Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Jalan Pagi Bersama Oma
Bab 22: Jalan Pagi Bersama Oma
Jalan setapak itu menanjak.
Curam.
Berbatu.
Dikelilingi oleh pohon-pohon damar raksasa yang batangnya berlumut.
Kabut pagi masih tebal, menggantung rendah seperti kapas basah, membatasi jarak pandang hanya lima meter ke depan.
Yuni merasa seperti berjalan di dalam awan.
Atau di dalam mimpi buruk yang dingin dan tak berujung.
Napasnya mulai memburu.
Paru-parunya terasa seperti diisi serpihan kaca setiap kali dia menghirup udara Puncak yang tipis dan lembap.
Hah... hah... hah...
Uap putih keluar dari mulutnya setiap kali dia menghembuskan napas.
Di sebelahnya.
Oma berjalan dengan ritme yang menakutkan.
Tap. Tap. Tap.
Langkahnya stabil. Mekanis.
Punggungnya tegak lurus, tidak membungkuk sedikitpun dimakan usia.
Tongkat eboninya menghentak tanah paving block setiap dua langkah sekali.
Tuk.
Bukan sebagai penopang tubuh yang lemah.
Tapi sebagai metronom.
Mengatur tempo penyiksaan ini.
Wanita tua itu tidak terlihat lelah.
Tidak ada keringat di pelipisnya yang tertutup topi lebar.
Napasnya teratur.
Hidungnya kembang kempis pelan, menghirup oksigen dengan efisiensi seorang mantan atlet yang tubuhnya masih mengingat disiplin masa lalu.
Juan dan Bu Linda tertinggal jauh di belakang.
Mungkin lima puluh meter.
Mungkin seratus.
Mereka hilang ditelan kabut.
Yuni sendirian bersama singa betina ini.
Dia tidak berani menoleh ke belakang.
Dia takut kalau dia menoleh, dia akan kehilangan keseimbangan dan jatuh terguling ke semak-semak basah.
"Kamu ngos-ngosan," kata Oma tiba-tiba.
Tanpa menoleh.
Matanya lurus ke jalan menanjak di depan.
Suaranya tidak goyah sedikitpun.
"Sedikit... Oma," jawab Yuni, mencoba mengatur napas agar tidak terdengar seperti orang asma akut.
"Jarang olahraga?"
"Sibuk... kuliah dan kerja, Oma. Waktunya... sempit."
Oma mendengus.
Suara pendek yang meremehkan. Kasar.
"Alasan."
"Waktu itu ada. Kamu yang tidak meluangkannya."
"Disiplin itu bukan soal punya waktu atau tidak. Itu soal prioritas."
"Kalau badanmu sendiri tidak kamu prioritasin, gimana kamu mau urus orang lain?"
Pukulan pertama.
Telak di ulu hati.
Yuni diam.
Menelan ludah yang terasa pahit dan lengket.
Mereka terus berjalan.
Jalanan semakin menanjak. Menuju bukit kecil di belakang area vila.
Betis Yuni mulai terasa panas. Asam laktat menumpuk, membuat ototnya berkedut protes.
"Bapakmu," kata Oma.
Topik berpindah secepat kilat.
Dari fisik ke personal.
Strategi interogasi militer. Serang saat target lelah.
"Kerja apa dia?"
Ini dia.
Momen kebenaran.
Yuni teringat instruksi Juan tadi pagi di teras.
Jujur. Jangan ngarang jadi anak pejabat.
Oma punya intelijen.
"Petani, Oma," jawab Yuni.
Suaranya tegas.
Mencoba menyembunyikan getaran di dadanya.
Tidak malu.
Oma melirik sekilas dari balik kacamata hitam besarnya.
"Petani apa? Punya tanah berapa hektar?"
Jebakan.
Oma sedang mengetes apakah Yuni akan melebih-lebihkan status "petani" menjadi "tuan tanah" agar terdengar lebih setara.
"Bukan pemilik, Oma," kata Yuni.
"Buruh tani. Menggarap tanah orang."
"Sistem bagi hasil. Itu pun kalau panen berhasil."
"Kalau musim panen, Bapak bantu angkut gabah karungan."
"Kalau musim kemarau dan gagal panen, Bapak jadi kuli bangunan di kota kecamatan. Ngaduk semen."
