian kenapa masalah buat lo
TokoFebri
nggak apa pak. manusia bisa luput dari kesalahan.
TokoFebri
haduh .. buruan ke rumah sakit...😢
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!