Hening.
Hanya suara gesekan sepatu di kerikil, suara burung liar yang berkicau jauh, dan napas Yuni yang semakin berat.
Yuni menunggu vonis.
Menunggu hinaan.
Menunggu Oma berkata, "Kamu tidak pantas. Darahmu terlalu rendah."
Tapi Oma diam.
Dia terus berjalan.
Hanya tongkatnya yang menghentak lebih keras ke tanah.
Tuk. Tuk. Tuk.
Seolah sedang mencerna informasi itu.
"Ibumu?" tanya Oma lagi.
"Ibu rumah tangga. Sambil buka warung kecil di depan rumah. Jual gorengan dan kopi sachet buat sopir truk yang lewat."
"Kecil?"
"Sangat kecil, Oma. Atapnya asbes. Modalnya dari sisa uang panen dua tahun lalu."
"Tapi cukup buat sekolahin kamu sampai universitas?"
Mata Oma menyipit di balik lensa hitam.
Tajam.
Mencurigai adanya "sugar daddy" atau jalan pintas.
"Beasiswa," kata Yuni cepat. Memotong kecurigaan itu sebelum tumbuh.
"Saya masuk lewat jalur prestasi. Undangan."
"Sejak semester satu sampai sekarang, IPK saya di atas 3.8."
"Uang saku saya cari sendiri. Kerja part-time."
"Di perpustakaan. Jadi translator jurnal dosen. Kadang jadi joki ketik skripsi—eh, maksud saya, editor format."
Oma berhenti mendadak.
Rem mendadak.
Yuni ikut berhenti. Nyaris menabrak punggung wanita tua itu.
Oma berbalik.
Berdiri berhadapan dengan Yuni di tengah jalan setapak yang berkabut dan sunyi.
Dia membuka kacamata hitamnya perlahan.
Menatap Yuni langsung ke manik mata.
Mata kelabu itu menguliti.
Membaca jiwa.
Mencari kebohongan. Mencari rasa minder. Mencari ketakutan.
Yuni tidak menunduk.
Dia membalas tatapan itu.
Walaupun lututnya gemetar karena lelah dan takut.
"Kamu miskin," kata Oma.
Datar. Faktual.
Bukan pertanyaan. Pernyataan.
"Iya, Oma."
"Kamu butuh uang."
"Semua orang butuh uang, Oma. Bahkan orang kaya pun masih cari uang."
"Jangan diplomatis sama saya," sentak Oma.
Suaranya meninggi sedikit. Galak.
"Kamu butuh uang Juan?"
"Kamu nempel sama cucu saya supaya dia bayarin utang bapakmu? Atau supaya kamu bisa beli tas branded kayak sepupu-sepupunya?"
Jantung Yuni berhenti.
Apakah Oma tahu soal kontrak?
Apakah dia tahu soal transfer 50 juta itu?
Apakah dia tahu soal UKT Dika?
"Saya..." Yuni ragu.
Ingat skenario.
Ingat framing.
Ingat harga dirinya sendiri.
"Saya tidak butuh uang Juan untuk hidup saya, Oma," kata Yuni pelan.
Tapi tajam.
"Saya bisa makan dari uang saya sendiri. Nasi warteg masih murah."
"Saya bisa bayar kos dari uang saya sendiri."
"Kalau Oma tanya apa saya suka fasilitas yang Juan kasih? Mobil mewahnya? Makan enaknya?"
"Jujur, iya. Siapa yang nggak suka kenyamanan?"
"Saya bukan munafik."
"Tapi kalau semua itu hilang besok..."
Yuni menatap mata kelabu itu lekat-lekat.
"...saya masih bisa hidup. Saya nggak akan mati kelaparan."
"Karena sebelum kenal Juan pun, saya sudah hidup susah."
"Saya sudah terbiasa menderita, Oma. Jadi saya nggak takut jatuh miskin. Saya sudah di sana."
Angin gunung berhembus kencang.
Dingin.
Membekukan keringat di leher Yuni.
Oma terdiam.
Wajahnya kaku seperti topeng batu pualam.
Garis-garis keriput di wajahnya tidak bergerak.
Tidak ada senyum. Tidak ada anggukan.
Dia memasang kacamata hitamnya kembali.
Menutupi matanya. Menutup akses ke pikirannya.
"Jalan lagi," perintahnya.
"Jangan lambat. Sarapan keburu dingin."
"Saya benci croissant yang melempem."
Oma berbalik dan melanjutkan langkahnya.
Lebih cepat dari sebelumnya.
Yuni terengah-engah mengikutinya.
Bingung.
Apakah dia lulus?
Atau dia baru saja menggali kuburannya sendiri dengan bersikap kurang ajar dan defensif?
Mereka berjalan dalam diam selama sepuluh menit lagi.
Melewati jembatan kayu kecil.
Sampai akhirnya, vila putih megah itu terlihat lagi di kejauhan.
Menembus kabut yang mulai menipis.
Seperti kastil di atas awan.
Saat mereka hampir sampai di gerbang belakang, di dekat kebun mawar, Oma berbicara lagi.
Tanpa menoleh.
"Tanganmu kasar."
Yuni tersentak. Dia melihat tangannya.
Iya.
Ada kapalan di jari tengah bekas memegang pulpen terlalu keras saat menulis esai berjam-jam.
Ada kulit kasar di telapak tangan bekas mengangkat tumpukan buku berdebu di perpustakaan.
Bekas mencuci baju sendiri dengan tangan.
"Perempuan Adhitama tangannya halus semua. Perawatan manicure seminggu sekali. Pakai lotion impor," lanjut Oma.
"Tangan mereka cuma pernah pegang kartu kredit dan gelas wine."
Yuni menyembunyikan tangannya di saku jaket.
Malu.
Dia merasa kotor di tempat yang steril ini.
"Tapi..."
Suara Oma melembut sedikit.
Sangat sedikit. Nyaris tak terdengar.
"...tangan kasar itu tangan yang berguna."
"Tangan yang bekerja."
"Tangan yang membangun sesuatu."
"Bukan tangan yang cuma bisa menunjuk dan memerintah."
Oma berhenti di depan pintu gerbang besi.
Dia menoleh ke Yuni sekilas.
"Dulu..."
"Waktu Kakek Juan baru mulai usaha, tangan saya lebih kasar dari kamu."
"Saya ngaduk semen buat bangun gudang pertama kami."
Mata Yuni membelalak.
Dia tidak pernah tahu itu.
Di skenario, Oma adalah bangsawan sejak lahir.
"Cuci mukamu," kata Oma, mengubah nada bicaranya kembali keras.
"Keringatmu banyak sekali. Mengkilap kayak gorengan."
"Jangan bikin malu di meja makan."
"Dan siapkan mentalmu."
"Kenapa, Oma?"
"Clarissa datang."
Nama itu disebut oleh Oma dengan nada yang berbeda.
Bukan benci. Tapi waspada.
"Dia ular berbisa. Lebih parah dari saya."
"Dia manis di depan, tapi dia akan belit kamu sampai mati pelan-pelan."
"Kalau kamu bisa hadapi saya di tanjakan ini..."
Oma mengetuk tongkatnya ke paving block. Tak!
"...kamu mungkin punya peluang 10 persen buat menang lawan dia."
Yuni menelan ludah.
"Cuma sepuluh persen?"
"Sisanya tergantung Juan."
"Apa dia cukup laki-laki buat belain kamu. Atau dia masih pengecut yang bersembunyi di balik ketiak ibunya."
Oma mendorong gerbang terbuka.
Masuk ke dalam area vila.
Meninggalkan Yuni sendirian di halaman belakang yang penuh mawar berduri.
Yuni memegang dadanya.
Jantungnya masih berpacu kencang.
Bukan karena olahraga.
Tapi karena dia baru saja menyadari sesuatu.
Oma... memberinya peringatan.
Bukan ancaman.
Peringatan.
Dan pengakuan.
Seolah-olah... Oma, si matriark kejam itu, melihat dirinya yang dulu di dalam diri Yuni.
Yuni tersenyum tipis di tengah napasnya yang putus-putus.
Dia melihat telapak tangannya yang kasar.
"Sepuluh persen," bisiknya.
"Cukup."
"Aku akan ambil sepuluh persen itu."
Dia melangkah masuk.
Menuju medan perang berikutnya.
Sarapan pagi.
Dan pertemuan dengan ular berbisa bernama Clarissa.